"Ketika kupandangi keberhasilan-keberhasilanku, semuanya amat sederhana. Amat sederhana"
Kalimat di atas merupakan kutipan dari buku yang baru saja selesai kubaca. Di balik kalimat itu tersimpan banyak perjuangan yang tidak mudah bahkan mustahil dicapai oleh tokoh dalam buku yang mengucapkan kalimat tersebut. Buku tersebut adalah kisah nyata antara cinta dan perang, yang judul bukunya tidak mau kusebut.hehehe
Salah satu bagiannya menceritakan kisah dua pasang kekasih, dari dua negara yang berbeda, yang terpisah selama enam tahun karena konflik negara mereka. Pertunangan mereka pun ikut tertunda. Selama berpisah, mereka berkomunikasi dengan surat dan telepon yang cukup mahal. Visa kedua pasangan ini ditahan oleh negaranya masing-masing. Upaya untuk bertemu sudah diperjuangkan mati-matian bahkan nyaris putus asa. Hingga akhirnya, setelah enam tahun, akhirnya perjuangan mereka berhasil dan pasangan kekasih ini pun menikah. Ini baru bagian kecil kisah mereka. Belum lagi kisah keluarga masing-masing, masa kecil mereka dan kisah-kisah lain yang mereka lewati selama perang.***
Aku jadi teringat sewaktu mengerjakan tugas akhir atau skripsi saat kuliah dulu. Mulai dari mencari objek penelitian, rasanya hampir semua hal sudah diteliti oleh orang (lalu apa yang harus kuteliti?), menentukan judul, berhadapan dengan dosen untuk mengajukan judul yang belum tentu diterima. Memulai penulisan skripsi, membaca banyak buku sebagai landasan teori. Aku ingat sewaktu dosen menyuruhku mengulang membuat landasan teori dengan benar. Ditambah lagi banyak koreksi mengenai cara menulis yang baik. Membuat kerangka penelitian, membuat hipotesis, mengadakan penelitian yang memakan banyak waktu dan tenaga, menganalisis hasil penelitian yang belum tentu sesuai harapan. Dan terakhir membuat kesimpulan. Semua proses tidak mudah. Bahkan di tengah jalan rasanya ingin berhenti. Apalagi sewaktu sidang skripsi. Nah lho, dosen penguji pasti menanyakan ini itu banyak sekali. Belum tentu bisa kujawab dengan benar karena sudah gugup duluan. Sekali pun hasil penelitianku sudah kukuasai sepenuhnya karena itu hasil kerjaku sendiri, tapi aku tetap gugup. Alhasil, aku dinyatakan lulus dengan hasil baik.
Beberapa bulan kemudian aku bergumam dalam hati; ternyata semua sangat sederhana.***
Begitulah hidup. Perjuangan yang sedang kita alami kadang terasa berat bahkan tak tertanggungkan. Namun, setelah kita berhasil melewatinya, cara pandang kita pun berubah; semuanya amat sederhana. Kuncinya, menurutku, adalah yakin dan percaya Tuhan tidak akan memberi ujian hidup melebihi kemampuan kita. Semakin berat beban hidup, semakin kuat kita, dan semakin kita mampu menguatkan orang lain.
Selasa, 27 Mei 2014
Kamis, 22 Mei 2014
kepada lampu
mati lampu di tempatku
o lampu, menyalalah
lilinku dari panjang hingga habis
hingga tulisan ini kutulis
lampu masih mati.
o lampu, menyalalah
mengapa kau biarkan lilin
mengakhiri hidupnya
untuk menerangi kamarku?
o lampu, menyalalah
lilinku dari panjang hingga habis
hingga tulisan ini kutulis
lampu masih mati.
o lampu, menyalalah
mengapa kau biarkan lilin
mengakhiri hidupnya
untuk menerangi kamarku?
Selasa, 20 Mei 2014
Terkenang Mainan Masa Kecil
"Aku ingin punya mainan itu," gumam seorang anak dalam hatinya. Dia tahu ayahnya tak akan membeli mainan seperti punya teman-temannya. Entah mobil-mobilan, robot-robotan, atau mainan yang bisa bergerak sendiri itu. Setiap kali bermain bersama teman-temannya, dia merasa iri. Semua temannya pelit. Dia tidak pernah diperbolehkan menyentuh mainan mereka. Jadi terpaksa dia harus menahan diri.
Pernah suatu hari dia berkata kepada ayahnya, "Pa, beliin mainan seperti punya si Putra." Putra adalah salah satu temannya. Jawaban sang ayah selalu sama, "Bapak belum punya uang. Nanti kalau sudah punya, akan kita beli yang lebih bagus." Sampai dia dewasa mainan yang ia inginkan itu tidak pernah dibelikan oleh ayah.
Untungnya si anak memiliki seorang paman yang baik. Sang paman -adik ibu- masih lajang saat itu, selalu menyediakan waktu bersama keponakannya. Suatu hari sang paman membuatkan mobil-mobilan dari kayu dan papan. Mobil kayu buatan pamannya cukup besar sehingga bisa dinaiki. Tapi mainan punya temannya bisa bergerak sendiri tanpa perlu ditarik dengan tali seperti punyanya. Mainan teman masih terlihat lebih keren. Tak apa, pikirnya, yang penting sekarang dia punya mobil kayu yang bisa jalan meski harus ditarik-tarik. Lagi pula mobilnya lebih besar, bahkan kalau bisa semua mainan temannya bisa diangkut sama mobil kayunya itu.***
Masa bermain mobil-mobilan sudah lama berlalu. Kini dia sudah dewasa. Bekerja sendiri. Sudah mandiri. Terkadang sesekali ia teringat masa kecilnya khususnya saat dia ingin sekali memiliki mainan yang keren. Ia cuma tersenyum mengenang semuanya. Kadang dia merenung untuk apa semua itu. Mengapa dulu ia begitu ingin memiliki mainan mobil atau robot. Sekarang setelah punya uang sendiri, keinginan membeli mobil-mobilan hilang sama sekali. Entah ke mana perginya keinginan itu. Padahal dia sempat berjanji bila punya uang kelak, ia akan membeli dengan uangnya sendiri.
Selamat tinggal masa kecil(ku)
Pernah suatu hari dia berkata kepada ayahnya, "Pa, beliin mainan seperti punya si Putra." Putra adalah salah satu temannya. Jawaban sang ayah selalu sama, "Bapak belum punya uang. Nanti kalau sudah punya, akan kita beli yang lebih bagus." Sampai dia dewasa mainan yang ia inginkan itu tidak pernah dibelikan oleh ayah.
Untungnya si anak memiliki seorang paman yang baik. Sang paman -adik ibu- masih lajang saat itu, selalu menyediakan waktu bersama keponakannya. Suatu hari sang paman membuatkan mobil-mobilan dari kayu dan papan. Mobil kayu buatan pamannya cukup besar sehingga bisa dinaiki. Tapi mainan punya temannya bisa bergerak sendiri tanpa perlu ditarik dengan tali seperti punyanya. Mainan teman masih terlihat lebih keren. Tak apa, pikirnya, yang penting sekarang dia punya mobil kayu yang bisa jalan meski harus ditarik-tarik. Lagi pula mobilnya lebih besar, bahkan kalau bisa semua mainan temannya bisa diangkut sama mobil kayunya itu.***
Masa bermain mobil-mobilan sudah lama berlalu. Kini dia sudah dewasa. Bekerja sendiri. Sudah mandiri. Terkadang sesekali ia teringat masa kecilnya khususnya saat dia ingin sekali memiliki mainan yang keren. Ia cuma tersenyum mengenang semuanya. Kadang dia merenung untuk apa semua itu. Mengapa dulu ia begitu ingin memiliki mainan mobil atau robot. Sekarang setelah punya uang sendiri, keinginan membeli mobil-mobilan hilang sama sekali. Entah ke mana perginya keinginan itu. Padahal dia sempat berjanji bila punya uang kelak, ia akan membeli dengan uangnya sendiri.
Selamat tinggal masa kecil(ku)
Sabtu, 17 Mei 2014
Uang
Di negeri ini, uang bisa menggeser posisi orang-orang jujur, yang rajin bekerja, dan yang berhati tulus membangun negeri. Bila banyak uang, perkara di pengadilan beres. Keadilan bisa diputar-balikkan. Bila banyak uang, posisi di pemerintahan mudah ditempati. Uang bisa membeli jabatan. Di dunia pendidikan, kelulusan atau gelar bisa dibeli asal mampu bayar mahal. Uang bisa meluluskan yang 'tidak-layak-lulus'. Bahkan uang (kadang) mampu menggantikan iman seseorang. Contohnya, orang merasa lebih tenang ketika memiliki uang daripada ketika ia selesai berdoa/beribadah.
Bagaimana dengan orang yang tidak punya uang atau memiliki sedikit uang? Apakah mereka tetap hidup? Ya, mereka tentu hidup. Bisa bernafas, bisa bekerja, dan melakukan hal lain. Tetapi, mereka ini digolongkan ke dalam kelompok miskin. Miskin karena punya sedikit uang atau bahkan tidak punya sama sekali. Apakah orang miskin dikatakan miskin hanya karena tidak punya uang? Kalau tolok ukurnya uang, ya tentu mereka miskin. Tetapi kalau tolok ukurnya kejujuran, kebaikan, kerendahan hati dan kebajikan lainnya, mungkin mereka paling kaya. Justru dengan tolok ukur ini, maka orang yang punya uang pun bisa dikelompokkan menjadi miskin. Miskin kejujuran, miskin kebaikan, dan miskin hal-hal yang baik di dalam hati mereka.
Kita tentu butuh uang untuk mencukupi kebutuhan karena sekarang tidak berlaku lagi sistem barter/pertukaran barang. Kalaupun masih ada yang memakai sistem barter, itu hanya sebagian kelompok orang saja. Tetapi mengapa uang digunakan untuk memperoleh jabatan, memutar-balikkan keadilan, membeli gelar, bahkan menindas sesama? Kalau jabatan bisa dibeli dengan uang (bukan malah diperoleh dengan prestasi atas kerja keras), apakah pejabat tersebut benar-benar akan menjadi pejabat yang baik? Kalau keadilan bisa dibeli, bagaimana dengan orang yang diperlakukan tidak adil?
*di balik layar setan sedang tertawa... menang*
Bagaimana dengan orang yang tidak punya uang atau memiliki sedikit uang? Apakah mereka tetap hidup? Ya, mereka tentu hidup. Bisa bernafas, bisa bekerja, dan melakukan hal lain. Tetapi, mereka ini digolongkan ke dalam kelompok miskin. Miskin karena punya sedikit uang atau bahkan tidak punya sama sekali. Apakah orang miskin dikatakan miskin hanya karena tidak punya uang? Kalau tolok ukurnya uang, ya tentu mereka miskin. Tetapi kalau tolok ukurnya kejujuran, kebaikan, kerendahan hati dan kebajikan lainnya, mungkin mereka paling kaya. Justru dengan tolok ukur ini, maka orang yang punya uang pun bisa dikelompokkan menjadi miskin. Miskin kejujuran, miskin kebaikan, dan miskin hal-hal yang baik di dalam hati mereka.
Kita tentu butuh uang untuk mencukupi kebutuhan karena sekarang tidak berlaku lagi sistem barter/pertukaran barang. Kalaupun masih ada yang memakai sistem barter, itu hanya sebagian kelompok orang saja. Tetapi mengapa uang digunakan untuk memperoleh jabatan, memutar-balikkan keadilan, membeli gelar, bahkan menindas sesama? Kalau jabatan bisa dibeli dengan uang (bukan malah diperoleh dengan prestasi atas kerja keras), apakah pejabat tersebut benar-benar akan menjadi pejabat yang baik? Kalau keadilan bisa dibeli, bagaimana dengan orang yang diperlakukan tidak adil?
*di balik layar setan sedang tertawa... menang*
Selasa, 13 Mei 2014
Dahulu kala
"Dahulu kala semut punya sayap
tapi karena terlalu banyak makan gula
sayap mereka patah.
Walau begitu
hingga kini semut tetap mencari gula,"
demikian kata dongeng.
Selanjutnya, katanya:
"Dahulu kala di langit malam hanya ada bulan.
Karena bulan sendirian, maka ia menaburkan benih-benih bulan di langit gelap
berharap akan tumbuh seperti dirinya - menjadi bulan. Namun, ia tidak menyirami benih-benih itu
karena tak punya air. Kini semua benih itu tumbuh kecil. Itulah bintang-bintang."
"Dahulu bintang-bintang menetap di langit. Tugas mereka menemani bulan.
Beberapa bintang lupa tugasnya. Sehingga mereka dibuang ke bumi. Itulah bintang jatuh."
Demikianlah dongeng bercerita.
tapi karena terlalu banyak makan gula
sayap mereka patah.
Walau begitu
hingga kini semut tetap mencari gula,"
demikian kata dongeng.
Selanjutnya, katanya:
"Dahulu kala di langit malam hanya ada bulan.
Karena bulan sendirian, maka ia menaburkan benih-benih bulan di langit gelap
berharap akan tumbuh seperti dirinya - menjadi bulan. Namun, ia tidak menyirami benih-benih itu
karena tak punya air. Kini semua benih itu tumbuh kecil. Itulah bintang-bintang."
"Dahulu bintang-bintang menetap di langit. Tugas mereka menemani bulan.
Beberapa bintang lupa tugasnya. Sehingga mereka dibuang ke bumi. Itulah bintang jatuh."
Demikianlah dongeng bercerita.
Minggu, 11 Mei 2014
#tentang rindu
Pernah kuajak kaubicara
mengenai cinta yang sederhana.
mengenai cinta yang sederhana.
Sekarang mari bicara tentang
rindu yang kau biarkan lepas dari kandang.
Mengapa kaubuka kandang itu?
Sudah kuingatkan agar kau jaga
sebab rindu itu liar dan garang pula.
rindu yang kau biarkan lepas dari kandang.
Mengapa kaubuka kandang itu?
Sudah kuingatkan agar kau jaga
sebab rindu itu liar dan garang pula.
Sekarang mari bicara tentang
bagaimana memenjarakan rindu yang terlanjur terbang.
Kuberitahu kau bahwa rindu itu seringan burung
sekali kaulepas sulit menjinakkannya.
bagaimana memenjarakan rindu yang terlanjur terbang.
Kuberitahu kau bahwa rindu itu seringan burung
sekali kaulepas sulit menjinakkannya.
Mari kita cari rindu yang bersarang di rambutmu.
Semoga ia masih di sana.
Semoga ia masih di sana.
Atau perlu kita sediakan umpan?
Tapi umpan terbaik adalah matamu
di sana rinduku luluh dan tunduk.
Tapi umpan terbaik adalah matamu
di sana rinduku luluh dan tunduk.
Mengasihi Sesama
Hari ini aku belajar tentang hukum yang terutama yaitu mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati, dan hukum kedua yang sama dengan itu adalah mengasihi sesama. Bukti bahwa kita mengasihi Tuhan adalah kita mengasihi sesama. Kalau ada orang yang mengaku mengasihi Tuhan tapi membenci sesamanya, maka ia menipu dirinya sendiri. Aku malah heran kalau melihat ada orang seperti itu.
Melihat banyak orang mengaku mengasihi Tuhan (baca: beragama) namun membenci sesamanya, maka sebaiknya jangan ikutan. Tunjukkan kekagumanmu, kesetiaanmu, ketaatanmu kepada Tuhan dan kasihilah sesamamu - apapun sukunya, apapun keyakinannya, siapapun dia.
Sabtu, 10 Mei 2014
roti
aku sudah tahu
mungkin kau juga sudah tahu
roti ada dua jenis
pertama, roti yang dimakan orang kaya
sepotong saja harganya puluhan ratusan ribu
kedua, roti yang dimakan orang rendahan
harganya seribu di warung.
apa yang kau lakukan
bila tidak ada makanan
saat lapar tengah malam?
banyaklah minum air
haraplah pagi lekas datang
seperti yang dilakukan saudara-saudara kita
yang hidupnya miskin.
kembali ke roti,
roti apa yang kau makan?
mungkin kau juga sudah tahu
roti ada dua jenis
pertama, roti yang dimakan orang kaya
sepotong saja harganya puluhan ratusan ribu
kedua, roti yang dimakan orang rendahan
harganya seribu di warung.
apa yang kau lakukan
bila tidak ada makanan
saat lapar tengah malam?
banyaklah minum air
haraplah pagi lekas datang
seperti yang dilakukan saudara-saudara kita
yang hidupnya miskin.
kembali ke roti,
roti apa yang kau makan?
Jumat, 09 Mei 2014
heran
mengherankan jadi manusia
dalam hati meyakini surga tapi
sehari-hari masih saja mendambakan
harta kekuasaan ketenaran di dunia
mengherankan jadi manusia
tangan tengadah ke atas
mulut panjatkan doa tapi
sehari-hari selalu bikin dosa
manusiakah manusia?
dalam hati meyakini surga tapi
sehari-hari masih saja mendambakan
harta kekuasaan ketenaran di dunia
mengherankan jadi manusia
tangan tengadah ke atas
mulut panjatkan doa tapi
sehari-hari selalu bikin dosa
manusiakah manusia?
Rabu, 07 Mei 2014
Pekerjaan dan hati
Sebuah pembicaraan ringan terjadi hari ini antara aku dengan salah satu pengawas UN dari sekolah lain. Anggap saja nama partnerku ini Pak Dani.
Pak Dani bercerita tentang perjalanan hidupnya. Tiga tahun lalu ia lulus kuliah di salah satu universitas di Jakarta. Umurnya sudah empat puluh dua tahun. Sudah berkeluarga. Katanya, dia tidak suka jadi guru. Terus mengapa sekarang bisa mengawas UN? Aku ingin tahu penyebabnya. Kepo ya?... tapi gak apa-apa. Awalnya Pak Dani ini seorang wisausaha. Ia pernah beternak ayam, ikan lele, dan jenis ikan lain. Pernah juga ia menjadi pembuat roti. Ia memiliki puluhan karyawan. Terakhir, ia mengembangbiakkan semut merah. Lumayan mahal, katanya, telur semut itu sekilonya mencapai ratusan ribu rupiah.
Namanya usaha pasti ada masa jatuhnya, katanya sambil tersenyum. Seiring bangsa ini mengalami krisis ekonomi tahun 1998, saat itu juga usahanya mulai bangkrut. Terpaksa pelan-pelan ia menutup usahanya. Singkat cerita ia berhenti berbisnis. Dan setelah itu, salah satu saudaranya menawarkannya mengajar di sebuah yayasan yang kebetulan dikelola oleh saudaranya itu. Itulah awal ia jadi guru. Tidak hanya mengajar, ia juga diberi kesempatan untuk meraih gelar sarjana. Sekarang Pak Dani ini jadi guru.
Ternyata, waktu kutanyakan apakah ia sudah tertarik menjadi guru, jawabannya 'tidak'. Nah lho, sudah jadi guru, tapi masih belum menaruh hati di profesi barunya itu. Memang sih tidak mudah menghadapi perubahan. Tapi apa salahnya memberi hati. Apaan coba... kayak masalah percintaan aja. Pake hati segala.
Aneh juga ya. Mungkin banyak orang di luar sana mirip Pak Dani ini. Bekerja di bidang yang sebenarnya bukan minatnya. Bekerja hanya sekadar memenuhi kebutuhan hidup dan bukan memenuhi panggilan hati. Ini bukan berarti aku menganggap bahwa hatiku sudah bulat menjadi guru atau aku merasa sudah di jalur yang benar. Bisa saja suatu hari aku berubah pikiran.hahaha...
Apa yang dialami oleh Pak Dani ini dalam usahanya, sebenarnya merupakan ujian sejati dalam hidup. Aku mulai merenung, apakah para murid yang sedang UN ini, kelak, mampu menghadapi ujian-sejati-hidup? Aku tidak tahu.
Oh ya, obrolan singkat kami ini terjadi di sela-sela waktu saat mengawas. Itu pun pembicaraannya sering terhenti. Karena aku tidak ingin tugas mengawas hari ini jadi terabaikan gara-gara asyik mendengar ceritanya Pak Dani ini. Kalau Pak Dani sih maunya cerita lagi dan lagi, ya maklum, saat mengawas kadang rasa jenuh menghampiri. Aku juga merasakannya. Untuk mengatasinya, kupikir, tidak masalah cerita sedikit-sedikit. Toh, lama-lama jadi bukit.
Pak Dani bercerita tentang perjalanan hidupnya. Tiga tahun lalu ia lulus kuliah di salah satu universitas di Jakarta. Umurnya sudah empat puluh dua tahun. Sudah berkeluarga. Katanya, dia tidak suka jadi guru. Terus mengapa sekarang bisa mengawas UN? Aku ingin tahu penyebabnya. Kepo ya?... tapi gak apa-apa. Awalnya Pak Dani ini seorang wisausaha. Ia pernah beternak ayam, ikan lele, dan jenis ikan lain. Pernah juga ia menjadi pembuat roti. Ia memiliki puluhan karyawan. Terakhir, ia mengembangbiakkan semut merah. Lumayan mahal, katanya, telur semut itu sekilonya mencapai ratusan ribu rupiah.
Namanya usaha pasti ada masa jatuhnya, katanya sambil tersenyum. Seiring bangsa ini mengalami krisis ekonomi tahun 1998, saat itu juga usahanya mulai bangkrut. Terpaksa pelan-pelan ia menutup usahanya. Singkat cerita ia berhenti berbisnis. Dan setelah itu, salah satu saudaranya menawarkannya mengajar di sebuah yayasan yang kebetulan dikelola oleh saudaranya itu. Itulah awal ia jadi guru. Tidak hanya mengajar, ia juga diberi kesempatan untuk meraih gelar sarjana. Sekarang Pak Dani ini jadi guru.
Ternyata, waktu kutanyakan apakah ia sudah tertarik menjadi guru, jawabannya 'tidak'. Nah lho, sudah jadi guru, tapi masih belum menaruh hati di profesi barunya itu. Memang sih tidak mudah menghadapi perubahan. Tapi apa salahnya memberi hati. Apaan coba... kayak masalah percintaan aja. Pake hati segala.
Aneh juga ya. Mungkin banyak orang di luar sana mirip Pak Dani ini. Bekerja di bidang yang sebenarnya bukan minatnya. Bekerja hanya sekadar memenuhi kebutuhan hidup dan bukan memenuhi panggilan hati. Ini bukan berarti aku menganggap bahwa hatiku sudah bulat menjadi guru atau aku merasa sudah di jalur yang benar. Bisa saja suatu hari aku berubah pikiran.hahaha...
Apa yang dialami oleh Pak Dani ini dalam usahanya, sebenarnya merupakan ujian sejati dalam hidup. Aku mulai merenung, apakah para murid yang sedang UN ini, kelak, mampu menghadapi ujian-sejati-hidup? Aku tidak tahu.
Oh ya, obrolan singkat kami ini terjadi di sela-sela waktu saat mengawas. Itu pun pembicaraannya sering terhenti. Karena aku tidak ingin tugas mengawas hari ini jadi terabaikan gara-gara asyik mendengar ceritanya Pak Dani ini. Kalau Pak Dani sih maunya cerita lagi dan lagi, ya maklum, saat mengawas kadang rasa jenuh menghampiri. Aku juga merasakannya. Untuk mengatasinya, kupikir, tidak masalah cerita sedikit-sedikit. Toh, lama-lama jadi bukit.
Senin, 05 Mei 2014
Ceritaku di hari kedua UN SMP
Hari ini hari kedua UN SMP. Mata pelajaran yang diuji adalah matematika. Tidak ada instruksi khusus sebelum UN dimulai karena kemarin sudah disampaikan. Bel masuk berbunyi. Masing-masing pengawas mengambil paket soal dan dengan berpasangan menuju ruang ujian. Setiap ruang ujian diawasi dua orang guru pengawas yang berasal dari sekolah lain. Pertukaran pengawas sesuai wilayahnya. Aku dan partnerku, seorang ibu guru, masuk ke ruang X. Lalu disusul oleh 20 murid. Doa pagi dimulai. Paket soal dibuka, para murid jadi saksi. Soal dibagikan. Partnerku mulai mengisi daftar hadir. Aku membimbing murid mengisi data pribadi di lembar jawaban. Bel tanda mulai ujian berbunyi. Ujian berlangsung.
Aku duduk. Di depan kelas ada dua meja untuk pengawas. Aku membantu partnerku mengisi berita acara UN. Setelah urusan administrasi yang terlalu banyak itu - empat lembar daftar hadir dan tiga lembar berita acara,yang harus diisi - selesai, sekarang tinggal melakukan tugas pengawasan. Suasana kelas hening.
Satu jam sudah berlalu saat kulihat jamku. Cepat juga, pikirku. Kuperhatikan beberapa anak mulai santai. Ada yang tiduran di meja, ada yang mulai ngobrol, ada yang menggambar di kertas coretan. Partnerku memberi peringatan agar murid menjaga ketertiban kelas. Ah, masak anak-anak ini sudah selesai mengerjakan soal, pikirku, biasanya matematika adalah pelajaran yang sulit bagi murid. Kuperiksa lembar jawaban murid satu per satu. Benar saja, beberapa murid, hampir semua, sudah selesai padahal waktu masih satu jam lagi. Wah, murid-murid di sekolah ini pintar-pintar.
Waktu satu jam terasa lama hingga bel tanda berkhirnya ujian berbunyi. Akhirnya bel berbunyi. Murid-murid keluar dengan tertib. Pengawas merapikan lembar jawaban dan soal. Lembar jawaban kumasukkan dalam satu amplop, lalu kusegel. Kami meninggalkan ruang ujian. Menyerahkan paket soal dan jawaban ke panitia ujian sekolah bersangkutan.
Waktunya pulang. Aku dan teman kerjaku kembali ke sekolah asal kami. Kira-kira 10 menit dengan mengendarai sepeda motor. Di gerbang sekolah, aku langsung dihampiri murid-muridku. "Pak, soal matematikanya," kata mereka serentak. "Kenapa?" jawabku pelan. "Susah bangeeet." "What?!" Aku jelas kaget.
Aku duduk. Di depan kelas ada dua meja untuk pengawas. Aku membantu partnerku mengisi berita acara UN. Setelah urusan administrasi yang terlalu banyak itu - empat lembar daftar hadir dan tiga lembar berita acara,yang harus diisi - selesai, sekarang tinggal melakukan tugas pengawasan. Suasana kelas hening.
Satu jam sudah berlalu saat kulihat jamku. Cepat juga, pikirku. Kuperhatikan beberapa anak mulai santai. Ada yang tiduran di meja, ada yang mulai ngobrol, ada yang menggambar di kertas coretan. Partnerku memberi peringatan agar murid menjaga ketertiban kelas. Ah, masak anak-anak ini sudah selesai mengerjakan soal, pikirku, biasanya matematika adalah pelajaran yang sulit bagi murid. Kuperiksa lembar jawaban murid satu per satu. Benar saja, beberapa murid, hampir semua, sudah selesai padahal waktu masih satu jam lagi. Wah, murid-murid di sekolah ini pintar-pintar.
Waktu satu jam terasa lama hingga bel tanda berkhirnya ujian berbunyi. Akhirnya bel berbunyi. Murid-murid keluar dengan tertib. Pengawas merapikan lembar jawaban dan soal. Lembar jawaban kumasukkan dalam satu amplop, lalu kusegel. Kami meninggalkan ruang ujian. Menyerahkan paket soal dan jawaban ke panitia ujian sekolah bersangkutan.
Waktunya pulang. Aku dan teman kerjaku kembali ke sekolah asal kami. Kira-kira 10 menit dengan mengendarai sepeda motor. Di gerbang sekolah, aku langsung dihampiri murid-muridku. "Pak, soal matematikanya," kata mereka serentak. "Kenapa?" jawabku pelan. "Susah bangeeet." "What?!" Aku jelas kaget.
upah
kita adalah upah yang kita terima
apakah kita masih disebut manusia?
sebuah ironi kemanusiaan
memanusiakan manusia dengan upah.
kita adalah upah minimum regional
apakah kita masih dipanggil manusia?
kebutuhan kita diatur sesuai kecukupan kita sehari-hari
kita membuat barang
kita juga yang membelinya di luar.
kita memang berhati mulia.
apakah kita masih disebut manusia?
sebuah ironi kemanusiaan
memanusiakan manusia dengan upah.
kita adalah upah minimum regional
apakah kita masih dipanggil manusia?
kebutuhan kita diatur sesuai kecukupan kita sehari-hari
kita membuat barang
kita juga yang membelinya di luar.
kita memang berhati mulia.
Jumat, 02 Mei 2014
apa yang kaulakukan
apa yang kaulakukan pada anakmu, hai orang tua:
tas berat di punggung, bertindak layaknya orang dewasa,
les ini-itu sepulang sekolah, tapi pertemuan dalam keluarga terabaikan?
apa yang kaulakukan pada anakmu, hai orang tua:
menambah kegelisahan dalam hatinya
akibat tak mampu penuhi inginmu agar dia jadi anak berprestasi,
akibat tak mampu penuhi inginmu agar dia jadi anak berprestasi,
akibat ujian sekolah yang semakin meningkat lalu memarahinya saat nilainya rendah,
akibat kurangnya komunikasi dalam keluarga?
apa yang kau lakukan pada anakmu, hai orang tua:
mencium keningnya lalu berangkat kerja sebelum ia bangun pagi,
menitipkan uang jajan yang besar agar ia tak kelaparan di sekolah,
melihatnya tidur tenang saat kau pulang kerja lalu hatimu damai?
apa yang kaulakukan pada anakmu, hai orang tua?
...
Anak memiliki cara pandang sendiri untuk melihat dunia yaitu dunia anak-anak, bukan seperti dunia yang dilihat oleh orang dewasa. Memaksa anak berlaku seperti orang dewasa -dengan alasan agar mereka terlihat lebih unggul dari anak yang lain- hanya membuat mereka menjadi anak yang dewasa-cilik. Ini tidak baik untuk pertumbuhan jiwa mereka. Biarkan anak-anak tetap menjadi anak-anak karena pada waktunya mereka akan tumbuh menjadi dewasa. Bahkan kita orang dewasalah -yang telah kehilangan kekanak-kanakan- yang barangkali perlu 'menjadi anak-anak'. Sebab dunia anak-anak masih dihiasi ketulusan, kejujuran, dan mimpi-mimpi serta hal indah lainnya.
Kamis, 01 Mei 2014
HARDIK(PIT)NAS
Hari ini - Jumat - tanggal 2 Mei 2014 diperingati sebagai hari pendidikan nasional. Menariknya kemarin - Kamis - tanggal 1 Mei adalah hari buruh internasional dan juga hari libur nasional. Di berita siang dikabarkan beberapa karyawan, juga PNS, tidak masuk kantor dengan berbagai alasan. Hari ini adalah hari kejepit nasional (harpitnas). Semua orang yang bekerja di kantor pasti mengerti hal ini yaitu bahwa terdapat satu hari kerja diapit oleh dua hari libur. Senin sampai Rabu kerja, Kamis libur, Jumat kerja lagi, dan Sabtu - Minggu libur akhir pekan. Nah, di sini Jumat adalah hari yang tanggung. Banyak pekerja, termasuk PNS, meliburkan diri di hari Jumat.
Apakah 'meliburkan diri sendiri' menunjukkan kualitas manusia yang malas bekerja? Aku tidak tahu. Yang kuketahui adalah tentang hukum kelembaman. Bila sesuatu tidak diberi gaya, maka sesuatu itu akan terus diam atau bergerak. Bila sudah libur, maka keinginan hati libur terus. Tanpa ada motivasi, orang akan terus malas bekerja. Padahal bekerja bukanlah suatu beban yang harus dihindari.
Bekerja adalah panggilan hidup. Andai orang yang 'meliburkan diri sendiri' tadi mengerti akan hal ini, maka ia akan datang ke kantor untuk bekerja walaupun hari itu adalah harpitnas.
Aku hampir lupa tentang hari pendidikan nasional. Banyak sekali omongan/kritik mengatakan bahwa banyak guru lebih memilih mengajar di kota karena gaji besar daripada mengajar di daerah terpencil. Tapi menurutku, tidak juga. Hampir semua pekerja (orang kantoran) juga begitu, bukan hanya guru. Kalau ditanya, 'pilih jadi petani atau jadi orang kantoran?' 'Pilih bekerja di kampung atau di kota?' pasti banyak orang memilih yang kedua. 'Pilih jadi guru atau kantoran?' pasti pilih yang kedua lagi dengan alasan jadi guru gajinya tidak seberapa dibanding jadi karyawan kantoran.
Masalahnya sekarang bagaimana pemerintah menyejahterakan hidup para guru yang bekerja di daerah terpencil. Jadi, dengan alasan yang wajar kita tidak boleh menyalahkan bila banyak calon guru atau guru berpengalaman memilih mengajar di kota. Dan juga masalah pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru semata. Ini adalah tanggung jawab bersama. Lagipula akhir-akhir ini hampir semua orang lupa bahwa seorang anak mendapatkan pendidikan pertama-tama dari keluarga. Banyak orang tua di desa masih belum sadar pentingnya pendidikan (bersekolah) untuk anak mereka. Sedangkan di kota besar, sekolah dijadikan tempat 'penitipan anak' asal SPP lancar, selebihnya banyak orang tua yang tidak peduli bagaimana keadaan anaknya di sekolah. Harusnya peran keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama dihidupkan kembali.
Kalau ngomong masalah pendidikan tentu masih banyak lagi. Sekarang kita perlu memikirkan solusi-solusinya.
Apakah 'meliburkan diri sendiri' menunjukkan kualitas manusia yang malas bekerja? Aku tidak tahu. Yang kuketahui adalah tentang hukum kelembaman. Bila sesuatu tidak diberi gaya, maka sesuatu itu akan terus diam atau bergerak. Bila sudah libur, maka keinginan hati libur terus. Tanpa ada motivasi, orang akan terus malas bekerja. Padahal bekerja bukanlah suatu beban yang harus dihindari.
Bekerja adalah panggilan hidup. Andai orang yang 'meliburkan diri sendiri' tadi mengerti akan hal ini, maka ia akan datang ke kantor untuk bekerja walaupun hari itu adalah harpitnas.
Aku hampir lupa tentang hari pendidikan nasional. Banyak sekali omongan/kritik mengatakan bahwa banyak guru lebih memilih mengajar di kota karena gaji besar daripada mengajar di daerah terpencil. Tapi menurutku, tidak juga. Hampir semua pekerja (orang kantoran) juga begitu, bukan hanya guru. Kalau ditanya, 'pilih jadi petani atau jadi orang kantoran?' 'Pilih bekerja di kampung atau di kota?' pasti banyak orang memilih yang kedua. 'Pilih jadi guru atau kantoran?' pasti pilih yang kedua lagi dengan alasan jadi guru gajinya tidak seberapa dibanding jadi karyawan kantoran.
Masalahnya sekarang bagaimana pemerintah menyejahterakan hidup para guru yang bekerja di daerah terpencil. Jadi, dengan alasan yang wajar kita tidak boleh menyalahkan bila banyak calon guru atau guru berpengalaman memilih mengajar di kota. Dan juga masalah pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru semata. Ini adalah tanggung jawab bersama. Lagipula akhir-akhir ini hampir semua orang lupa bahwa seorang anak mendapatkan pendidikan pertama-tama dari keluarga. Banyak orang tua di desa masih belum sadar pentingnya pendidikan (bersekolah) untuk anak mereka. Sedangkan di kota besar, sekolah dijadikan tempat 'penitipan anak' asal SPP lancar, selebihnya banyak orang tua yang tidak peduli bagaimana keadaan anaknya di sekolah. Harusnya peran keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama dihidupkan kembali.
Kalau ngomong masalah pendidikan tentu masih banyak lagi. Sekarang kita perlu memikirkan solusi-solusinya.
Langganan:
Postingan (Atom)