Hari yang sibuk meski libur. Karena aku baru
pulang kampung setelah aku meninggalkannya delapan tahun lalu. Liburan
kali ini kunikmati dengan jalan-jalan ke
rumah saudaraku. Momen yang sangat berkesan. Banyak hal berubah. Beberapa anak
remaja tidak kukenali lagi wajahnya. Waktu aku pergi dulu mereka semua masih
bayi. Aku menanyakan nama-nama mereka. Kami berkenalan. Aku agak kaget, sudah
selama itu aku telah meninggalkan kampung halamanku. Rumah-rumah di sekeliling
masih sama, hanya berubah sedikit. Jalanan juga berubah lebih mulus, yang
kuingat jalan di depan rumahku terdapat retakan dan lubang yang cukup besar.
Dulu, kalau ada kendaraan melintas harus memperlambat laju saat lewat depan
rumah. Teman-teman sebayaku juga berubah. Ada dari mereka yang sudah berkeluarga,
bahkan sudah punya anak. Aku menyempatkan diri mengunjungi mereka, meski
sebentar saja. Menyapa keluarga mereka.
Waktu bersama keluarga pun tiba. Aku dijejali
berbagai pertanyaan. Mulai dari kuliahku, pekerjaanku, hingga teman hidupku.
Sudah kuduga sebelumnya semua hal ini pasti menjadi topik pembicaraan. Terutama
mengenai pasangan hidup. Umurku sudah lewat dari dua puluh lima tahun. Wajar
kalau keluarga menanyakan hal ini, pikirku. Kuceritakan semua kisahku selama
berada di Jakarta. Betapa sulitnya hidup di Jakarta. Kuliahku berjalan dengan
lancar dan aku juga lulus tepat waktu. Tentu bukan tanpa masalah. Hampir saja
aku gagal di tugas akhirku. Waktu itu aku terlambat melakukan penelitian di
sebuah sekolah. Namun, karena guru pembimbingku baik hati, aku akhirnya
diizinkan untuk meneliti di sana, sebuah SMA di Bekasi. Pekerjaanku tidak
terlalu berjalan mulus. Setelah lulus, hingga aku pulang sekarang, aku sudah
tiga kali pindah tempat kerja. Masalahnya mulai dari keinginan hati hingga
cekcok dengan pimpinan. Gajiku pernah dipotong, hingga aku hanya menerima
setengahnya gara-gara menentang pimpinan mengenai program kerjaku saat itu.
Maklum waktu itu aku masih sangat emosional. Kurang bijak dalam menyampaikan
pendapat. Terakhir, aku mengajar di satu sekolah swasta di Bogor.
Mengenai pasangan hidup, bukannya aku tidak
peduli. Beberapa kali aku berkenalan dengan perempuan. Mungkin bukan jodoh.
Semuanya berakhir sebagai teman. Keluargaku agak kuatir akan hal ini. Padahal
aku sudah bilang bahwa aku juga memikirkannya. Tetap saja mereka terus
mendesak. Mereka pikir aku telah gila kerja dan gila belajar. Karena aku pernah
menyampaikan bahwa aku akan lanjut kuliah untuk mengambil gelar strata dua.
Ibuku selalu memaksaku. Dialah orang yang sangat peduli terhadap ini. Hingga
dia menawarkanku untuk mencarikanku seorang perempuan, calon teman hidupku.
Sebenarnya aku ingin menolak karena aku sudah punya tujuan sendiri dalam waktu
dekat ini, lanjut kuliah. Belum ingin menikah. Tapi, aku tidak bisa menghindar
bahwa sekarang aku memikirkan ini.
Suatu hari, seperti biasa selama liburan, aku
bekerja membantu ibuku di kebun. Kebun kami cukup luas. Beberapa tanaman tumbuh
di sana. Ada jagung, cabai, dan yang lainnya. Sudah lama aku tidak ke kebun dan
merasakan aroma tanah. Aku menyukai momen ini. Seperti mengulang masa kecilku.
Ketika sore, waktunya pulang ke rumah, aku
ternyata diajak ke sebuah rumah. Rumah itu tidak kukenal. Aku ditemani oleh
adikku. Sedangkan ibuku sudah pulang lebih dulu. Di tengah perjalanan pulang
aku, dan adikku, didatangi seseorang yang tidak kukenal. Dia menuntun kami ke
sebuah rumah. Mungkin dia orang suruhan ibuku, pikirku, untuk menunjukkan rumah
yang akan kami kunjungi. Aku dan adikku menurut saja. Orang asing itu menunjuk sebuah rumah. Lalu pergi.
Menghilang. Aku tidak sempat bertanya. Akhinrnya, kami ke sana, ke rumah itu.
Setibanya di depan rumah itu, sebelum masuk, aku
melihat seorang gadis cantik. Putih. Rambutnya hitam lurus. Malu-malu. Dia menundukkan
kepala. Tapi, sempat kami bertatapan sekali. Dia cantik. Setelah itu aku tidak melihat
wajahnya lagi. Gadis itu masuk duluan. Langkahnya buru-buru. Ini rumahnya.
Mungkin dia anak si pemilik rumah. Sesampainya di pintu, aku kaget, ibuku sudah
ada di dalam bersama ibu-ibu lain, pemilik rumah. Kuberi salam dengan sopan.
Aku dan adikku dipersilakan duduk. Tidak lama gadis tadi muncul, menundukkan
kepala, membawa minuman, lalu meletakkannya di meja di depan kami. Lalu
menghilang ke belakang. Aku tidak sempat melihat wajahnya karena aku masih
berpikir mengapa aku diajak ke rumah itu. Ibuku ada di sana. Seorang ibu lain
juga di situ, mungkin dia ibu si gadis. Mereka seperti merahasiakan sesuatu.
Dan, pada akhirnya aku menyimpulkan ini semua rencana ibuku.
Tiba-tiba semua menghilang. Wajah ibuku, adikku,
ibu si gadis, dan wajah gadis itu. Aku membuka mata. Tersadar. Gelap. Lalu bangun. Aku segera berdiri menyalakan lampu kamarku.
Mataku menyipit karena cahaya lampu. Jam menunjukkan hampir pukul empat pagi.
Wahai istri masa
depanku, aku memimpikanmu.