Hai,
kamu.
Aku
sudah lama tak mendengar kabarmu. Bolehkah kau memberitahuku sekali saja? Sebab
rinduku sudah sebesar gunung; tak dapat kutanggung lagi. Ujung rindu ini sudah
tak mampu kudaki lagi.
Aku
tahu aktivitasmu pasti sangat padat; banyak tugas yang harus diselesaikan.
Tetapi, karena kau tidak memberiku kesempatan untuk mendengar kabarmu, maka apa
yang bisa kuperbuat? Tidak ada!
Tidak
hanya itu, jarak telah memisahkan kita. Aku tidak benci pada jarak. Aku sedikit
tidak menyukai ketidakmampuanku menggapaimu. Rasanya seperti ketika aku sedang
menatap bintang di malam hari; tak pernah bisa kugapai. Bahkan bintang yang
jauh di sana rela menunjukkan dirinya meski hanya terlihat setitik di langit
yang mahaluas. Andai kau tahu, kau telah menjadi bintang bagiku.
Aku
menuliskan ini untuk melepas semua yang ada dalam kepalaku. Aku akan
menceritakan hal-hal yang mungkin kurang menarik bagimu. Lagipula ceritaku kali
ini tidak akan beralur; aku menceritakan apa saja yang keluar dari pikiranku,
lalu tanganku akan menuliskannya.
Bulan
Juni tahun lalu aku pindah ke daerah Serpong. Kota itu asing bagiku meskipun
aku pernah ke sana satu-dua kali. Untuk tinggal di sana, belum pernah. Baru
kali itulah aku benar-benar pindah dan tinggal di sana di sebuah kontrakan. Tapi
aku tidak lama di sana karena lima bulan setelah itu aku pulang kampung.
Aku
suka membaca. Itulah yang membantuku setiap berada pada lingkungan baru.
Misalnya aku sedang tidak berminat berpergian, aku lebih memilih membaca buku
di kamar.
Pada
waktu itu aku belum memutuskan akan bergereja di mana. Aku belum tahu gereja
terdekat di situ. Jujur saja dua minggu aku tidak ke gereja. Pertama, karena
pada minggu pertama aku juga baru pulang dari acara alumni di Bogor. Minggu berikutnya,
kalau tidak salah, saat itu aku bangun kesiangan dan sorenya aku ketiduran
hehe.
Barulah
pada minggu ketiga aku ke gereja. Aku memilih bergereja di HKBP. Tidak jauh
dari kontrakanku. Terakhir aku beribadah di HKBP satu kali sekitar 7 tahun lalu
di Cibinong. Selebihnya aku bergereja di GKC - Cibinong.
Ada
kisah menarik dan manis, meskipun sedikit lucu, ketika aku pertama kali ke HKBP
Serpong. Untuk menuju lokasi aku tidak kesulitan karena mengandalkan driver
grab hehe. Kemudian aku cukup kebingungan untuk masuk karena di sana terdapat
juga gereja Katolik. Untung saja aku sempat menanyakan ke sekuriti yang ada di
sana.
Tidak
hanya itu, ketika masuk ke dalam ruang ibadah, namanya pertama kali ke sana,
belum ada yang kukenal, aku agak kebingungan duduk di sebelah mana. Pikiranku
segera berputar: aku akan duduk di dekat perempuan cantik (dasar laki-laki!) hehe. Misi kujalankan.
Kursi
masih banyak yang kosong. Kuedarkan pandangku ke seluruh ruang gereja secara
cepat sambil menimbang duduk di sisi kiri atau kanan. Aku hampir lupa dengan
misiku karena ternyata masih jemaat masih sedikit yang datang. Oh iya, itu
ibadah sore jam 5 dan aku datang agak lebih awal.
Itu dia,
pikirku, setelah memasuki pintu gereja dan masuk ke lorong kursi di bagian
tengah. Di sebelah kiri kulihat seorang perempuan berbaju putih, rambut panjang
terurai manis, dan, aha! dia sendirian. Seorang perempuan cantik! Ini dia yang kucari haha. Aku pun menuju kursi
satu baris di belakangnya. Aku duduk di belakangnya agak ke kanan agar bisa
kulihat siapa dia. Di sinilah sisi lucunya; ternyata dia adalah rekan guru
sendiri hehehe. Kecewa? Tentu tidak sama sekali dong. Dia adalah rekan baru
karena aku baru pindah sekolah.
Dia
adalah teman kerja. Aku tidak akan beritahu dia ngajar apa, cukup petunjuknya;
dia mengajar mata pelajaran yang kurang disukai kebanyakan siswa haha. Aku juga
tidak begitu berminat dengan pelajaran itu, dulu!
Sebenarnya
aku sedikit malu memikirkan niatku sebelumnya. Tapi kupikir, toh, hanya aku
yang tahu (Tuhan juga tahu sih) hehehe. Akhirnya kusapa dia dan meminta izin
untuk duduk di sebelahnya. Dia tentu saja mengizinkan. Kupasang wajah datar dan
biasa saja (memang sudah datar sebelumnya) untuk menyembunyikan rasa malu,
takut ketahuan. Padahal dia pasti tidak tahu - kecuali kalau dia dukun.
Rekan
yang kuceritakan barusan (sekarang sudah mantan rekan kerja) lumayan cantik. Aku
suka rambutnya dan saat dia ketawa, meskipun tawanya agak pelit. Setidaknya
menurutku ya. Sepertinya dia seorang pendiam jika dengan orang baru, tapi kalau
sudah dekat mungkin baru terlihat kelakuannya hehehe. Penilaian ini sebenarnya
adalah cerminan diriku sendiri yang pendiam dan tak banyak bicara. Hanya dengan
orang yang benar-benar kukenal aku bisa “terbuka”.
Mengenai
dia, selanjutnya, tidak akan kubicarakan lagi. Aku tahu cerita di atas hanya
terdengar lucu bagiku karena aku yang mengalaminya. Entah bagimu. Mengenai dia,
secara khusus, nanti akan kutuliskan juga sebuah cerita jika ada kesempatan. Atau,
mungkin saja, kelak, dia dan aku menuliskan cerita bersama. Entahlah.
Sejauh
ini baru kusadari menulis itu lumayan susah. Apa yang kupikirkan belum tentu
bisa kutuliskan sesuai yang kupikirkan kata demi kata, kalimat demi kalimat.
Butuh koreksi beberapa kali. Hasil akhirya, ya, seperti ini!
Aku
akhirnya pulang. Keputusan pulang bukanlah perkara mudah bagiku. Pulang berarti
aku akan kembali ke (dan tinggal di) kampung halaman. Ini berat karena hampir
separuh usiaku saat ini berada di perantauan. Banyak hal yang berubah. Bukan berarti
aku tidak bisa hidup lagi di desa. Butuh penyesuaian yang cukup besar dari
kehidupan di kota ke kehidupan desa.
Aku
memutuskan pulang kampung setelah menggumulkannya dalam doa. Jujur saja, tidak
mudah untuk memilih pulang. Berbagai pertimbangan, terutama pekerjaan,
membuatku cukup lama memilih untuk pulang ketimbang menetap di Serpong. Walaupun
pada saat itu aku sudah resign dari sekolah karena alasan kesehatan. Bisa saja
aku mencari pekerjaan baru. Tetapi setelah kupikirkan kembali, demi kesehatan,
maka kuputuskan untuk pulang. Entah bagaimana ke depannya, sepenuhnya
kuserahkan pada tangan pemeliharaan Tuhan.
Seminggu
sebelum aku pulang, aku sudah mengirimkan semua barangku dengan memakai jasa
kargo. Biayanya lumayan besar. Aku juga sudah memesan tiket pesawat. Namun,
beberapa hari sebelumnya, salah satu maskapai membatalkan penerbangan sehingga
aku harus memesan maskapai lain. Sampai sekarang uang kembalian alias refund belum ada kabar.
Sehari
sebelum pulang, aku pamit ke pemilik kontrakan, lalu menginap di rumah saudara
yang ada di Tangerang. Alasannya supaya lebih dekat dari bandara karena jadwal
keberangkatanku jam 5 pagi. Aku ke sana dengan grab bike.
Di
Tangerang aku sempat berjalan-jalan di sekitar tempat tinggal saudara tadi. Kebetulan
malam itu ada pasar malam, jadi banyak orang berdatangan. Kebanyakan berbelanja
karena harganya lumayan miring. Pada malam itu aku juga sempat belanja di
minimarket untuk keperluan sarapan terutama saat transit esok hari di Kualanamu
Airport. Aku akan transit selama 4 jam.
Sekitar
jam 4 pagi aku sudah di bandara Soekarno-Hatta. Sebuah insiden kualami. Ternyata
salah satu kartu ATM-ku tertinggal. Aplikasi mobile banking-ku telah
dinon-aktifkan. Nanti setelah aku di Kualanamu aku baru mengetahui ATM-ku
tertinggal di minimarket yang kukunjungi semalam dan kartunya tertelan dalam
mesin sehingga otomatis rusak dan oleh karenanya aplikasi tidak bisa
diaktifkan.
Subuh
itu aku membutuhkan uang untuk membayar biaya tambahan bagasi. Saldo dalam kartu
ATM-ku yang lain pun kosong. Karena aku biasa memakai satu kartu saja. Pagi itu
aku panik! Jadwal boarding tinggal hitungan menit. Aku mencoba membujuk
petugas, tetap tidak bisa. Akhirnya, aku menghubungi saudara tempatku menginap
tadi malam. Untung mereka terbangun dan bersedia transfer lewat aplikasi. Itulah
keuntungan teknologi, tidak perlu repot-repot ke mesin ATM.
Aku
melewati pagi yang berat. Tasku sudah masuk bagasi, pembayaran belum selesai,
jadwal boarding hampir habis, aku masih di loket check-in. Aku bisa saja
kehilangan penerbanganku dan barang bawaanku. Setelah transaksi selesai, aku
berlari menuju tangga, melewati pemeriksaan, dan di gate yang kutuju ada seorang petugas menunggu dan menebak bahwa aku
adalah penumpang yang terlambat. Benar saja. Aku penumpang terakhir yang
ditunggu. Mungkin sudah beberapa kali namaku dipanggil lewat pengumuman suara.
Akhirnya
aku sudah di pesawat. Jantungku berdegup kencang, terengah-engah seperti
kehabisan napas, tetapi ada rasa tenang yang tak bisa digambarkan. Pramugari membantu
memasukkan tas ranselku ke bagasi kabin. Penerbangan akan ditempuh selama dua
jam.
Jam
7 pagi aku berada di Kualanamu Airport. Setiba di ruang tunggu, segera
kuhubungi pihak bank untuk mengamankan kartu ATM-ku, yang jangan-jangan telah
diambil orang. Pihak bank mengonfirmasi bahwa ATM-ku telah diamankan. Namun,
m-banking baru bisa digunakan jika aku ke kantor cabang terdekat. Sialnya, aku
sedang di bandara dan di sana tidak ada kantor cabang bank yang kubutuhkan. Kalau
aku ke Medan, aku ragu tidak cukup waktu untuk kembali lagi ke bandara untuk
penerbangan berikutnya. Dan di kampungku, bank tersebut tidak memiliki cabang.
Apakah
kau mengikuti ceritaku sampai di sini?
Aku
ingin menyampaikan bahwa pertolongan Tuhan itu tepat waktu. Sesuai dengan apa
yang kita butuhkan. Kadang kita lupa membedakan mana kebutuhan mana keinginan. Kepanikanku
pagi itu teratasi oleh pertolongan dari saudara. Aku menganggap pertolongan itu
berasal dari Tuhan. DIA bisa memakai siapa saja untuk menolong kita, bahkan di
saat-saat tersulit dan mustahil. Bayangkan kalau saudara tadi tidak menjawab
telfonku karena masih terlelap tidur? Padahal aku sedang membutuhkan
pertolongan – penting dan mendesak.
Ngomong-ngomong
apa kabar, kamu? Aku selalu berdoa agar kamu selalu dalam keadaan baik dan
sehat, meskipun hal itu tidak mungkin. Bisa saja kondisimu sedang tidak baik,
kurang sehat, kurang bersemangat. Aku selalu meminta pada Tuhan agar DIA
mengirim malaikat penjaga untuk menjagamu setiap saat, terutama di masa-masa
sulitmu. Apakah kau merasakannya?
Apapun
keadaanmu – baik atau kurang baik, mungkin kamu memiliki kegiatan yang sangat
padat, jangan pernah lupa, selalu ingat, untuk tetap memiliki relasi pribadi
dengan Tuhan. Memang kadang kita mengalami kondisi jenuh, aku berharap kamu
bisa mengatasi itu dengan pertolongan-Nya.
Ada
satu petikan Firman yang ingin kubagikan: “semoga Allah, yang adalah sumber
ketekunan dan pengiburan, mengaruniakan kerukunan kepada kamu sesuai dengan,
sesuai dengan kehendak Kristus Yesus (Roma 15:5)”.
Di
ayat itu Paulus menggambarkan Allah sebagai sumber ketekunan. Ya, Dia-lah yang
membuat kita mampu bertekun di dalam Dia. Jika dengan kekuatan kita sendiri, kita
tidak akan sanggup. Sebab, seperti kukatakan di atas, kita kadang mengalami kejenuhan.
Kita punya keterbatasan. Pertahanan diri kita bisa runtuh. Kejenuhan itu bisa
saja disebabkan oleh padatnya aktivitas, tekanan dari orang lain, dan/atau
berbagai pergumulan lain.
Barangkali
itu saja yang bisa kuceritakan di sini. Kalau lebih panjang, aku yakin, kau
pasti bosan membacanya. Itu pun kalau kamu memiliki waktu membaca ocehan tidak
pentingku ini!
Ingat,
aku masih menantikan keajaiban itu. Masih ingatkah kamu? Kau tentu sudah
melupakannya.
|
sumber: https://unsplash.com/photos/oCdVtGFeDC0 |