bergelut melawan diri sendiri
kepala penuh berdenyut-denyut
hendak mengeluarkan diri dari tubuh.
hari dijalani sendiri sepi
di antara ratusan pejalan kaki
yang terburu-buru ke tujuan masing-masing.
hati ingin menyapa satu orang saja
tapi tak satu pun dikenal
wajah mereka pun sama
berat menanggung beban hidup.
bergelut melawan diri sendiri
ingin menghilang, tapi ke mana?
aku ingin terus jalan
tanpa harus tiba.
tiba bagai bertemu masalah baru.
di jalan, yang kutemui berbeda-beda
semua menyenangkan matapun puas.
Rabu, 27 November 2013
Rabu, 20 November 2013
beberapa nasehat untuk diri sendiri
lain kali berpikirlah sebelum bicara
lain kali berhati-hatilah melangkah
jangan lihat terus ke atas
jangan lihat terus ke bawah.
lain kali pikirkan baik-baik
bila membuat keputusan
apapun yang terjadi buatlah keputusan.
hidup tidak berjalan baik
tanpa keputusan pun adalah sebuah keputusan.
lain kali dengarkan hatimu
jangan turuti nafsu
jadilah bijak.
nafsu membuatmu menyesal.
lain kali berencanalah
jangan biarkan hidup diseret waktu
tapi hiduplah menurut alurnya.
jangan berpikir kau bisa mengerjakan semua
pilihlah yang utama. kerjakanlah itu
lalu menyusul yang lain.
lain kali berhati-hatilah melangkah
jangan lihat terus ke atas
jangan lihat terus ke bawah.
lain kali pikirkan baik-baik
bila membuat keputusan
apapun yang terjadi buatlah keputusan.
hidup tidak berjalan baik
tanpa keputusan pun adalah sebuah keputusan.
lain kali dengarkan hatimu
jangan turuti nafsu
jadilah bijak.
nafsu membuatmu menyesal.
lain kali berencanalah
jangan biarkan hidup diseret waktu
tapi hiduplah menurut alurnya.
jangan berpikir kau bisa mengerjakan semua
pilihlah yang utama. kerjakanlah itu
lalu menyusul yang lain.
Selasa, 19 November 2013
barangkali manusia lupa
barangkali manusia lupa
hidup ini singkat
harta tidak dibawa mati.
barangkali manusia perlu diingatkan
perlu dibangunkan
perlu disadarkan.
manusia menjadi pelupa
bila di tangannya bertumpuk-tumpuk harta
padahal itu sementara.
manusia menjadi pelupa
bila hidupnya nyaman
padahal dia tidak tahu kapan ia mati
-hal paling ditakuti.
manusia oh manusia
hidupmu sendirian
tiada yang sepertimu
-tak seorang pun.
manusia oh manusia
hidupmu tidak sendirian
bila kau yakin pada Penciptamu.
hidup ini singkat
harta tidak dibawa mati.
barangkali manusia perlu diingatkan
perlu dibangunkan
perlu disadarkan.
manusia menjadi pelupa
bila di tangannya bertumpuk-tumpuk harta
padahal itu sementara.
manusia menjadi pelupa
bila hidupnya nyaman
padahal dia tidak tahu kapan ia mati
-hal paling ditakuti.
manusia oh manusia
hidupmu sendirian
tiada yang sepertimu
-tak seorang pun.
manusia oh manusia
hidupmu tidak sendirian
bila kau yakin pada Penciptamu.
Senin, 18 November 2013
jangan-jangan ini jebakan
jangan-jangan ini jebakan
kata-kata manis yang menggoda
pemberi harapan palsu
adalah kita harus mendahului kepentingan sesama
dari kepentingan pribadi.
setelah kita dewasa kita sama sama tahu
bila aku rugi jangan sampai kau yang beruntung
bila aku beruntung semoga kau tidak ikut merasa.
jangan ajari kanak-kanak tentang manisnya hidup
berilah teladan agar mereka tidak meludahi wajahmu kelak
menginjak-injak harga dirimu.
jangan-jangan ini hanya jebakan
'lakukanlah,' bisikmu dalam hati,
'semoga kau terjebak.'
kita sama-sama tahu.
kita tertipu.
bangsa kita murah hati padahal tega memakan
makanan saudaranya yang kelaparan.
bangsa kita kaya tapi ada yang mengemis.
kata-kata manis yang menggoda
pemberi harapan palsu
adalah kita harus mendahului kepentingan sesama
dari kepentingan pribadi.
setelah kita dewasa kita sama sama tahu
bila aku rugi jangan sampai kau yang beruntung
bila aku beruntung semoga kau tidak ikut merasa.
jangan ajari kanak-kanak tentang manisnya hidup
berilah teladan agar mereka tidak meludahi wajahmu kelak
menginjak-injak harga dirimu.
jangan-jangan ini hanya jebakan
'lakukanlah,' bisikmu dalam hati,
'semoga kau terjebak.'
kita sama-sama tahu.
kita tertipu.
bangsa kita murah hati padahal tega memakan
makanan saudaranya yang kelaparan.
bangsa kita kaya tapi ada yang mengemis.
Sabtu, 09 November 2013
untuk pahlawan
Perjuangan tak sia-sia
Akhirnya negeri ini merdeka
Harapan sudah di genggaman tangan.
Lalu waktu berganti juga generasi
Apakah yang dicita-citakan sudah terwujud?
Wajah penjajah muncul dalam rupa lain
Alangkah sedih hatimu, wahai Pahlawan, jika kau dengar ini:
Negeri kita belum benar-benar merdeka.
Akhirnya negeri ini merdeka
Harapan sudah di genggaman tangan.
Lalu waktu berganti juga generasi
Apakah yang dicita-citakan sudah terwujud?
Wajah penjajah muncul dalam rupa lain
Alangkah sedih hatimu, wahai Pahlawan, jika kau dengar ini:
Negeri kita belum benar-benar merdeka.
Selasa, 05 November 2013
lihat! tapi mereka tidak melihat
apa isi hati manusiajahat itu
sampai-sampai uang dana sosial pun
dimakan olehnya?
tidak dilihatnya saudara-saudari sebangsanya
kelaparan, atau tidak dianggapnya
mereka sebagai saudara.
lihat! saudara-saudari kita
mencuci di pinggir kali yang airnya jorok
di bawah tiang-tiang rumahnya yang menjorok
ke sungai. di sampingnya sampah menggunung.
lihat! saudara-saudari kita
kepanasan di pinggir mobil mewah
yang berhenti di lampu merah.
tangan terulur, kosong, terabaikan.
lihat! saudara-saudari kita
serius bekerja di ladangnya yang kering
ia terus menanam meski hasil belum pasti.
lihat! saudara-saudara kita
berlayar mencari ikan semalaman
siang hari mereka lanjut bekerja lagi
bagi mereka tidur hanya membuang-buang waktu.
tapi mereka, manusiajahat itu, tidak melihat
sebab kacamata mereka hitam
berkilau di bawah cahaya matahari.
andai hidup ini mudah dibalik.
sampai-sampai uang dana sosial pun
dimakan olehnya?
tidak dilihatnya saudara-saudari sebangsanya
kelaparan, atau tidak dianggapnya
mereka sebagai saudara.
lihat! saudara-saudari kita
mencuci di pinggir kali yang airnya jorok
di bawah tiang-tiang rumahnya yang menjorok
ke sungai. di sampingnya sampah menggunung.
lihat! saudara-saudari kita
kepanasan di pinggir mobil mewah
yang berhenti di lampu merah.
tangan terulur, kosong, terabaikan.
lihat! saudara-saudari kita
serius bekerja di ladangnya yang kering
ia terus menanam meski hasil belum pasti.
lihat! saudara-saudara kita
berlayar mencari ikan semalaman
siang hari mereka lanjut bekerja lagi
bagi mereka tidur hanya membuang-buang waktu.
tapi mereka, manusiajahat itu, tidak melihat
sebab kacamata mereka hitam
berkilau di bawah cahaya matahari.
andai hidup ini mudah dibalik.
Senin, 04 November 2013
pejabat kini
inilah awal dan akhir cerita pejabat kini:
dari kursi pejabat
hingga kursi terdakwa. sekian.
dari kursi pejabat
hingga kursi terdakwa. sekian.
Selasa, 29 Oktober 2013
sesudah hujan
sesudah hujan
angin diam
udara basah.
angin diam
udara basah.
sesudah hujan
langkah langkah pelan
di jalan basah.
langkah langkah pelan
di jalan basah.
di sudut jalan
kulihat sang bidadari
sayapnya kuyup
sesudah hujan.
kulihat sang bidadari
sayapnya kuyup
sesudah hujan.
hujan telah pulang
ditinggalkannya bidadari itu
menggigil sedih.
ditinggalkannya bidadari itu
menggigil sedih.
nyanyian rindu
garis garis hujan di luar
adalah senar puisi kenangan
dipetik jemari cantik sang bidadari
mendendangkan nyanyian hati.
adalah senar puisi kenangan
dipetik jemari cantik sang bidadari
mendendangkan nyanyian hati.
di sini aku, si penyendiri,
memeluk sepi sambil menikmati
nyanyian rindu yang dinyanyikan hujan
dengan suara berisik.
memeluk sepi sambil menikmati
nyanyian rindu yang dinyanyikan hujan
dengan suara berisik.
Rabu, 23 Oktober 2013
Cerita Maya
Namanya Maya.
Perempuan muda baru menikah. Ia sering ditinggal pergi suaminya karena tuntutan
pekerjaan. Ia juga sering ikut berpindah kota kalau suaminya tiba-tiba
dipindah-tugaskan ke kota lain. Meski sekarang bersama keluarga barunya, Maya
kadang merasa kesepian. Tentu ia tidak menyalahkan suaminya akan kondisi ini.
Ia mencintai suaminya. Dia akan hidup bersama suaminya dalam senang dan susah.
Itulah janji pernikahan mereka. Karena sering berpindah tempat, mereka pun
biasa mengontrak rumah. Sudah ada memang rencana membeli rumah permanen, namun
itu masuk dalam rencana jangka panjang mereka, kata suaminya suatu hari.
Tapi siapa sangka
suatu hari Maya mengkhianati pernikahan mereka. Berawal saat mereka mengontrak
rumah di daerah Depok, Jawa Barat. Rumah kontrakan yang juga dihuni oleh orang
lain. Rumah kontrakan itu memang dihuni oleh beberapa keluarga, tapi ada juga yang
penghuninya yang masih sendiri atau belum berkeluarga. Seperti hari-hari
biasanya, rumah itu sering sepi di siang hari karena penghuninya semua telah
berangkat kerja. Dan keadaan akan kembali ramai saat hari telah malam. Kecuali
satu orang, jarak dua kamar di sebelah kamar Maya dan suaminya, seorang pemuda
yang berprofesi sebagai guru, Feri. Profesinya sebagai guru membuatnya pulang
lebih awal dari penghuni kontrakan yang lain. Di pagi hari, biasanya Ferilah
yang terakhir berangkat karena tempatnya bekerja, yaitu di sebuah sekolah,
hanya seratus meter jaraknya dari rumah itu.
Suatu hari, Maya
merasa sangat kesepian. Bosan dengan keadaannya yang sendirian. Pernah ia minta
untuk mencari pekerjaan, namun suaminya tidak mengizinkannya, tentu dengan
alasan suatu hari, yang tidak menentu, mereka akan pindah dari kota itu.
Sebenarnya ini menjadi ujian awal buat mereka. Adanya perbedaan pendapat.
Namun, Maya selalu berusaha untuk tidak memperbesar masalah ini. Ia selalu mencari cara agar tidak bosan ditinggal
sendirian di rumah, di kota yang tidak terlalu ia kenali. Kesibukan paginya
adalah menyapu halaman rumah, meski itu bukan rumah sendiri, yang dipenuhi
dedaunan pohon mangga. Pohon mangga itu tumbuh di sudut pekarangan depan. Dan
tanpa disengaja ia pun sering bertegur sapa dengan Feri. Dan saat sore hari,
saat Feri pulang dari sekolah, mereka sering berpapasan. Saling melempar
senyum. Sejak saat itulah hati Maya mulai goyah. Pernah suatu hari, saat itu
suaminya belum pulang selama tiga hari, ia berpikir, andaikan ia menikah dengan
seorang guru tentu ia tidak akan merasa kesepian. Ia selalu cemburu dengan
pekerjaan Feri yang selalu pulang lebih awal. Ia mulai membandingkan dengan
pekerjaan suaminya yang jarang sekali di rumah.
Setiap kali Feri
pulang kerja, Maya pun membayangkan suaminya yang pulang. Ia sadar ada yang
salah dengan dirinya. Namun ia juga tidak bisa menolak keadaan yang dialaminya.
Ia juga tidak bisa menolak saat hatinya diam-diam menyukai Feri, karena ia
sering bertemu dengannya. Memang mereka jarang bicara. Feri seorang pendiam
namun kelihatannya sangat ramah. Kadang-kadang saat Feri pulang, ditandai
dengan pintu utama rumah itu terbuka, Maya pun bergegas membuka pintu kamarnya
seolah-olah ingin menyambut sang suami, padahal dalam hati kecilnya ia hanya
ingin melihat sosok Feri. Feri memang tidak terlalu tampan, namun pembawaannya
yang tenang dan cuek membuat hati Maya selalu penasaran dengan pribadi pemuda
itu. Lagipula suaminya jarang di rumah.
Maya sadar telah
jatuh ke dalam perselingkuhan diam-diam. Namun keadaanlah yang membuatnya
begitu. Ia masih muda, baru menikah, tentu sangat mendambakan perhatian dari
suaminya. Ia juga tidak ingin
menyalahkan suaminya, meskipun tidak mengizinkannya mencari pekerjaan. Dan,
setelah beberapa bulan, hampir setahun, tinggal di rumah itu, mereka pun
pindah. Entah bagaimana lagi kisah Maya, tidak ada yang tahu. Maya sendiri pun
tidak tahu. Ia hanya mengikuti ke mana hidup ini mengalir.
Senin, 21 Oktober 2013
andai ada hidup di tengah-tengah
andai ada hidup di tengah-tengah,
antara kaya dan miskin
boleh kan kami memilih?
kami dimiskinkan
kami bagai bayi
dibiarkan lahir lalu dibuang
dibiarkan ada sebagai tontonan
mereka hanya memikirkan nafsu semata
negeri kita kaya
namun bukan kita yang makan
hanya mereka hanya mereka.
lalu kami?
andai bisa hidup di tengah-tengah
antara kaya dan miskin
boleh kan kami memilih?
antara kaya dan miskin
boleh kan kami memilih?
kami dimiskinkan
kami bagai bayi
dibiarkan lahir lalu dibuang
dibiarkan ada sebagai tontonan
mereka hanya memikirkan nafsu semata
negeri kita kaya
namun bukan kita yang makan
hanya mereka hanya mereka.
lalu kami?
andai bisa hidup di tengah-tengah
antara kaya dan miskin
boleh kan kami memilih?
sesak
bagaimana kami harus berkata
tentang isi hati kami yang penuh
kesesakan?
kami sesak di rumah sendiri
kami sesak di kota sendiri
kami sesak di udara kami sendiri.
baru saja kami tidur
kami harus segera bangun.
baru saja kami ingin istirahat
kami harus segera berangkat.
sesak.
sungguh menyesakkan.
bagaimana kami harus berkata
tentang isi hati kami yang penuh
kesesakan?
sebab kami harus berjuang sendiri
bertarung melawan hidup.
tentang isi hati kami yang penuh
kesesakan?
kami sesak di rumah sendiri
kami sesak di kota sendiri
kami sesak di udara kami sendiri.
baru saja kami tidur
kami harus segera bangun.
baru saja kami ingin istirahat
kami harus segera berangkat.
sesak.
sungguh menyesakkan.
bagaimana kami harus berkata
tentang isi hati kami yang penuh
kesesakan?
sebab kami harus berjuang sendiri
bertarung melawan hidup.
Sabtu, 19 Oktober 2013
nyatanya
puisi menipuku
puisi menidurkanku
menghadiahiku mimpi indah
nyatanya, kau tak pernah mencintaiku.
puisi menidurkanku
menghadiahiku mimpi indah
nyatanya, kau tak pernah mencintaiku.
Selasa, 15 Oktober 2013
kemiskinan di kota
"mari kita menonton kemiskinan,"
suatu hari seorang teman
mengajakku menonton.
"di mana?"
"di kota."
suatu hari seorang teman
mengajakku menonton.
"di mana?"
"di kota."
Senin, 14 Oktober 2013
bu, tasku robek
bu, tasku robek
pulpenku hilang barangkali jatuh di jalan,
pinta seorang anak.
berlatar belakang dapur kotor sarang kuman,
sang ibu sibuk menyalakan api
meniup-niup tungku hingga pipinya pegal.
bu, teman-temanku punya buku paket
kenapa aku tidak punya,
seragamku robek,
risletingku cuma peniti,
sepatuku bolong, ada lidah menjulur
di ujung depannya.
api belum juga menyala.
dapur penuh asap.
api menyala
sang ibu berdiri membetulkan pinggangnya
yang sakit. dalam hatinya menangis
ia menyalahkan asap memedihkan matanya
padahal air matanya sungguh menetes
mendengar suara anaknya.
pulpenku hilang barangkali jatuh di jalan,
pinta seorang anak.
berlatar belakang dapur kotor sarang kuman,
sang ibu sibuk menyalakan api
meniup-niup tungku hingga pipinya pegal.
bu, teman-temanku punya buku paket
kenapa aku tidak punya,
seragamku robek,
risletingku cuma peniti,
sepatuku bolong, ada lidah menjulur
di ujung depannya.
api belum juga menyala.
dapur penuh asap.
api menyala
sang ibu berdiri membetulkan pinggangnya
yang sakit. dalam hatinya menangis
ia menyalahkan asap memedihkan matanya
padahal air matanya sungguh menetes
mendengar suara anaknya.
Sabtu, 12 Oktober 2013
biarlah keadilan bergulung-gulung
biarlah keadilan bergulung-gulung seperti ombak
inilah yang dirindukan semua orang
mereka haus dan lapar
tanah mereka kering dapur sepi
anak-anak berkumpul mengelilingi meja
bukan rapat penting seperti di tv
tapi menatap piring separuh isi
siapa mencuri setengahnya?
biarlah keadilan bergulung-gulung seperti ombak
mengatasi cemas kami yang menggunung
membersihkan kegalauan kami yang menumpuk.
setiap hari pagi dan malam
rakyat dirisaukan berita harga naik
menangis dalam hati melihat hidung anak mereka
kembang kempis baru menangis
cita-cita mereka sirna
uang sekolah tak tertangani.
biarlah keadilan bergulung-gulung seperti ombak.
inilah yang dirindukan semua orang
mereka haus dan lapar
tanah mereka kering dapur sepi
anak-anak berkumpul mengelilingi meja
bukan rapat penting seperti di tv
tapi menatap piring separuh isi
siapa mencuri setengahnya?
biarlah keadilan bergulung-gulung seperti ombak
mengatasi cemas kami yang menggunung
membersihkan kegalauan kami yang menumpuk.
setiap hari pagi dan malam
rakyat dirisaukan berita harga naik
menangis dalam hati melihat hidung anak mereka
kembang kempis baru menangis
cita-cita mereka sirna
uang sekolah tak tertangani.
biarlah keadilan bergulung-gulung seperti ombak.
hal yang ringan
mari kita bicara hal yang ringan
semisal cinta dan kebahagiaan
berita di tv menyusahkan
menyakitkan hati
si kaya makin kaya
si miskin makin melarat
penjahat berkeliaran
berdasi pula. haha.
mari kita bicara hal yang ringan
semisal cinta dan kebahagiaan
mari kita ciptakan kisah
yang akhirnya selalu bahagia
seperti dongeng.
semisal cinta dan kebahagiaan
berita di tv menyusahkan
menyakitkan hati
si kaya makin kaya
si miskin makin melarat
penjahat berkeliaran
berdasi pula. haha.
mari kita bicara hal yang ringan
semisal cinta dan kebahagiaan
mari kita ciptakan kisah
yang akhirnya selalu bahagia
seperti dongeng.
Jumat, 11 Oktober 2013
memilah kenangan
kita tidak bisa memilih
kenangan mana harus dihapus
karena semua telah kita pilih
kita lalui.
kita tidak bisa memilih
hanya memilah
mana yang layak dikenang
dan bagiku
kaulah salah satunya.
kita tidak bisa memilih
kembali atau pulang
hanya bisa berubah
dan memulai yang baru.
kenangan mana harus dihapus
karena semua telah kita pilih
kita lalui.
kita tidak bisa memilih
hanya memilah
mana yang layak dikenang
dan bagiku
kaulah salah satunya.
kita tidak bisa memilih
kembali atau pulang
hanya bisa berubah
dan memulai yang baru.
Kamis, 10 Oktober 2013
puisiku layu
puisiku layu
ia lelah bicara tanpa suara
kucari cara merayu
agar senyumnya kembali
menghiasi malamku.
ia lelah bicara tanpa suara
kucari cara merayu
agar senyumnya kembali
menghiasi malamku.
Rabu, 09 Oktober 2013
apakah waktu
apakah waktu
membuat dirinya panjang
saat masa-masa patah hati?
apakah waktu
membuat dirinya pendek
saat masa-masa jatuh cinta dulu?
entahlah.
membuat dirinya panjang
saat masa-masa patah hati?
apakah waktu
membuat dirinya pendek
saat masa-masa jatuh cinta dulu?
entahlah.
Selasa, 08 Oktober 2013
cita-cita sederhana
cita-cita kami sederhana
ingin sekolah
meski tak bersepatu
meski duduk bertiga satu bangku
meski rumah tak ada lampu.
cita-cita kami sederhana
ingin jadi bintang
meski tidak harus tinggal di langit.
ingin sekolah
meski tak bersepatu
meski duduk bertiga satu bangku
meski rumah tak ada lampu.
cita-cita kami sederhana
ingin jadi bintang
meski tidak harus tinggal di langit.
Senin, 07 Oktober 2013
jurang kaya-miskin
jurang antara kita
bukan lagi takterseberangi
melainkan terkutuk.
terberkatilah si kaya. hiduplah ia selamanya.
terkutuklah si miskin. matilah ia cepat.
mendekatlah pada si kaya
jauhilah si miskin.
bukan lagi takterseberangi
melainkan terkutuk.
terberkatilah si kaya. hiduplah ia selamanya.
terkutuklah si miskin. matilah ia cepat.
mendekatlah pada si kaya
jauhilah si miskin.
rinduku hamil tua
rinduku hamil tua
berharap kita berdua
hidup bersama sampai tua.
rinduku hamil tua
menunggu kau yang lupa
pulang ke rumah.
rinduku hamil tua
berharap tak keguguran
tapi kau belum pulang juga,
kekasih.
berharap kita berdua
hidup bersama sampai tua.
rinduku hamil tua
menunggu kau yang lupa
pulang ke rumah.
rinduku hamil tua
berharap tak keguguran
tapi kau belum pulang juga,
kekasih.
Kata Diam
"Keluarkan aku dari sini, manusia
bodoh," kata Kata dalam dadaku.
Dadaku menjadi riuh. Kata menendang-nendang
dinding dadaku
mencari celah untuk keluar.
Tenggorokanku tersumbat.
Sabtu, 05 Oktober 2013
pesan singkatmu
singkat saja pesanmu,
"pelan-pelanlah melupa,
jangan tunggu aku."
seketika aku
tertimpa reruntuhan langit
cuma rakyat biasa
wajah mereka terlihat di tv warung tetangga
sewaktu kami berusaha membagi lembaran seribu
dua ribu
untuk kebutuhan dapur
tersungging senyuman di bibir mereka
berkemeja berdasi
sementara yang empunya warung mengumpat
sebab utang kemarin belum kami bayar.
sumur kami masih kering, tuan dan nyonya
dan kalian berdiskusi tentang pembangunan.
apa yang kalian bangun
adalah harga diri kalian di atas derita kami.
kalau kami suatu hari menjadi kaya
artinya kalian tak punya fondasi lagi
membangun harga diri?
mereka terlihat cerdas di tv
siapa kami? cuma rakyat biasa.
Jumat, 04 Oktober 2013
Selasa, 01 Oktober 2013
Suatu Sore
Sore. Aku duduk di beranda rumah.
Ini bukan rumahku, melainkan hanya rumah kontrakan. Tepatnya aku duduk di
lantai dua. Menghadap barat daya. Sore itu tiba-tiba aku merasa langit menyatu
dengan hatiku. Warna langit yang biru dengan awan putih terlihat jernih. Aku
tenggelam dalam ketakjubanku memandangi langit sore yang tidak lama kemudian
berubah warna menjadi jingga. Menganggumkan.
Langit sudah mulai gelap. Temaram. Aku ingat aku belum
mandi sore ini. Aku bergegas mandi dan seketika, saat air mengguyur tubuhku,
aku merasakan aku hidup di dunia yang nyata -yang tidak segan membunuh semua
impian manusia.
Aku pun mulai bercerita kepada
langit. Kali ini aku menceritakan kepadanya tentang cita-citaku. Dan rasanya langit
sore tidak keberatan mendengarkanku. Awalnya aku menceritakan tentang suasana
hatiku yang sedang gelisah saat itu. Gelisah biasa terjadi kalau ada hal yang
belum tercapai. Hatiku sedang mendambakan seorang gadis, namun gadis itu
berjalan dengan pria lain. Padahal aku sangat mengharapkannya, bahkan hingga
detik ini. Mulai dari situ, seperti aliran sungai, aku terus berbicara kepada
langit, dari hati ke hati. Kuusahakan suaraku tak terdengar oleh orang lain
yang kamarnya dekat dengan tempat dimana aku duduk. Ya, benar, aku sedang
berbicara dalam hati kepada langit.
Kira-kira seperti ini yang
kusampaikan, seperti yang sudah kukatakan, yaitu cita-citaku. Aku bercita-cita
suatu hari menjadi seorang guru yang tidak hanya mengajar di sekolah, tapi juga
memiliki sebuah tempat membaca -rumah baca. Di rumah baca, seperti namanya,
akan kuajak setiap muridku untuk belajar. Sepulang sekolah mereka boleh datang.
Entah mengerjakan PR, berdiskusi, entah hanya untuk membaca komik atau novel,
yang penting mereka membaca dan belajar daripada pulang ke rumah sementara
orang tua mereka masih di kantor, bekerja. Tidak hanya murid-muridku, kalau ada
murid dari sekolah lain aku akan dengan senang hati menerimanya. Alangkah
mulianya. Masih dalam benak saja sudah begini, apalagi kalau benar-benar
tercapai. Hahaha. Aku pun menertawakan diriku sendiri.
Cita-citaku yang lain, mungkin ini
lebih kepada sebuah harapan, aku berharap bisa hidup bersama gadis yang kusukai
saat ini. inilah awal sebenarnya aku bercerita kepada langit. Entah bagaimana
aku bisa menyukai gadis itu. Padahal di saat seperti ini pun, lama tak bertemu
dengannya, aku masih mengingat dia. Sungguh perasaan yang aneh. Harusnya
perasaan ini sudah lenyap sedari dulu. Apalagi tak pernah ketemu lagi. Kurasa
ada yang salah dengan hatiku. Atau jangan-jangan dia memang...( Ah aku tidak
mau meneruskan kalimatku). Aku terlalu takut bila itu tidak terjadi.
Senin, 30 September 2013
Pintu Maya
Aku sedang
membayangkan di kamarku ada sebuah pintu maya yang -ketika kubuka- bisa
membawaku ke dunia lain. Pintu yang membawaku ke pemandangan yang indah. Memang
ini terdengar konyol, tapi kurasa setiap orang yang merasa bosan mengharapkan
hal ini, hanya saja mereka tidak mengetahui bahwa mereka menginginkannya.
Aku membayangkan pintu itu ada
setiap kali aku merasa bingung, bosan, atau lelah, agar bisa kunikmati suasana
baru di tengah himpitan hidup yang menyesakkan dada ini.
Aku membayangkan andaikan aku
benar-benar menemukan pintu itu, aku akan mengajak banyak orang masuk ke
dalamnya. Terlebih orang-orang yang sedang sendiri, bosan, dan lelah. Aku tidak
ingin menikmatinya sendirian. Setidaknya aku punya teman yang bisa kuajak dan
suatu saat bisa membuktikan kepada dunia bahwa pintu itu benar-benar ada.
Aku tidak sedang memikirkan untuk
lari dari semua masalah. Masalah harus dihadapi dan sebisa mungkin harus bisa
diselesaikan. Pintu maya yang kumaksud tidak bertujuan agar membawaku keluar
dari masalah. Ini hanya permainan imajinasiku saja yang kadang-kadang sedikit
liar dan aneh. Nah, nanti bila aku sudah menemukannya aku akan menceritakannya
padamu, dan kau boleh masuk bersamaku. Kita akan berbahagia di sana. Setelah
itu, kita tetap melanjutkan pekerjaan kita. Bukankah kita akan lebih semangat
lagi bekerja? Aku tidak menjaminnya juga sih. Jadi, aku hanya membayangkannya
saja.
imagination is more
important than knowledge. ~Albert
Einstein
Kamis, 26 September 2013
aku dan malam
biar kuceritakan tentang aku dan malam
pada kalian:
pada kalian:
tiba-tiba malam menabrakku
seketika aku tersadar di mana aku,
-tergeletak tak berdaya di kaki malam
berdarah patah tulang.
seketika aku tersadar di mana aku,
-tergeletak tak berdaya di kaki malam
berdarah patah tulang.
tiba-tiba
malam menabrakku
seketika aku tersadar ke mana aku,
-menuju tempat tidur, meninggalkan mimpi
seketika aku tersadar ke mana aku,
-menuju tempat tidur, meninggalkan mimpi
yang tidak menjadi nyata.
Rabu, 25 September 2013
jam dindingku
aku mengamati jam dindingku
aku mengamati jarum detiknya
hingga miring kepalaku ke kanan
dapatkah kutegakkan kepalaku kembali?
dapatkah kuulang lagi?
lama aku tertidur
di bahuku sendiri
kayaknya tak ada tempat bagi kepalaku
menuju mimpi yang sempurna
malam hari yang asing
malam hari yang asing
angin menggoyang-goyangkan pohon kenangan
buah-buahnya jatuh di kepalaku
berhamburan
mengetuk-ngetuk dadaku
ada suara berdenting dalam kepalaku
seperti bunyi lonceng di menara
seperti peringatan kematian
buah kenangan mengetuk-ngetuk
lonceng berdentang
mengingakan aku akan hari-hari yang masuk
dalam kerongkongan waktu.
Selasa, 24 September 2013
aku akan terbiasa
aku akan terbiasa dengan ini
bangun sendiri
lalu berusaha lupa
lupa bahwa di hari-hariku pernah ada kamu.
aku akan terbiasa dengan ini
pergi tidur dengan pikiran yang menolak
mengingatmu
aku akan terbiasa dengan ini
melihat-lihat sekelilingku
─dan seperti ilusi mata,
semua yang kulihat adalah kamu
aku akan terbiasa dengan ini
menuliskan banyak puisi
mengabadikanmu dalam kata
aku akan terbiasa dengan ini
menjalani hidup tanpamu
Senin, 23 September 2013
aku membayangkan kita
aku membayangkan suatu hari nanti
di malam hari saat kita hendak tidur
aku mematikan lampu
lalu kita berdebat dalam gelap
tentang siapa yang lebih dulu mencintai
aku atau kamu.
dan aku membayangkan
aku kalah debat denganmu
sebab dari pandangan pertama
akulah yang lebih dulu jatuh.
aku membayangkan suatu hari nanti
di malam hari saat kita hendak tidur
kau mematikan lampu
lalu kita membahas dalam gelap
tentang buah hati kita yang bertumbuh
semakin dewasa
tentang harga kebutuhan pokok yang semakin
mahal
tentang cinta yang tak boleh hilang di
tengah pergumulan hidup.
aku membayangkan suatu hari nanti
cinta kita semakin bertambah
semakin kita menua, semakin besar cinta
antara kita.
meski kau...
tapi aku tak bisa baca
kata dalam matamu
bisakah kau membantuku?
katakan saja apa yang tersimpan
dalam dadamu.
aku menemuimu
bukan matamu,
meski matamu indah.
bukan juga diammu
meski lembut bibirmu.
ketika kau hadir
kau masuk dalam hidupku
bagai cahaya lilin di tengah kegelapan
pelan kau ciptakan kesan
hingga aku lupa kegelapan telah berlalu.
kau masuk dalam hidupku
bagai sebuah batu dijatuhkan ke tengah air tenang
kau ciptakan gelombang
hingga aku lupa bahwa aku danau.
kau datang dalam hidupku
seperti cahaya mentari pagi menerobos celah dedaunan
celah gelap diriku kau penuhi dengan cahayamu
menemani pagiku di perjalanan.
menemani pagiku di perjalanan.
Sabtu, 21 September 2013
semoga kau kembali
"aku merindukanmu"
tidakkah kau
rasakan kesedihan
yang tersembunyi
di balik ucapanku?
"jangan pergi, aku masih
mencintaimu"
tidakkah kau
rasakan sebuah harapan
terbungkus dalam
ucapanku?
"kembalilah"
rasakan kepedihan
di balik ucapanku terakhir
semoga kau kembali
apa yang terjadi di negeri ini?
apa
yang telah terjadi
di
negeri ini?
pelaku
kejahatan merasa
bahwa
kejahatan mereka adalah
salah
orang lain.
kejahatan
mereka adalah
kebaikan
bagi keluarga dan sanak saudara mereka
─demi
anak istri mereka.
apa
yang sedang terjadi
di
negeri ini?
kemana
orang-orang yang baik hatinya?
apakah
kebaikan hati
telah
melemahkan mereka?
membuat
mereka jadi penakut?
atau
telah nyaman dengan kebaikan hatinya?
membiarkan
segala sesuatu terjadi
meski
menuju ke kebinasaan.
kaya dan miskin
orang kaya
terus saja maju
dalam kekayaan mereka
orang miskin
terus saja tenggelam
dalam kemiskinan mereka
keduanya,
kaya dan miskin
lahir dari rahim
ibu pertiwi
Jumat, 20 September 2013
Rumah (Tua) Kami
Mengingat masa kecil adalah suatu hal yang
istimewa bagi orang dewasa. Seperti dalam mimpi saja, ternyata masa itu pernah
dilewati. Kali ini aku mau bercerita
tentang masa kecilku, khususnya rumah tua kami. Rumah itu sudah tidak ada
sekarang. Rumah itu dibongkar waktu aku duduk di kelas 1 SMP.
Rumah tua yang terletak kira-kira 5 meter dari
pinggir jalan. Jalan itu menghubungkan dua desa. Sebuah jalan dua-jalur yang
dulu kondisinya rusak, banyak lubang dan bergelombang. Di sepanjang sisi jalan
tumbuh rumput liar yang sesekali dipotong oleh pemerintah kota. Itu pun kalau
ada pejabat dari kota yang datang ke desa kami. Kata bapak rumah itu sudah
berdiri lebih dari seratus tahun. Kelihatan dari kayu-kayu penopangnya yang
sudah sangat tua, namun masih kuat. Dinding-dinding rumah terbuat dari papan
yang tiap kali rusak pasti diganti. Atapnya dari daun rumbia seperti
rumah-rumah lain di desa kami.
Awalnya kami tidak tinggal di rumah itu. Kami
tinggal di kota selama aku masih kecil. Baru saat aku berumur enam tahun kami
pindah ke rumah tua itu. Rumah yang dibangun oleh kakek buyut. Sebelumnya,
selama tinggal di kota aku dan keluarga sesekali jalan-jalan ke desa dan
menungunjungi rumah itu. Pertama kali melihatnya aku kaget. Rumahnya terlihat
jelek, tua, dan lantainya masih dari tanah berpasir. Dan seorang yang tidak
kukenal tinggal di situ. Mungkin dia yang menjaga rumah itu. Maklum saat itu
aku tidak tahu bahwa rumah itu adalah rumah kami -warisan buat bapak dari kakek.
Dan yang jadi pertanyaanku saat itu mengapa kami tinggal di kota dan bukan di
rumah yang sebenarnya.
Saatnya aku masuk SD, kami pun berkemas pindah.
Meskipun pindah ke desa, aku tetap didaftarkan oleh bapak sekolah di kota. Kami
pun tinggal di rumah yang sebenarnya. Masa-masa sekolah dasar kuhabiskan di
rumah itu. Aku ingat aku pertama kali bisa membaca rangkaian huruf di rumah.
Sering kuhabiskan waktu membaca buku di rumah. Dulu ada sebuah buku berjudul
'Dodo dan Didi' yang kudapat dari rumah itu sebelum kami tempati. Sebelum bisa
membaca aku sudah membuka buku itu berulang kali hanya untuk melihat gambar di
dalamnya. Dan aku senang akhirnya bisa membaca teksnya. Buku itu itu entah di
mana sekarang, tapi aku sudah membacanya berulangkali.
Sebuah rumah tua yang ternyata adalah rumah kami
yang sebenarnya akhirnya kami tempati. Suka dan duka sudah tercipta dan terekam
di sana. Kuingat kalau hujan, atapnya pasti bocor, air hujan masuk ke rumah dan
kami sibuk menadahkan ember. Apalagi kalau hujan pada malam hari, menambah
suasana yang tidak nyaman. Perbaikan demi perbaikan sudah dilakukan, namun
belum cukup. Aku tahu orang tuaku tidak cukup dana memperbaiki seluruhnya,
karena mengutamakan biaya sekolah kami. Juga yang kuingat adalah awalnya di
rumah tidak ada listrik. Bertahun-tahun kami diterangi oleh cahaya lampu
teplok. Lantainya pun baru disemen setelah bertahun-tahun kami di situ.
Lantainya pun tidak rata. Rumah kami itu ada lotengnya dan di bagian depan ada
jendela. Aku sering duduk di jendela itu. Hal yang kuingat adalah saat tujuh
belasan agustus, melihat orang gerak jalan lewat depan rumah dari loteng. Di desa suasana
tujuh belas agustus sangat terasa.
Rumah yang meninggalkan banyak kenangan itu pun
kini telah tiada. Waktu aku kira-kira sebelas tahun, rumah baru kami pun di
bangun ─rumah kami sekarang, tepat di belakang rumah tua
itu. Setelah rumah baru selesai dibangun dan kami menempatinya, rumah tua pun
dibongkar. Sedih sekali rasanya, hingga sebelum dibongkar diadakan pesta.
Karena di rumah itu bukan hanya kenangan kami yang ada, tapi juga kakek-nenek
kami. Umurnya saja melampaui umur orang tuaku, bahkan kakekku. Kakek meninggal
diumur 81 tahun.
Bagiku, rumah adalah tempat kembalinya jiwa kita.
Karena di rumah kita bertumbuh menjadi besar.
Selasa, 17 September 2013
Kisah Tiga Anak
Tiga anak perempuan di rumah depan kulihat sedang asyik bermain dengan
seperangkat alat masak-masakan. Aku tidak tahu apakah ketiganya bersaudara
kandung atau mungkin dua dari mereka anak dari tetangga yang lain. Hari itu
baru selesai hujan, jadi tanah masih basah dan cuaca masih lembab. Tapi bagi
ketiga anak gadis itu, kelihatannya cuaca tidak memengaruhi keasyikan mereka
bermain.
Sementara
aku termenung sejenak. Aku jadi teringat masa kecilku. Andai aku bisa muda
lagi. Satu dari sekian pengalaman masa kecil yang masih kuingat adalah saat
pulang sekolah, dan saat itu hujan deras sekali. Waktu duduk di bangku SD, aku
dan kedua saudaraku selalu bersama, mulai dari berangkat hingga pulang sekolah.
Kami bertiga diantar oleh bapak. Bapak seorang guru, tapi bukan di tempat kami
bersekolah. Karena bapak mengajar di SMA. Sekolahku dan sekolah tempat bapak
mengajar tidak jauh. Hanya berjalan kaki saja sampai. Biasanya kalau pulang
sekolah kami langsung ke sekolah bapak dan menunggunya sampai pulang.
Suatu
hari yang mendung, bel tanda pulang berbunyi. Kami langsung bertemu di gerbang
sekolah lalu langsung bergegas ke tempat bapak. Sesampainya di sana, hujan
turun sangat deras. Kami menunggu di kantornya. Kantor kosong sebab guru-guru
di sana masih mengajar. Tepat di depan ruang guru di situ ada saluran air, yang
saat itu sedang penuh dan air mengalir deras karena hujan. Kami pun membuat
perahu kertas. Di situ banyak kertas bekas. Kami meletakkan perahu kertas di
atas air pada saluran itu dan sambil berlari mengikuti perahu-perahu itu
berlayar sampai belokan yang kami tidak tahu ke mana ujungnya.
Tiga
anak kecil bermain di depan rumah. Ketiganya perempuan. Dulu kami juga bertiga ─aku dan adikku
laki-laki dan kakak perempuan kami. Ketiga anak gadis itu masih kecil. Kami
dulu masih kecil. Aku tidak tahu apakah perahu kertas kami berlabuh dengan
selamat pada tujuan yang tidak kami ketahui. Yang kuketahui adalah aku menua,
usiaku sekarang 26 tahun.
Minggu, 15 September 2013
Cerita Pagi(ku)
Pagi hari
jam 6 aku duduk di beranda rumah menikmati sinar matahari yang baru saja
muncul. Secangkir kopi tersedia di meja di sampingku. Kopi hitam sedikit gula
meski tidak terlalu manis, aku yang
menyeduhnya sendiri. Ada suara burung berkicau punya tetangga menambah suasana
meriah. Seperti di kampung halaman, hanya pemandangannya yang beda. Di sini
hanya ada rumah lalu rumah lagi di depanku. Suasana pagi ini sama seperti pagi
sebelumnya −suara burung, sinar matahari, dan secangkir kopi panas.
Beberapa
tahun silam, lebih dari sepuluh tahun, aku masih ingat pas liburan sekolah,
pada pagi hari suasana di rumah ─di
kampung, pasti sibuk. Sibuk menyambut hari yang panjang. Biasanya hari libur
kami habiskan dengan bekerja di kebun atau di sawah. Kami sempat mengolah sawah
saat aku duduk di kelas satu SMP hingga kelas satu SMA. Sebelumnya dan setelahnya
sawah itu kami sewakan ke orang lain. Kesibukan pagi hari mulai dari menyiapkan
sarapan pagi, makanan untuk bekal siang ─karena
kami baru pulang malam harinya, memberi makan ternak. Kami, anak-anak, punya
tugas masing-masing. Aku biasanya yang memasak makanan bersama ibu. Selebihnya
sepanjang hari kami menikmati hari di sawah atau di kebun.
Pagi yang
paling kuingat adalah saat mendekati musim panen. Aku berangkat dari rumah pagi
buta, sebelum matahari muncul, dengan mengayuh sepeda ke sawah. Pada saat-saat
itu semua petani datang lebih awal untuk menjaga sawah dari serbuan ribuan
burung pipit. Terlambat sedikit saja, burung pipit sudah hinggap dan memakan padi-padi
yang sudah menguning. Aku sarapan di sawah kala itu. Nasi putih dan ikan asin
yang dipanaskan kembali adalah menu yang paling sering. Nikmat sekali apalagi
ditambah pemandangan sawah yang masih temaram. Aku sudah tiba di sawah dan
sarapan sebelum matahari terbit. Setelah sarapan pagi, aku berjalan di pematang
sawah, kadang membetulkan orang-orangan yang tertiup angin semalam. Kedua
kakiku yang telanjang terasa dingin, basah terkena embun pagi yang menempel di
dedaunan padi. Matahari terbit, ribuan burung
pipit pun datang. Persawahan terdengar berisik. Ada teriakan para petani,
kaleng-kaleng bekas yang dipukul, dan orang-orangan yang bergerak-gerak.
Pagi yang
lain yaitu saat kuliah. Inilah pagi yang paling suram tapi juga santai. Suram
karena aku jarang menikmati matahari pagi, aku lebih sering bangun siang.
Santai karena tidak sibuk. Jam kuliahku saat itu sore hari hingga malam hari.
Kadang juga pagi hari kuhabiskan dengan mengerjakan tugas-tugas kuliah. Namun,
lebih sering menonton tv bersama teman-teman. Memang kala itu waktu terasa
terbuang sia-sia. Hal ini baru kusadari setelah beberapa tahun sudah lulus
kuliah. Semasa kuliah banyak waktu yang kuhabiskan dengan hal-hal yang tidak
bermanfaat, kecuali saat mendekati tugas akhir menjelang kelulusan.
Setelah
lulus kuliah, kupikir inilah saat-saat aku menikmati pagi dengan sibuk dan juga
terburu-buru. Bangun pagi sering terasa berat karena lelah kemarin belum
hilang, dan paginya harus berangkat kerja lagi. Sering tidak sempat sarapan di
rumah. Apalagi sekarang hidup sendirian di kota, tanpa keluarga. Aku
meninggalkan kampung halaman sejak masuk kuliah delapan tahun lalu.
Dan pagi
ini bukanlah kebetulan. Hari ini hari sabtu jadi tidak masuk kerja. Pagi sabtu
yang selalu kuhabiskan dengan menikmati matahari pagi dan secangkir kopi panas.
Kapan lagi menghabiskan pagi dengan cara begini, pikirku.
Namun, di
antara semua pagi yang sudah kulewati, pagi inilah aku merasa pagiku belum
sempurna. Seperti ada yang kurang di sampingku. Cahaya matahari, suara burung,
bahkan secangkir kopi tidak mampu menutupinya. Adalah dia ─teman hidup. Itulah yang hilang. Lebih tepatnya bukan hilang, tapi
belum ada. Entah bagaimana pagiku ke depan. Sulit membayangkan dengan imajinasi
yang sehat. Imajinasiku terlalu liar, sering berlebihan. Maklum belum punya
kekasih. Semoga saja, pagiku segera sempurna seperti yang kubayangkan.
***
sepenggal pagi
yang masih kuingat
tidak utuh memang ceritanya.
namun, lebih tidak utuh lagi
bila tanpa dirimu, kekasih.
Kisah Sebatang Lilin
Sebatang lilin tertidur bersama
lilin-lilin lainnya. Sumbunya putih terurai ke bawah. Sama sekali tidak ada
bekas pernah dinyalakan. Sebatang lilin ini agak beda dengan yang lain. Dia
selalu bertanya kapan dia akan dinyalakan karena dengan begitu hidupnya lebih
berguna. Sementara lilin yang lain menikmati keadaan mereka sekarang, ─tertidur dan tidak menyala.
Lilin yang sebatang tadi kuberi nama Ken, dan yang lain tetap bernama lilin,
semuanya lilin.
"Kapan ya kita akan
menyala?" kata Ken suatu hari. Hari itu menjelang malam.
"Siapa yang peduli,"
jawab lilin lain.
"Ya, lagipula dengan
menyala sumbu kita akan terbakar dan badan kita akan habis," jawab yang
lain lagi.
"Tapi hidup seperti ini
tidak ada arti dan membosankan. Bukankah kita diciptakan untuk memberi
cahaya?" Ken membalas.
"Sudahlah jangan pikirkan
itu. Sekarang sudah ada cahaya yang lebih terang yaitu lampu. Dan manusia lebih
memilih lampu daripada lilin untuk memberi cahaya bagi mereka," sebatang
lilin dari tumpukan paling bawah menjawab dengan suara berat.
Suatu hari di sebuah rumah,
seorang anak kecil dari keluarga kaya akan mengadakan perayaan ulang tahun
ketujuhnya. Si anak sangat suka kalau hari ulang tahunnya dirayakan. Apalagi
saat meniup lilin. Dan pada perayaan itu, ternyata Ken yang terpilih menjadi
lilin yang akan dinyalakan. Keinginan Ken terpenuhi. Ken pun berkata kepada
teman-temannya "Alangkah bahagianya anak itu. Ia berulang tahun saat aku
dinyalakan." Lalu Ken menyala.
Kamis, 12 September 2013
langit terbentang
langit terbentang di depanku
jalan mana yang akan pilih,
hilang jejak langkahku
sementara hati belum pulih.
aku ingin terus berjalan
sebab di depan masih terbentang harapan,
tinggal satu yang hilang
adalah kau satu yang kusayang.
siapa yang tahu
siapa yang tahu aku akan bersamamu kelak
meski kini kau bersamanya.
aku bukannya berharap terlalu banyak
punya mimpi apa salahnya.
sekarang aku hidup tanpamu
seperti duduk diam di ruangan tanpa cahaya.
kelak kita ‘kan bersama,harapku
entah tetap mimpi entah jadi nyata.
Sabtu, 07 September 2013
15 Menit Sebelum Tidur
Lima belas menit
sebelum tidur, mungkin lebih dari itu karena aku tidak tahu kapan aku
benar-benar tertidur, bayang wajahmu melintas di kelopak mataku seolah ada
layar televisi di dalamnya. Aku belum tidur. Aku masih merasakan kipas angin
mengipasi kulitku yang kepanasan. Malam ini udara terasa panas.
Pekerjaan
seharian tadi membuat tubuhku kelelahan dan mudah mengantuk. Malam baru saja
turun. Lampu teras rumah tetangga kulihat baru menyala. Seperti biasa mereka
baru kembali dari kerjaan setelah malam tiba. Aku hanya memerhatikan mereka
sesaat dari balik jendela sambil menyantap makan malamku sendirian. Waktu cepat
berlalu kulihat jam sudah pukul 9. Mataku sudah berat, padahal biasanya aku
nonton berita malam. Aku menyikat gigi lalu segera menyiapkan diri untuk tidur.
Kusiapkan tempat tidurku, kunyalakan anti nyamuk elektrikku, kumatikan tivi.
Kulihat mejaku berantakan. Besok pagi saja kurapikan, pikirku, aku akan bangun
lebih pagi.
Hari ini
benar-benar melelahkan, seperti ada suara-suara kecil dalam kepalaku mengulang
kalimat itu. Memang hari ini aku lelah, tapi tidak biasanya aku mengeluh
seperti itu. Sebenarnya setiap hari pekerjaan selalu banyak dan selalu ada.
Tapi hari ini beda. Mungkin dipengaruhi badanku yang tidak terlalu fit hari
ini.
Aku duduk di
pinggir tempat tidurku, menundukkan kepala sambil mengucapkan doa kecilku.
Kata-kataku habis. Aku seperti lupa cara berdoa. Aku merasa sendirian.
Kesendirian yang mengerikan. Lelah. Berat untuk terus bangun, tapi enggan untuk
tidur. Dengan tidur, rasanya, waktu cepat berlalu. Dan aku tidak mau waktu
berlalu begitu saja dengan cara begini. Beberapa saat kuamati kamarku dari
setiap sudut seolah-olah baru kutempati kemarin malam. Aku sudah tinggal di
kamar ini setahun yang lalu. Terasa asing.
Kubaringkan
badanku. Oh, lega sekali. Rasanya bebanku langsung berpidah ke kasur.
Langit-langit kamarku yang bercat putih menjadi pemandanganku sekarang, di
bagiannya tengahnya ada sebuah lampu sebagai satu-satunya sumber penerang dalam
kamar yang kecil ini. Pikiranku masih menyala seperti lampu di atasku. Ternyata
aku lupa mematikan lampu. Langsung saja aku berdiri dan pergi mematikan lampu.
Sebentar saja aku kembali ke tempat tidurku. Sekarang kamarku agak gelap. Ada
sedikit cahaya dari luar yang masuk lewat celah kecil bagian atas jendela.
Di tengah
kegelapan inilah ada sebuah celah sehingga bayangmu masuk ke dalam
pikiranku. Ketika aku memejamkan mata,
bayangmu semakin jelas. Semua keluhan, semua kelelahanku lenyap. Kaulah
penyembuhnya. Dapatkah kita bertemu suatu hari? Aku bosan
bertemu kamu dalam mimpi.
Jumat, 06 September 2013
Kasih Ibu
Inilah kisah seorang pemuda
yang tinggal di desa dan jatuh cinta dengan seorang gadis dari desa tetangga.
Cintanya kepada gadis itu sejati, dan ia meminta gadis itu untuk menikah
dengannya. Si gadis, sebaliknya, tidak mencintai pemuda itu dan hanya memanfaatkan
perasaan pemuda tersebut demi keuntungannya sendiri. Ia menjadikannya sebagai
permainan. Ia menuntut banyak hal kepada sang pemuda untuk membuktikan cintanya
kepada dirinya.
Akhirnya, suatu hari, si
gadis kehabisan alasan, ia menuntut hal yang tidak pernah terpikirkan.
"Jika kau sungguh mencintai aku," gadis itu berkata, "aku akan
percaya bahwa cintamu tulus tanpa ada saingan. Untuk membuktikannya, aku
meminta agar kau membunuh ibumu dan membawa jantungnya kepadaku sebagai
kenang-kenangan kemenanganku atas cintamu kepadaku." berminggu-minggu
lamanya pemuda itu tak tahu apa yang harus ia lakukan dan ia sedih pada pilihan
yang harus ia ambil. Tidak sanggup menahan 'kehilangannya' lebih lama lagi dan
ketika melihat ibunya sendirian, dalam keadaan gelap mata ia membunuh ibunya
dan mengeluarkan jantungnya dari tubuhnya. Ia berlari secepat mungkin untuk
mempersembahkan hadiah khusus itu kepada gadis yang paling ia cintai, sementara
ia lari dari rasa bersalah yang menyiksanya. Sewaktu berlari melalui hutan yang
lebat ia tersandung dan jatuh, dan jantung itu lepas dari tangannya. Ia mencoba
bangkit, seperti orang gila mengobrak-abrik semak belukar mencari jantung itu.
Akhirnya, ia menemukannya. Sementara ia membersihkan jantung itu, ia mendengar
suara keluar dari jantung itu berkata, "Nak, apakah kau terluka?... Nak,
apakah kau terluka?"
(Cerita ini diambil dari sebuah buku)
Kamis, 05 September 2013
pekerjaan
aku takut suara hatiku terdengar keluar
hingga orang lain bisa mendengarnya.
hatiku sedang berteriak. keras sekali.
oh, alangkah beratnya hidup ini. masalah
datang silih berganti. aku merasa lelah. kepalaku sering tertunduk lesu. malam
hari aku selalu sulit tidur. pikiranku masih belum kembali. masih mengembara
entah ke mana. bangun pagi terasa berat seolah menghadapi monster mengerikan
dan aku bersiap untuk diremukkan. barangkali orang lain juga merasakan hal ini.
hatiku sedang bersuara. berteriak.
bertanya-tanya.
kapan aku menjadi manusia?
pekerjaan telah menjadikanku bukan
manusia lagi.
tapi aku segera sadar pekerjaan bukanlah
kutukan.
bukan juga beban.
pekerjaan adalah panggilan hidup manusia.
Perjalanan
Setelah lama
menunggu akhirnya bus datang. Aku bersiap-siap berdiri di pinggiran halte
bersama beberapa orang yang juga sejak tadi menunggu. Aku sudah berada di dalam
bus sekarang. Duduk dekat jendela kaca agar aku bisa melihat keluar. Udara
dalam bus cukup sejuk karena AC. Tidak seperti di luar, panas. Di pemberhentian
berikutnya bus mengetem lama. Menunggu hingga bangku-bangku terisi penuh.
Sementara duduk diam, kuperhatikan keluar. Kendaraan hilir mudik dari dua jalur
jalan. Beberapa kali terdengar klakson dan teriakan para pengendara motor.
Memang jalanan cocok sekali jadi tempat ujian kesabaran. Ada juga orang-orang
yang menyeberang jalan dengan hati-hati. Di sini rambu-rambu lalu lintas tidak
terlalu diperhatikan oleh pengguna jalan. Di bawah rambu-rambu dilarang stop
ada angkutan yang menurunkan penumpang. Orang-orang menyeberang dengan bebas.
Tentu saja jalanan terlihat kacau. Ditambah cuaca yang lumayan panas siang itu.
Dalam bus pengamen sedang menyanyi sambil bermain gitar. Tidak peduli suara gitarnya
sumbang. Aku abaikan saja. Juga pedagang asongan yang berisik menawarkan
jualannya. Tidak di dalam tidak di luar suasananya sama saja. Berisik. Apa
dunia ini memang berisik?
Bus berangkat
juga. Penumpang terlihat lega karena menunggu terlalu lama. Termasuk aku.
Sebenarnya dari tadi aku ingin mengingatkan supir untuk jalan, tapi karena aku
tidak terlalu buru-buru ke tujuanku, akhirnya tidak jadi. Seperti biasa di
perjalanan aku selalu merenung sambil melihat keluar, memerhatikan garis-garis
putih di aspal bergerak ke belakang, dahan-dahan pohon di pinggir jalan seolah
memberikan lambaian terakhir, dan pemandangan lain yang terlewatkan. Ke mana
aku pergi? Tentu sekarang jelas, aku punya tujuan. Setiba di tujuanku aku pasti
akan turun dari bus. Namun, pertanyaanku itu tidak hanya sebatas kemana aku
pergi saat ini, namun lebih jauh ke depan. Ke masa depan yang masih terbentang.
Masa depan yang masih disimpan oleh hari esok. Ya, ke mana aku pergi? Terlalu banyak pilihan. Terlalu luas jalan.
Selasa, 03 September 2013
manusia gelisah
terdengar bunyi air dari kamar mandi sebelah.
di luar ada sepeda motor lewat dengan bunyi mesinnya yang kasar.
ada juga desiran angin dari kipas angin di pojok kamar.
sesekali terdengar gonggongan anjing dari kejauhan seperti ingin mengundang hantu.
dari tempat yang lebih jauh lagi pasti lebih banyak bunyi terdengar.
tapi, di dalam hatinya ada keheningan paling sunyi seperti kota mati
seperti suasana desa malam hari
seperti langit malam.
dia mengenang akan hari-hari lalunya
dia merenung akan kekiniannya yang menyedihkan
sebab banyak keputusan berakhir buruk.
lebih buruk dari reruntuhah kota sehabis perang.
dia menerawang, dalam ketidaktahuan, akan hari depannya
betapa beratnya hidup ini, pikirnya.
dia ingin menjadi patung
dia ingin dikutuk jadi batu seperti dalam dongeng
dia ingin waktu berhenti sekarang.
Langganan:
Postingan (Atom)