Ada seorang rekan pengajar risau dengan
kondisi guru saat ini yang lebih mengutamakan gaji ketimbang pengabdian
terhadap pendidikan. Mungkin slogan “habis
ngajar, ya, pulang” bisa menggambarkan kondisi guru kini. Orientasi guru
adalah uang, bukan pengabdian. Itulah kerisauan rekan tadi.
Untuk menjawab kerisauan rekan tadi,
pemerintah sebenarnya memiliki program yaitu uji kompetensi bagi guru yang ikut
program sertifikasi. Nilai rata-rata uji kompetensi guru (UKG) sebelumnya yang
rendah menunjukkan kualitas guru memang masih belum memuaskan. Tapi, apakah UKG
bisa mengatasi masalah tersebut? Menurut saya, belum. Karena UKG hanya menguji
kompetensi guru di ranah kognitif saja. Kalaupun ada evaluasi tentang bagaimana
guru mengajar di kelas, evaluasi tersebut belum mewakili kondisi guru
keseluruhan. Nah, ke depan ini, pemerintah akan mengadakan UKG untuk semua
guru, tanpa terkecuali. Saya kira ini hanya akan membuang-buang biaya dan waktu
saja. Kalau hasil yang sebelumnya belum memuaskan, maka tidak ada jaminan bahwa
UKG berikutnya akan memuaskan, terlebih ini untuk semua guru. Karena tidak ada
pembinaan atau pelatihan secara merata bagi semua guru selama ini. Lagipula
program sertifikasi guru telah terbukti tidak memberikan pengaruh signifikan
pada peningkatan kualitas pendidikan.
Kalau begitu, apa yang menjadi
permasalahan pendidikan kita? Terlalu sulit menjawab pertanyaan ini secara
singkat. Namun, ada hal yang menggelitik saya selama ini yakni permasalahan
pendidikan kita selalu dicurahkan ke pundak guru. Sering sekali guru, secara
individu ataupun kelompok, dijadikan sebagai penyebab kegagalan pendidikan. Sementara
sistem pendidikan tidak dianggap sebagai penyebab kegagalan.
Misalnya, pencapaian materi yang harus
dipenuhi oleh guru karena tuntutan kurikulum membuat guru hanya berfokus pada
materi pelajaran saja. Permasalahan yang terjadi selama ini adalah guru sering
mengeluh kekurangan waktu dalam mengajarkan semua materi pelajaran. Sementara kemampuan
para murid untuk menyerap pelajaran berbeda-beda. Seharusnya murid jangan
dipaksakan untuk menerima semua pelajaran. Namun, karena tuntutan kurikulum
guru harus mengajarkan semua, sebab kalau tidak, maka dianggap tidak sukses
dalam mengajar dan para murid akan gagal di ujian nasional karena tidak mempelajari
semua materi pelajaran. Ini menjadikan proses pendidikan menyimpang dari tujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi, kesalahannya tidak terletak pada guru
melainkan pada sistemnya. Penerapan kurikulum yang “terlalu memaksa” dan pola
ujian nasional yang juga terkesan sebagai pencapaian tertinggi dalam
pendidikan.
Padahal hasil pendidikan tidak hanya
dilihat dari perubahan kognitif para murid, tetapi juga perubahan sikap dan
perilaku – menjadi manusia seutuhnya. Artinya, para murid diharapkan mengalami
perkembangan pengetahuan dan perilaku sehingga mampu memecahkan permasalahan
yang terjadi di sekitar kita; baik masalah sosial, lingkungan, dan masalah
lainnya. Inilah tujuan sejati pendidikan. Tujuan ini hanya akan tercapai bila
guru tidak menghabiskan waktunya hanya untuk mengajarkan pengetahuan saja
karena “dipaksa” oleh tuntutan kurikulum.
Oleh karena itu, perlu ada perubahan
penerapan kurikulum. Pencapaian pendidikan memang berpedoman pada kurikulum,
tetapi harus memperhatikan karakteristik para murid. Ujian nasional (UN) yang
selama ini dianggap sebagai pencapaian tertinggi sebaiknya ditiadakan atau – kalau
memang belum menemukan cara terbaik untuk standar kelulusan – maka UN hanya
dijadikan sebagai bahan pemetaan saja. Jadi, jangan salahkan guru jika
sistemnya masih belum diperbaiki. Dan tidak perlu juga mengadakan uji
kompetensi untuk saat ini, selain karena terbukti hasil sebelumnya masih jauh
dari harapan, juga tidak memberi jaminan perbaikan. Lalu bagaimana dengan guru?
Guru perlu diberi pendidikan dan pelatihan intensif seputar pembelajaran di
kelas, filsafat pendidikan, psikologi anak, dll., dan perekrutan guru ke depan
perlu diperketat. Hanya yang benar-benar ingin menjadi guru dan memenuhi
standar kompetensilah yang layak diangkat menjadi guru.
Bagaimana dengan guru yang lebih berorientasi
pada uang daripada pengabdian? Jawabannya juga tidak mudah. Salah satu
contohnya, kenyataan yang terjadi pada sertifikasi guru adalah banyak yang
memanipulasi jumlah jam mengajar, ada yang sertifikasi padahal jelas bidangnya
bukan dari pendidikan, membeli ijazah palsu; demi mendapat tunjangan yang
besar. Sementara banyak juga guru yang tidak sertifikasi justru malah lebih
berkualitas dan berdedikasi tinggi terhadap pendidikan. Namun, solusinya adalah
tinjau ulang semua guru yang sudah sertifikasi; dan perekrutan guru harus
diperketat seperti yang sudah saya jelaskan di paragraf sebelumnya.