Salah satu ciri bangsa yang maju adalah memiliki ketajaman dalam bidang tertentu. Baik dimiliki individu, kelompok, hingga organisasi. Contohnya, ketajaman dalam bidang pendidikan, teknologi, pangan, sastra, dll. Di tingkat organisasi pun sama. Jika dalam sebuah organisasi (misalnya sekolah sebagai organisasi pendidikan) tidak memiliki anggota yang pakar di bidangnya, maka dipastikan organisasi itu sangat susah berkembang.
Aku pernah berkunjung ke Disdik Prov. Jawa Barat menemui pegawai dinas bid. kurikulum untuk konsultasi. Sepintas kulihat gelarnya di papan statistik bergelar sarjana teknik. Apa? Apa bisa lulusan teknik membidangi bagian kurikulum sekolah setingkat provinsi sementara kurikulum adalah bagian vital pendidikan? Kemana para pakar kurikulum, kenapa mereka tidak menduduki posisi itu? Kita pasti tahu jawabannya.
Sampai saat ini Indonesia belum memiliki ketajaman di bidang tertentu. Padahal ada banyak anak bangsa yang sangat kompeten atau ahli di bidangnya. Namun, mereka ini biasanya tersingkir karena politik dan kepentingan kelompok tertentu. Sebagian lagi memilih berkarya di negara lain.
Salah satu ciri lain masyarakat Indonesia yaitu cenderung generalis ketimbang spesialis. Bahkan kalau bisa, menguasai segala sesuatu (tapi dangkal). Cenderung ingin jadi bos ketimbang ahli di satu bidang. Yang dikejar jabatan yang identik dengan kekuasaan, bukan keahlian/kepakaran. Jadi jangan kaget kalau terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kelemahan menjadi seorang generalis adalah berhenti atau malas belajar, merasa cukup, tidak ingin mengembangkan wawasan, tidak ingin memperdalam keahlian, merasa tidak butuh pelatihan. Misalnya, seorang guru generalis akan berkata: buat apa pelatihan, toh aku sudah bisa mengajar. Jika ini dilanjutkan, kita bisa menebak seperti apa kondisi pendidikan 10 tahun ke depan. Itu baru di bidang pendidikan. Bagaimana dengan bidang lain?
Oleh karena itu, kita wajib memulai dari diri sendiri. Perdalam bidang yang digeluti sekarang. Jadilah profesional di bidang masing-masing.