Saya heran membaca berita bahwa ada ribuan hoaks
dipublikasikan dalam setahun. Saya juga heran masih ada orang yang percaya bahwa
bumi datar. Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah ilmu pengetahuan yang diperoleh
dari sekolah sama sekali tidak membantu? Apakah informasi seputar ilmu
pengetahuan, yang sekarang mudah diakses, tidak bermanfaat sama sekali?
Berikut ini adalah catatan yang menjadi opini saya selaku penulis.
Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat memang
memudahkan orang menyebarkan berita termasuk berita bohong atau hoaks. Namun,
perkembangan ini tidak diimbangi oleh sikap yang baik dan benar dalam
menggunakan teknologi informasi. Ada dua pihak yang berperan dalam penyebaran
hoaks yakni penyebar dan penerima.
Pertama, pihak yang dengan sengaja menyebarkan hoaks. Pihak
ini, personal atau kelompok, bertujuan untuk menipu atau memanipulasi publik
untuk tujuan tertentu. Di dalam hati dan pikiran mereka tidak ada kebenaran.
Kalau ada kebenaran, tentulah mereka tidak berniat dan berbuat demikian.
Kedua, pihak yang menerima berita bohong. Pihak ini biasanya
tidak menggunakan akal sehat dalam menyeleksi informasi yang diterima. Mereka
menerima begitu saja tanpa menyelidiki kebenaran informasi. Dengan kata lain,
mereka tidak menggunakan nalar.
Fenomena lain yang membuat saya heran adalah maraknya video
viral yang, lebih sering, tidak ada manfaatnya sama sekali. Ada video orang
berjoget tidak jelas, berlaku konyol, prank, dll. Celakanya, video ini malah
banyak penontonnya.
Sungguh mengherankan bahwa berita bohong atau video konyol
lebih mudah diterima ketimbang sebaliknya. Video singkat mengenai pelestarian
lingkungan, imbauan larangan buang sampah sembarang; video singkat tentang
peluncuran satelit ke luar angkasa, temuan-temuan inovatif, dll., dengan mudah
dikalahkan oleh video-video yang tidak ada gunanya sama sekali. Mengapa
demikian? Saya tidak tahu secara pasti. Apakah informasi tentang ilmu
pengetahuan (sains), ekologi, dampak kerusakan lingkungan tidak menarik untuk
ditonton atau dibaca? Mungkin saja.
Tidak bisa dipungkiri bahwa keadaan yang saya tuliskan di
atas merupakan salah satu dampak dari kemajuan teknologi. Teknologi yang
awalnya dirancang untuk kebaikan bagi umat manusia, digunakan untuk kejahatan.
Bahkan saat ini sering ditemui bahwa pengembangan teknologi sarat dengan muatan
politik. Penguasa turut mendukung pengembangan teknologi tertentu bukan atas
pertimbangan seberapa besar manfaatnya
bagi masyarakat, tetapi dengan pertimbangan seberapa
besar dukungan suara yang akan ia peroleh untuk memenangkan kontestasi
politik. Ini juga ditemui di bidang-bidang lain.
....
Saat ini orang dengan mudah mendapatkan informasi, menerima
dan mengirim pesan - baik tulisan, gambar maupun video - dengan mudah secara
real time, melakukan panggilan video (video call), dll. Arus informasi begitu
deras dan begitu mudah didapat berkat teknologi.
Kemudahan yang ditawarkan oleh kecanggihan teknologi inilah
yang kerap dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk menyebarkan hoaks. Sebagaimana
orang melakukan kebohongan, penyebaran hoaks juga memiliki alasan. Beberapa
alasan yang mungkin dipakai orang, atau kelompok tertentu, untuk berbohong atau
menyebarkan hoaks: menutupi kelemahan diri, menjatuhkan lawan, menampilkan
citra diri yang baik (dengan tidak menampilkan kelemahan diri), strategi
politik, menutupi berita lain (yang mungkin berpotensi membuka rahasia atau
menimbulkan masalah), mengalihkan perhatian masyarakat, meredam amarah orang
lain atau publik, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, ada penerima atau pembaca hoaks dan
memercayainya sebagai berita yang benar. Mengapa? Beberapa alasan yang mungkin,
antara lain: tidak menggunakan akal sehat, tidak berpikir kritis dan analitis,
telah condong pada pemikiran (ideologi) tertentu sehingga ide lain yang
bertentangan tidak dibaca, ingin membaca berita yang mendukung opini sendiri
(yang belum tentu benar) untuk pembenaran opininya, memiliki wawasan atau
pengetahuan yang sempit, dan lain-lain.
......
Lalu bagaimana dengan video viral? Makin ke sini, video
viral semakin tidak jelas, makin vulgar, tidak bermanfaat, dan tidak mendidik.
Kontennya pun sering tidak bermakna sama sekali. Tapi, banyak orang
menyaksikannya.
Beberapa alasan yang mungkin jadi jawaban mengapa orang mau
menghabiskan waktu untuk video viral yang tidak berguna, antara lain: untuk
hiburan semata, mengatasi kebosanan, ikut-ikutan orang lain biar dianggap update, menyukai hal-hal unik, dan
lain-lain.
Memang ada atau masih terdapat video viral yang bermanfaat.
Hanya saja, menurut pengamatan sederhana penulis, video-video seperti itu mulai
berkurang atau tertutupi oleh video yang justru tidak berguna. Dulu, mungkin
sebuah video menjadi viral karena memang ada manfaatnya dan, dengan senang hati,
orang pun membagikan ke sesama. Nah, kesempatan ini pun dimanfaatkan oleh
orang-orang oportunis untuk eksis di dunia maya dengan menampilkan hal-hal
lucu, konyol, hingga vulgar.
Pertanyaan, apa sih manfaat menonton video rumah artis
dibongkar? Apa manfaat menonton orang yang joget tidak jelas? Nilai-nilai apa
yang diambil dari situ? Pertanyaan lain bisa dilanjutkan. Masalahnya, orang
sudah tidak lagi mempertanyakan hal-hal seperti itu ketika mengklik sebuah
video.
....
Saat ini, kebanyakan orang tidak peduli lagi akan
nilai-nilai luhur, pemikiran-pemikiran mendalam, refleksi dan kritik . Arus
informasi yang begitu deras turut membentuk perilaku masyarakat yang seperti
itu. Tidak ada ruang dan waktu bagi masyarakat untuk berefleksi atau mengkritik
sebab informasi (atau hiburan) datang terus. Secara pelan, manusia kehilangan
daya untuk berpikir.
Namun, di sisi lain masih ada orang terus mengusahakan
teknologi semakin canggih dari sekarang. Tidak terbayangkan secanggih apa lagi
teknologi di masa depan. Misalnya saja pengembangan terus menerus kecerdasan
buatan. Kecerdasan buatan diusahakan agar semakin mirip dengan manusia, hingga bisa
membaca pikiran manusia. Dengan semua itu, manusia akan menjadi “tuhan-tuhan”
baru di dunia ini. Manusia akan mengendalikan teknologi untuk menjalankan
seluruh aktivitas kehidupan.
Orang-orang yang seperti itu, yang berusaha mengembangkan
teknologi, jumlahnya hanya sedikit. Sedangkan orang yang menikmati kecanggihan
teknologi saat ini, jumlahnya makin banyak. Orang yang banyak inilah yang
mengisi ruang-ruang dalam dunia maya tanpa menggunakan pikiran yang kritis
lagi. Pun tidak ada waktu untuk refleksi.
Lalu apa yang dibutuhkan?
Menurut penulis, Indonesia membutuhkan pengembangan
literasi. Khususnya literasi baca-tulis dan literasi digital. Literasi berarti:
1) kemampuan membaca dan menulis; 2) pengetahuan atau keterampilan dalam bidang
atau aktivitas tertentu; 3) kemampuan individu dalam mengolah informasi dan
pengetahuan untuk kecakapan hidup.
Kebanyakan orang Indonesia saat ini memiliki smartphone.
Umumnya digunakan untuk berfoto ria dan update
status di media sosial semacam IG atau FB. Pengguna smartphone di Indonesia itu
ibarat bayi yang baru main gadget. Mereka tidak tahu memanfaatkan smartphone
dengan benar, selain hiburan semata. Telepon genggamnya cerdas, tapi orangnya
tidak. Mereka-mereka inilah yang biasa termakan berita bohong (hoaks) dan
menonton video-video tidak bermakna.
Literasi digital sangat penting bagi generasi sekarang.
Untuk pengembangannya, dibutuhkan kerja sama dan sinergitas berbagai pihak.
Pertama-tama tentunya dari pemerintah. Pemerintah hingga saat ini belum
memiliki program yang jelas soal literasi digital. Berikutnya, yang paling
efektif menurut penulis adalah sekolah. Meski demikian, peran pertama haruslah
diserahkan kepada orang tua sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas
perkembangan anak.