Senin, 22 Juli 2024

Penemuan

Kita yang hidup zaman ini sangat akrab dengan apa yang disebut sebagai penemuan. Banyak orang berlomba-lomba menemukan sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Kecanggihan teknologi abad ini semakin mempermudah usaha manusia untuk menemukan sesuatu yang baru. Bahkan tidak jarang pula temuan-temuan yang ada tidak hanya bermanfaat, tetapi juga unik dan menghibur.

Sebenarnya penemuan sudah berlangsung sejak lama. Sejak keberadaan manusia di muka bumi ini. Manusia dibekali akal budi untuk bisa bertahan hidup. Manusia menggunakan akalnya untuk menemukan cara-cara terbaik dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Barangkali awalnya dimulai dari coba-coba hingga menjadi kebiasaan yang berulang, dan pada akhirnya menciptakan sesuatu yang baru. Penemuan itu pun tidak hanya pada benda belaka, tetapi juga tak-benda seperti tulisan. 

Barangkali yang jarang terpikirkan saat manusia menemukan temuan baru adalah dampaknya. Temuan baru biasanya dianggap memecahkan masalah manusia, dan memang untuk itulah sesuatu ditemukan dan diciptakan. Namun, jarang sekali ada antisipasi bahwa temuan tersebut akan menjadi masalah baru yang kelak membutuhkan solusi. Manusia memang sering terjebak pada solusi jangka pendek yang sifatnya sementara. Yang penting masalah sekarang terpecahkan. Masalah berikutnya nanti saja.

Kita ambil sebuah contoh penemuan mobil atau kendaraan bermotor. Sebelum mobil ditemukan, alat transportasi manusia ditarik oleh binatang seperti kuda atau paling bagus adalah sepeda yang dikayuh. Bahkan zaman dahulu ada becak yang ditarik menggunakan tenaga manusia di beberapa negara. Setelah mobil ditemukan, alat transportasi lama pun ditinggalkan karena alasan kecepatan dan efisiensi.

Senin, 26 Oktober 2020

Tentang Perasaan

Zaman kita hidup saat ini merupakan zaman yang meninggikan perasaan. Baik perasaan secara individu maupun secara berkelompok atau komunitas. Segala sesuatu ditentukan oleh perasaan. Kalau menyenangkan perasaan, lakukan; kalau tidak, hindari. 

Begitu pula dengan tindakan orang lain terhadap kita atau kelompok kita; yang penting jangan menyinggung perasaan. Perhatikan saja penolakan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap orang/kelompok lain. Jika ditanya mengapa mereka menolak, jawabannya adalah karena menyinggung perasaan. Sama sekali tidak membicarakan hal yang ditolak itu apa. Apalagi diajak bermusyawarah untuk mufakat. Sama sekali tidak. Yang penting tolak karena telah menyinggung perasaan kelompokku. 

Media sosial seperti facebook, instagram, dll., menjadi tempat mencurahkan perasaan yang ada dalam diri. Coba perhatikan apa yang dituliskan di media sosial. Lebih banyak mengenai perasaan; gembira, sedih, galau, bingung, dll. Dulu yang ditulis 'apa yang kamu pikirkan', sekarang 'apa yang kamu rasakan'.  

Respons atas status atau curhatan di media sosial juga menunjukkan perasaan senang atau tidak. Jika banyak yang tonton/lihat/like/komentar, maka hati senang. Sebaliknya, hati kecewa. Apakah orang lain mendapatkan pelajaran atau hikmah, itu tidak penting. Pokoknya, aku senang dulu karena banyak yang memperhatikanku walaupun hanya lewat media sosial. 

Setiap zaman memang berbeda. Ada zaman yang menjadikan aktivitas politik sebagai penentu status sosial. Seseorang baru 'dianggap' bila terlibat kegiatan politik. Ada pula zaman yang meninggikan spiritualitas, intelektualitas/rasio, ekonomi, dan sebagainya. 

Nah, seperti yang telah kutulis di atas, zaman ini adalah zaman yang meninggikan perasaan. Semua bersumber dari dalam diri manusia. Ukuran segala sesuatu menjadi terlalu subjektif. Mungkin ini ada pengaruh dari relativisme. Hanya saja lebih terfokus pada suasana hati, bukan akal.  

Ada banyak perasaan yang biasa kita alami. Perasaan senang, jatuh cinta, sedih, galau, kecewa ,dll. Semua perasaan ini biasanya harus dipenuhi atau dihindari. Perasaan jatuh cinta, misalnya, adalah perasaan yang menyenangkan, namun bisa begitu menyakitkan jika bertepuk sebelah tangan. Hehehe. 

Lalu apa yang salah dengan perasaan? Masalahnya, perasaan bukanlah dewa yang harus disembah dan dipenuhi permintaannya. Sama seperti hal lain seperti uang, materi, akal,  dll., perasaan pun bisa menjadi berhala bagi kehidupan. 

Terlalu meninggikan perasaan akan mengakibatkan permasalahan dalam hidup. Orang menjadi enggan menegur sesamanya hanya untuk menjaga perasaan sesamanya itu. Orang menjadi terlalu sensitif bila dikritik atau diberi teguran, meskipun teguran itu bermanfaat. Orang yang jatuh cinta akan sulit menggunakan akalnya dan sulit menerima saran dari orang lain bila dinasihati. Masih banyak lagi contoh lain sehari-hari yang berkaitan dengan perasaan. 

Terkadang masalah yang terjadi di sekitar kita sesungguhnya hanyalah masalah sepele yang dapat diselesaikan secara cepat. Namun, jika sudah menyangkut perasaan, masalah tersebut menjadi besar dan berlarut-larut. 

Lebih jauh lagi, barangkali tindakan curang, korupsi, dan hal lain yang merusak, berawal dari perasaan tidak enak. Misalnya, seorang pejabat tidak mau berlaku curang dalam pengurusan surat izin tertentu, tetapi karena yang minta adalah saudaranya dan oleh karena tidak mau mengecewakan saudaranya itu (atau merasa tidak enak), maka ia pun melakukan kecurangan. Padahal (anggaplah begitu) saudaranya tersebut tidak memenuhi syarat. 

Merasa tidak enak atau sulit berkata "tidak", apalagi yang minta saudara, sahabat, atau orang terdekat, merupakan permasalahan bagi beberapa orang. Dan, menurutku, itu terjadi karena kita mendewakan perasaan ketimbang kebenaran atau kejujuran. 

Bagaimana agar kita terlepas dari "mendewakan" perasaan? 

Aku sangat suka kalimat ini: Ketika Allah berada di tempat yang tepat dalam hati kita, maka segala sesuatu akan menempati tempat yang tepat di dalam hidup kita. Demikian pula dengan perasaan. Perasaan akan berada pada tempat yang seharusnya, ketika Allah menjadi yang terutama di hati kita. 

Artinya, kita memang memerlukan perasaan. Perasaan itu sesuatu yang penting dalam hidup kita. Kita memerlukan perasaan ketika berempati kepada orang lain, turut berduka bagi yang berduka dan bergembira bagi yang bersuka, dan sebagainya. Bayangkan jika kita tidak memiliki perasaan! Tetapi, perasaan bukanlah yang terutama. Allah-lah yang terutama. 

Jika Allah yang terutama, maka kita tidak perlu enggan menegur kesalahan sesama kita dan ketika menegur, kita melakukan dengan penuh kasih. Jika Allah yang terutama, kita tidak perlu takut berkata "tidak", apalagi bila itu ajakan berbuat jahat. Jika Allah yang terutama, maka tujuan hidup kita bukan hanya untuk memenuhi perasaan kita dengan hal-hal yang kita ingini. 

Oleh karena itu, bersyukurlah karena kita memiliki perasaan dan pergunakan perasaan yang ada untuk kemuliaan Tuhan. 

Selasa, 23 Juni 2020

Dua Puisi Rindu

Betapapun Itu

Betapapun samar ingatanku
Tentang dirimu; 
Wangi parfummu ketika kau di dekatku 
Suaramu ketika engkau bernyanyi 
Warna baju yang kupakai waktu itu
Rambutmu yang kaubiarkan terurai 

Betapapun bias ingatanku
Tentangmu; 
Pribadimu yang sederhana 
Teguh-pendirianmu di balik sikap lembutmu 
Tentang suara-suara senyap di balik diammu 
Tentang jiwa-pemberontakmu yang tersamar di balik senyum manismu

Betapapun itu
Aku tetap merindukanmu

(15/02/2020)

Bisikan Malam

Ada yang menunggu untuk kembali: aku
Ada yang sangat berharga untuk ditemui: kamu

Aku pernah menutup hati.

Lalu suatu hari 
aku membukanya.

Aku tak tahu ternyata yang masuk
Adalah sebuah bintang yang sinarnya 
Paling terang di malam hari. 

Dan mataku tertuju ke sana
Yang kulihat bukan gelap, meski ia luas, 
Tapi cahaya bintang paling terang. 

Aku pun berbisik dalam diriku:
Mengapa aku begitu merindukannya? 

(23/6/2020)
Untuk: yang paling berharga 
Dari: si bodoh yang setia menunggu 

Sabtu, 20 Juni 2020

Kota dan Desa: Sebuah Catatan


Tadi aku ke Gramedia SMS, summarecon mall serpong, untuk beli buku Emil Zola. Buku itu sdh lama kuincar dan baru sekarang mampu beli. Ini pertama kali aku ke SMS. Suasananya sangat beda dengan cibinong city mall (CCM) yang dulu biasa kukunjungi, seringnya ke toko bukunya. Di SMS, pengunjungnya rata-rata berkulit putih bermata sipit dan/atau masyarakat lain kelas atas. Juga pengunjung gramedianya.

Serpong memang terkenal sebagai wilayah elite. Tapi... tapi... ternyata warga biasa dan warga miskin juga eksis. Hanya saja mereka tersingkirkan dan terjepit di antara perumahan elite. Seolah-olah wilayah ini bukan untuk mereka. Tidak pantas untuk mereka. Bahkan tempat umum seperti mall pun didesain bukan untuk mereka. Sehingga hanya kalangan tertentu saja yang menikmati. Kecuali driver grab yang terlihat hilir-mudik dengan wajah khas pribumi dengan pesanan grabfood di tangan hehehe

Btw, aku bukan kalangan elite. Hanya warga biasa yang hobi baca buku. Masuk SMS pun rasanya aku tidak layak hahaha. Bodo amat. Yang penting dapat bukunya hahaha (8-9-2019)

Cerita di atas adalah sebuah catatan kecil tentang salah satu pengalamanku saat membeli buku. Biasanya aku mencatat hal-hal tertentu dalam smartfonku. Mirip catatan harian. Sesuai dengan tanggal yang tertera, itu terjadi bulan September 2019. Dua bulan sebelum aku akhirnya memutuskan pulang kampung.

Sekarang aku di kampung. Desa tercinta. Suasananya berbeda. Bahkan tidak ada toko buku semacam gramedia di sini. Untungnya, hal itu bukan sebuah masalah. Teknologi telah membuka akses seluas-luasnya termasuk belanja buku. Bedanya, kita tidak bisa menikmati suasana dan aroma toko buku dengan alunan musik pelan yang membuat kita betah berlama-lama di sana. Dengan aplikasi, yang cukup dilakukan di kamar sendiri, kita bisa mencari hal yang kita butuhkan atau inginkan melalui smartfon. Kemudian melakukan pemesanan dan pembayaran dengan mudah secara daring. Dan…tunggulah sampai barang itu sampai di tangan anda.

Sejenak aku membayangkan ketika aku berkunjung ke SMS atau CCM, lalu membandingkan dengan keberadaanku saat ini. Sungguh jauh.

Di sini aku biasa berjalan kaki dari rumah menuju kebun. Jalan raya di depan rumah memang dipenuhi kendaraan lalu-lalang, namun selalu ada waktu jalan tersebut terlihat lengang yang membuat kita dengan mudah menyeberang jalan. Lagipula jalannya tidak begitu lebar. Hanya dua jalur. Ini sungguh berbeda dengan kota besar.

Tentang perbedaan kota dan desa aku punya catatan tersendiri dan akan kutampilkan langsung di bawah ini. Catatan ini kutulis pada tanggal 01 Februari 2020 dengan judul ‘Kota dan desa’. Silakan didengarkan ya (eh dibaca).

Kota dan desa sama-sama merupakan ruang dan waktu dimana manusia berada atau berkumpul. Namun, keduanya terbentuk secara berbeda. Sehingga orang memandang keduanya pun berbeda.

Aku punya pengalaman tinggal di kota maupun di desa. Hingga lulus SMA aku tinggal di desa. Kemudian merantau ke kota untuk kuliah dan meneruskan hidup.

Lima tahun aku tinggal di Cawang, Jakarta Timur. Selama itu aku melihat perubahan yang cepat di ibukota. Salah satunya adalah transportasi bus Patas ke bus transjakarta dengan jalur dan halte khusus. Contoh lain adalah keberadaan mall yang bertambah.

Dua tahun aku bolak-balik Cawang-Cibinong karena alasan pekerjaan. Selama perjalanan pulang-pergi kerja, kulihat segala sesuatunya berubah cepat.

Enam tahun aku tinggal di Cibinong. Pada akhirnya aku pindah ke Cibinong karena alasan lokasi kerja dan kelelahan bolak-balik Cawang-Cibinong.

Di Cibinong banyak yang berubah sejak aku datang hingga akhirnya aku pindah nantinya. Dulu  ada Carrefour di perempatan pasar Cibinong yang kemudian tutup karena kalah saing dengan mall besar yang baru dibangun. Mall itu adalah Cibinong City Mall (CCM).

Waktu pindah ke Cibinong, CCM belum ada. Keberadaan CCM kemudian melumpuhkan pusat perbelanjaan lain semisal Carrefour, Cibinong Square, Robinson, ITC, dan Ramayana. Setidaknya itu yang kuamati.

Itu hanya secuil perubahan yang bisa kutuliskan di sini.

Terakhir, lima bulan aku tinggal di Serpong. Jangan salah, dengan waktu sesingkat itu pun kulihat banyak perubahan terjadi.

Sekarang aku kembali ke desa setelah kurang-lebih empat belas tahun merantau. Apa yang kulihat? Perubahan sangat sedikit. Paling mudah diamati adalah seputar penambahan jumlah penduduk atau pendatang baru. Dan, pembukaan hutan untuk pembangunan jalan alternatif. Itu pun hanya jalan kecil dengan dua lajur.

Soal kehidupan warga, menurutku, tidak jauh berbeda dengan saat kutinggalkan dulu. Pekerjaan sehari-hari tetap sama dengan penghasilan pas-pasan. Bahkan ada yang berkekurangan. Sama seperti dulu!

Ketimpangan sangat nyata antara kota dan desa. Aku belajar satu hal: sesulit-sulitnya hidup di kota, kita masih menikmati fasilitas umum, transportasi murah, tempat rekreasi, atau pusat perbelanjaan. Meskipun sekadar jalan-jalan.

Di desa, apa yang bisa kau nikmati? Udara sejuk dan pemandangan indah? Belum tentu ada, belum tentu seindah yang dibayangkan. Yang ada adalah kau melihat setiap hari orang berjerih lelah untuk kebutuhan sehari-hari yang belum tentu terpenuhi.

Bagaimana dengan lowongan kerja? Di desa, tidak seperti di kota, tidak banyak pilihan pekerjaan. Pekerjaan yang diidam-idamkan semua orang adalah jadi PNS/ASN. Bertani atau berkebun? Belum tentu menjanjikan sebab masih banyak menggunakan cara-cara tradisional (ini membuat banyak orang memilih hidup di kota). Teknologi pertanian belum dikembangkan secara optimal.

Sekarang aku merasa asing di desa. Ingin mengembangkan sesuatu jadi terasa sulit. Segala sesuatunya harus dimulai dari nol dengan dukungan minimal. Dukungan yang dimaksud, semisal: transportasi, listrik, akses internet, komunitas yang sevisi, dll. Listrik sering padam, internet kurang lancar, transportasi umum mahal, orang yang sevisi sulit didapat. Tingkat pendidikan atau pengetahuan masyarakat rata-rata masih rendah, masih percaya takhayul, malas-malasan di warung, dlsb.

Begitulah. Di sini listrik sering padam. Dalam tempo seminggu selalu ada pemadaman. Kadang seharian penuh; dari pagi sampai sore.  Memang situasi di sini tidak bisa dibilang sangat tradisional karena setiap rumah teraliri listrik, warga memiliki kendaraan motor sendiri, punya smarfon juga, bahkan gaya hidup beberapa warga lebih mirip orang kota ketimbang orang desa (atau berusaha meniru gaya hidup orang kota). Tetapi aku bisa mengatakan bahwa situasi di sini adalah situasi ‘pertengahan’.

Masalahnya adalah di sini terdapat semacam ‘lompatan gaya hidup’. Dari yang sangat tradisional langsung ke yang modern. Bukan berarti warga di desa tidak boleh meniru kehidupan kota atau tidak layak. Bukan. Tetapi kehidupan kota didukung oleh berbagai infrastruktur, lapangan kerja, akses dan fasilitas. Sedangkan di desa, dengan segala keterbatasannya, rasanya sulit. Untuk memenuhi kebutuhan makan-minum sehari-hari saja sangat sulit, apalagi ditambah kebutuhan pulsa dan kuota internet yang tergolong mahal.

Kalau dipikirkan dari sisi lain, mungkin saja ini terjadi karena selama ini pembangunan bangsa ini hanya terpusatkan di kota-kota besar saja. Sehingga kehidupan kota menjadi standar hidup layak bagi semua orang. Pembangunan dari desa pun yang merupakan salah satu program pemerintah saat ini terlihat tidak memberikan perubahan yang signifikan. Ini tugas pemerintah untuk mengoreksi dan memperbaiki program kerjanya.

Aku sebenarnya mengharapkan sebuah kondisi dimana warga di desa bisa menikmati ‘kemudahan’ seperti yang dinikmati oleh warga di kota besar. Seperti fasilitas umum yang memadai, klinik atau pusat kesehatan yang siap melayani masyarakat secara merata, pasar tradisional yang bersih dan nyaman, transportasi umum yang cukup, fasilitas listrik dan jaringan internet yang lancar.

Ah…keinginanku terlalu banyak. Aku sudahi dulu sampai di sini. Tiba-tiba aku merasakan suatu kesadaran mendatangiku. Tiba-tiba aku merasakan aku ‘berada’ di sini; di sebuah desa kecil. Mungkin ini yang disebut kesadaran eksistensial? Entahlah.

(Aku barusan menulis apa ya?!) 

Perbedaan Masyarakat di Kota dan di Desa | mybektiblog
sumber foto: mybektiblog.wordpress.com

Minggu, 12 Januari 2020

Aku, Kamu dan Dia


Hai, kamu.

Aku sudah lama tak mendengar kabarmu. Bolehkah kau memberitahuku sekali saja? Sebab rinduku sudah sebesar gunung; tak dapat kutanggung lagi. Ujung rindu ini sudah tak mampu kudaki lagi.

Aku tahu aktivitasmu pasti sangat padat; banyak tugas yang harus diselesaikan. Tetapi, karena kau tidak memberiku kesempatan untuk mendengar kabarmu, maka apa yang bisa kuperbuat? Tidak ada!

Tidak hanya itu, jarak telah memisahkan kita. Aku tidak benci pada jarak. Aku sedikit tidak menyukai ketidakmampuanku menggapaimu. Rasanya seperti ketika aku sedang menatap bintang di malam hari; tak pernah bisa kugapai. Bahkan bintang yang jauh di sana rela menunjukkan dirinya meski hanya terlihat setitik di langit yang mahaluas. Andai kau tahu, kau telah menjadi bintang bagiku.

Aku menuliskan ini untuk melepas semua yang ada dalam kepalaku. Aku akan menceritakan hal-hal yang mungkin kurang menarik bagimu. Lagipula ceritaku kali ini tidak akan beralur; aku menceritakan apa saja yang keluar dari pikiranku, lalu tanganku akan menuliskannya.

Bulan Juni tahun lalu aku pindah ke daerah Serpong. Kota itu asing bagiku meskipun aku pernah ke sana satu-dua kali. Untuk tinggal di sana, belum pernah. Baru kali itulah aku benar-benar pindah dan tinggal di sana di sebuah kontrakan. Tapi aku tidak lama di sana karena lima bulan setelah itu aku pulang kampung.

Aku suka membaca. Itulah yang membantuku setiap berada pada lingkungan baru. Misalnya aku sedang tidak berminat berpergian, aku lebih memilih membaca buku di kamar.

Pada waktu itu aku belum memutuskan akan bergereja di mana. Aku belum tahu gereja terdekat di situ. Jujur saja dua minggu aku tidak ke gereja. Pertama, karena pada minggu pertama aku juga baru pulang dari acara alumni di Bogor. Minggu berikutnya, kalau tidak salah, saat itu aku bangun kesiangan dan sorenya aku ketiduran hehe.

Barulah pada minggu ketiga aku ke gereja. Aku memilih bergereja di HKBP. Tidak jauh dari kontrakanku. Terakhir aku beribadah di HKBP satu kali sekitar 7 tahun lalu di Cibinong. Selebihnya aku bergereja di GKC - Cibinong.

Ada kisah menarik dan manis, meskipun sedikit lucu, ketika aku pertama kali ke HKBP Serpong. Untuk menuju lokasi aku tidak kesulitan karena mengandalkan driver grab hehe. Kemudian aku cukup kebingungan untuk masuk karena di sana terdapat juga gereja Katolik. Untung saja aku sempat menanyakan ke sekuriti yang ada di sana.

Tidak hanya itu, ketika masuk ke dalam ruang ibadah, namanya pertama kali ke sana, belum ada yang kukenal, aku agak kebingungan duduk di sebelah mana. Pikiranku segera berputar: aku akan duduk di dekat perempuan cantik (dasar laki-laki!) hehe. Misi kujalankan.

Kursi masih banyak yang kosong. Kuedarkan pandangku ke seluruh ruang gereja secara cepat sambil menimbang duduk di sisi kiri atau kanan. Aku hampir lupa dengan misiku karena ternyata masih jemaat masih sedikit yang datang. Oh iya, itu ibadah sore jam 5 dan aku datang agak lebih awal.

Itu dia, pikirku, setelah memasuki pintu gereja dan masuk ke lorong kursi di bagian tengah. Di sebelah kiri kulihat seorang perempuan berbaju putih, rambut panjang terurai manis, dan, aha! dia sendirian. Seorang perempuan cantik!  Ini dia yang kucari haha. Aku pun menuju kursi satu baris di belakangnya. Aku duduk di belakangnya agak ke kanan agar bisa kulihat siapa dia. Di sinilah sisi lucunya; ternyata dia adalah rekan guru sendiri hehehe. Kecewa? Tentu tidak sama sekali dong. Dia adalah rekan baru karena aku baru pindah sekolah.

Dia adalah teman kerja. Aku tidak akan beritahu dia ngajar apa, cukup petunjuknya; dia mengajar mata pelajaran yang kurang disukai kebanyakan siswa haha. Aku juga tidak begitu berminat dengan pelajaran itu, dulu!

Sebenarnya aku sedikit malu memikirkan niatku sebelumnya. Tapi kupikir, toh, hanya aku yang tahu (Tuhan juga tahu sih) hehehe. Akhirnya kusapa dia dan meminta izin untuk duduk di sebelahnya. Dia tentu saja mengizinkan. Kupasang wajah datar dan biasa saja (memang sudah datar sebelumnya) untuk menyembunyikan rasa malu, takut ketahuan. Padahal dia pasti tidak tahu - kecuali kalau dia dukun.

Rekan yang kuceritakan barusan (sekarang sudah mantan rekan kerja) lumayan cantik. Aku suka rambutnya dan saat dia ketawa, meskipun tawanya agak pelit. Setidaknya menurutku ya. Sepertinya dia seorang pendiam jika dengan orang baru, tapi kalau sudah dekat mungkin baru terlihat kelakuannya hehehe. Penilaian ini sebenarnya adalah cerminan diriku sendiri yang pendiam dan tak banyak bicara. Hanya dengan orang yang benar-benar kukenal aku bisa “terbuka”.

Mengenai dia, selanjutnya, tidak akan kubicarakan lagi. Aku tahu cerita di atas hanya terdengar lucu bagiku karena aku yang mengalaminya. Entah bagimu. Mengenai dia, secara khusus, nanti akan kutuliskan juga sebuah cerita jika ada kesempatan. Atau, mungkin saja, kelak, dia dan aku menuliskan cerita bersama. Entahlah.

Sejauh ini baru kusadari menulis itu lumayan susah. Apa yang kupikirkan belum tentu bisa kutuliskan sesuai yang kupikirkan kata demi kata, kalimat demi kalimat. Butuh koreksi beberapa kali. Hasil akhirya, ya, seperti ini!

Aku akhirnya pulang. Keputusan pulang bukanlah perkara mudah bagiku. Pulang berarti aku akan kembali ke (dan tinggal di) kampung halaman. Ini berat karena hampir separuh usiaku saat ini berada di perantauan. Banyak hal yang berubah. Bukan berarti aku tidak bisa hidup lagi di desa. Butuh penyesuaian yang cukup besar dari kehidupan di kota ke kehidupan desa.

Aku memutuskan pulang kampung setelah menggumulkannya dalam doa. Jujur saja, tidak mudah untuk memilih pulang. Berbagai pertimbangan, terutama pekerjaan, membuatku cukup lama memilih untuk pulang ketimbang menetap di Serpong. Walaupun pada saat itu aku sudah resign dari sekolah karena alasan kesehatan. Bisa saja aku mencari pekerjaan baru. Tetapi setelah kupikirkan kembali, demi kesehatan, maka kuputuskan untuk pulang. Entah bagaimana ke depannya, sepenuhnya kuserahkan pada tangan pemeliharaan Tuhan.

Seminggu sebelum aku pulang, aku sudah mengirimkan semua barangku dengan memakai jasa kargo. Biayanya lumayan besar. Aku juga sudah memesan tiket pesawat. Namun, beberapa hari sebelumnya, salah satu maskapai membatalkan penerbangan sehingga aku harus memesan maskapai lain. Sampai sekarang uang kembalian alias refund belum ada kabar.
Sehari sebelum pulang, aku pamit ke pemilik kontrakan, lalu menginap di rumah saudara yang ada di Tangerang. Alasannya supaya lebih dekat dari bandara karena jadwal keberangkatanku jam 5 pagi. Aku ke sana dengan grab bike.

Di Tangerang aku sempat berjalan-jalan di sekitar tempat tinggal saudara tadi. Kebetulan malam itu ada pasar malam, jadi banyak orang berdatangan. Kebanyakan berbelanja karena harganya lumayan miring. Pada malam itu aku juga sempat belanja di minimarket untuk keperluan sarapan terutama saat transit esok hari di Kualanamu Airport. Aku akan transit selama 4 jam.

Sekitar jam 4 pagi aku sudah di bandara Soekarno-Hatta. Sebuah insiden kualami. Ternyata salah satu kartu ATM-ku tertinggal. Aplikasi mobile banking-ku telah dinon-aktifkan. Nanti setelah aku di Kualanamu aku baru mengetahui ATM-ku tertinggal di minimarket yang kukunjungi semalam dan kartunya tertelan dalam mesin sehingga otomatis rusak dan oleh karenanya aplikasi tidak bisa diaktifkan.

Subuh itu aku membutuhkan uang untuk membayar biaya tambahan bagasi. Saldo dalam kartu ATM-ku yang lain pun kosong. Karena aku biasa memakai satu kartu saja. Pagi itu aku panik! Jadwal boarding tinggal hitungan menit. Aku mencoba membujuk petugas, tetap tidak bisa. Akhirnya, aku menghubungi saudara tempatku menginap tadi malam. Untung mereka terbangun dan bersedia transfer lewat aplikasi. Itulah keuntungan teknologi, tidak perlu repot-repot ke mesin ATM.

Aku melewati pagi yang berat. Tasku sudah masuk bagasi, pembayaran belum selesai, jadwal boarding hampir habis, aku masih di loket check-in. Aku bisa saja kehilangan penerbanganku dan barang bawaanku. Setelah transaksi selesai, aku berlari menuju tangga, melewati pemeriksaan, dan di gate yang kutuju ada seorang petugas menunggu dan menebak bahwa aku adalah penumpang yang terlambat. Benar saja. Aku penumpang terakhir yang ditunggu. Mungkin sudah beberapa kali namaku dipanggil lewat pengumuman suara.

Akhirnya aku sudah di pesawat. Jantungku berdegup kencang, terengah-engah seperti kehabisan napas, tetapi ada rasa tenang yang tak bisa digambarkan. Pramugari membantu memasukkan tas ranselku ke bagasi kabin. Penerbangan akan ditempuh selama dua jam.

Jam 7 pagi aku berada di Kualanamu Airport. Setiba di ruang tunggu, segera kuhubungi pihak bank untuk mengamankan kartu ATM-ku, yang jangan-jangan telah diambil orang. Pihak bank mengonfirmasi bahwa ATM-ku telah diamankan. Namun, m-banking baru bisa digunakan jika aku ke kantor cabang terdekat. Sialnya, aku sedang di bandara dan di sana tidak ada kantor cabang bank yang kubutuhkan. Kalau aku ke Medan, aku ragu tidak cukup waktu untuk kembali lagi ke bandara untuk penerbangan berikutnya. Dan di kampungku, bank tersebut tidak memiliki cabang.

Apakah kau mengikuti ceritaku sampai di sini?

Aku ingin menyampaikan bahwa pertolongan Tuhan itu tepat waktu. Sesuai dengan apa yang kita butuhkan. Kadang kita lupa membedakan mana kebutuhan mana keinginan. Kepanikanku pagi itu teratasi oleh pertolongan dari saudara. Aku menganggap pertolongan itu berasal dari Tuhan. DIA bisa memakai siapa saja untuk menolong kita, bahkan di saat-saat tersulit dan mustahil. Bayangkan kalau saudara tadi tidak menjawab telfonku karena masih terlelap tidur? Padahal aku sedang membutuhkan pertolongan – penting dan mendesak.

Ngomong-ngomong apa kabar, kamu? Aku selalu berdoa agar kamu selalu dalam keadaan baik dan sehat, meskipun hal itu tidak mungkin. Bisa saja kondisimu sedang tidak baik, kurang sehat, kurang bersemangat. Aku selalu meminta pada Tuhan agar DIA mengirim malaikat penjaga untuk menjagamu setiap saat, terutama di masa-masa sulitmu. Apakah kau merasakannya?

Apapun keadaanmu – baik atau kurang baik, mungkin kamu memiliki kegiatan yang sangat padat, jangan pernah lupa, selalu ingat, untuk tetap memiliki relasi pribadi dengan Tuhan. Memang kadang kita mengalami kondisi jenuh, aku berharap kamu bisa mengatasi itu dengan pertolongan-Nya.

Ada satu petikan Firman yang ingin kubagikan: “semoga Allah, yang adalah sumber ketekunan dan pengiburan, mengaruniakan kerukunan kepada kamu sesuai dengan, sesuai dengan kehendak Kristus Yesus (Roma 15:5)”.

Di ayat itu Paulus menggambarkan Allah sebagai sumber ketekunan. Ya, Dia-lah yang membuat kita mampu bertekun di dalam Dia. Jika dengan kekuatan kita sendiri, kita tidak akan sanggup. Sebab, seperti kukatakan di atas, kita kadang mengalami kejenuhan. Kita punya keterbatasan. Pertahanan diri kita bisa runtuh. Kejenuhan itu bisa saja disebabkan oleh padatnya aktivitas, tekanan dari orang lain, dan/atau berbagai pergumulan lain.

Barangkali itu saja yang bisa kuceritakan di sini. Kalau lebih panjang, aku yakin, kau pasti bosan membacanya. Itu pun kalau kamu memiliki waktu membaca ocehan tidak pentingku ini!

Ingat, aku masih menantikan keajaiban itu. Masih ingatkah kamu? Kau tentu sudah melupakannya. 

airplanes window view of sky during golden hour
sumber: https://unsplash.com/photos/oCdVtGFeDC0