Tulisan berikut ini merupakan lanjutan dari postingan sebelumnya mengenai kesesatan relevansi dalam berpikir. Sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, kita juga terkadang melakukan kekeliruan (kesesatan) dalam mengutarakan pendapat, pernyataan, atau dalam berargumen.
Kesesatan
non causa pro causa. Kekeliruan berpikir jenis ini terjadi
apabila kita menganggap sesuatu sebab, padahal sebenarnya bukan sebab atau
bukan sebab yang lengkap. Contoh, setiap pengendara motor wajib memakai helm
untuk melindungi kepalanya, seorang pengendara motor tewas kecelakaan, pasti ia
tidak memakai helm. Seorang murid harus
mendengarkan nasihat guru, nilai si A tidak memuaskan, pasti ia tidak
mendengarkan nasihat gurunya.
Ignoratio
elenchi. Disebut juga red herring. Kekeliruan yang terjadi saat seseorang menarik
kesimpulan yang tidak relevan dengan premisnya. Biasanya kekeliruan ini
didasari oleh prasangka subyektif.
Misalnya: pejabat itu blusukan ke pelosok hanya untuk pencitraan belaka. Orang itu sangat dermawan, pasti dia sedang cari muka. Dia seorang tokoh agama, jadi tidak mungkin melakukan kejahatan sekeji itu.
Misalnya: pejabat itu blusukan ke pelosok hanya untuk pencitraan belaka. Orang itu sangat dermawan, pasti dia sedang cari muka. Dia seorang tokoh agama, jadi tidak mungkin melakukan kejahatan sekeji itu.
Argumentum
ad ignorantiam. Kekeliruan berpikir yang terjadi ketika
menarik kesimpulan atas dasar bahwa negasinya (kesalahannya) tidak terbukti
salah. Maksudnya, bila kesalahan suatu pernyataan tidak terbukti salah, maka pernyataan
tersebut bisa dikatakan benar.
Contoh: Saya tidak pernah melihat Tuhan, karena itu Tuhan tidak ada. Argumen Anda salah karena Anda tidak dapat membuktikan argumen Anda tidak salah.
Contoh: Saya tidak pernah melihat Tuhan, karena itu Tuhan tidak ada. Argumen Anda salah karena Anda tidak dapat membuktikan argumen Anda tidak salah.
Kesesatan
aksidensi. Kekeliruan berpikir yang terjadi kalau
kita menerapkan pernyataan umum pada keadaan yang bersifat aksidental
(kebetulan, tidak harus ada, tidak mutlak). Dengan kata lain, kita mengacaukan
apa yang aksidental dengan apa yang esensi (hakiki).
Misalnya, memotong tubuh orang adalah kejahatan, dokter bedah memotong tubuh orang, jadi dokter bedah adalah penjahat. Membicarakan orang lain adalah tidak baik, pembicara itu membicarakan presiden kita, berarti pebicara itu seorang yang tidak baik.
Misalnya, memotong tubuh orang adalah kejahatan, dokter bedah memotong tubuh orang, jadi dokter bedah adalah penjahat. Membicarakan orang lain adalah tidak baik, pembicara itu membicarakan presiden kita, berarti pebicara itu seorang yang tidak baik.
Kesesatan
karena komposisi dan divisi. Kekeliruan yang terjadi ketika apa yang
benar atau salah pada perilaku individu berlaku juga pada kelompoknya (kesesatan
komposisi). Sebaliknya, kesesatan divisi, apa yang benar atau salah pada
perilaku kelompok berlaku pula pada individu kelompok tersebut.
Contoh kesesatan komposisi: oknum anggota DPR ada yang korupsi, berarti semua anggota DPR adalah koruptor. Seorang guru di sebuah sekolah berlaku mesum terhadap muridnya, berarti semua guru di sekolah itu melakukan hal yang sama.
Contoh kesesatan divisi: sekolah itu bertaraf internasional, pasti semua muridnya pintar. Rumah itu besar sekali, pasti kamar-kamar di dalamnya juga besar.
Contoh kesesatan komposisi: oknum anggota DPR ada yang korupsi, berarti semua anggota DPR adalah koruptor. Seorang guru di sebuah sekolah berlaku mesum terhadap muridnya, berarti semua guru di sekolah itu melakukan hal yang sama.
Contoh kesesatan divisi: sekolah itu bertaraf internasional, pasti semua muridnya pintar. Rumah itu besar sekali, pasti kamar-kamar di dalamnya juga besar.
Demikianlah beberapa kesesatan relevansi. Cara menghindari atau mengatasi kesesatan dalam berpikir adalah bersikaplah kritis terhadap pernyataan-pernyataan yang Anda peroleh.
Semoga bermanfaat.
Sumber: Dasar-dasar logika (Surajiyo, dkk)