Selasa, 04 Agustus 2015

Organisasi Informal dalam Sekolah

Organisasi informal merupakan sebuah sistem relasi antar-pribadi yang terbentuk secara spontan di dalam semua organisasi formal (Hoy dan Miskel, 2014). Sewaktu manusia berinteraksi dalam organisasi, jaringan relasi informal pun mulai muncul yang menimbulkan dampak-dampak penting terhadap perilaku. Organisasi informal juga mengandung aspek struktural, normatif, dan perilaku.
Dalam organisasi formal, manusia berinteraksi secara informal membicarakan masalah pribadi dan sosial. Dan tentunya pasti ada yang disukai dan yang tidak disukai. Kelompok yang disukai biasanya didekati atau terus berinteraksi, sebaliknya, kelompok yang tidak disukai akan dihindari. Status di dalam kelompok informal bergantung pada frekuensi, durasi, dan watak pola-pola interaksi, serta seberapa besar penghormatan yang diberikan orang lain kepada individu lainnya dalam kelompok. Sebagai konsekuensinya, sebagian dikagumi, sebagian dihindari. Kelompok informal juga memiliki pemimpin, tentunya pemimpin informal, yang memiliki pengaruh kuat atau dihormati dalam kelompoknya.
Interaksi informal membuahkan sub-sub kelompok; pertemanan kecil (klik), jaringan komunikasi informal, jaringan berdisiplin yang berpusat pada kepemimpinan informal, dan struktur status di kalangan kelompok guru. Sebagai contoh, ketidakmampuan guru untuk memengaruhi kebijakan melalui struktur formal akan menumbuhkan aktivitas, percakapan, dan prakarsa informal. Kelompok informal ini akan berinteraksi membahas kebijakan, misalnya aturan mengenai teknik mengajar, yang dibuat oleh pengelola pendidikan. Berbagai keputusan yang diambil oleh pengelola/pemimpin sekolah bisa juga menjadi bahan pembicaraan dalam kelompok informal. Sebagian mungkin menerima, tapi harus diakui, sebagian menolak dan bahkan melakukan perlawanan.
Singkatnya, organisasi informal bisa menghambat jalannya organisasi dan bisa juga memajukan organisasi bergantung pada pendekatan yang dilakukan oleh pemimpin/pengelola sekolah. Organisasi informal yang menghambat bisa dalam hal: saling menjatuhkan antar kelompok, menyebarkan informasi yang tidak benar mengenai keputusan yang diambil, memengaruhi individu lain untuk meninggalkan organisasi, atau bahkan menyiapkan pemberontakan apabila kebijakan atau keputusan pemimpin/pengelola sekolah tidak sesuai yang diinginkan oleh kelompok informal tertentu.
Ciri dari organisasi informal yang paling terlihat adalah dinamis. Keanggotaan atau pertemanan kecil bisa berlangsung singkat dan bisa juga berlangsung lama. Tidak seperti organisasi formal yang bersifat kaku, hierarki otoritas diatur secara vertikal, mengutamakan kepatuhan. Karena itu, jika organisasi informal bisa dikelola dengan tepat, akan meningkatkan kinerja organisasi formal. Sebagai contoh, dalam menyampaikan program kerja – apa saja yang harus dikerjakan oleh guru, kebijakan baru – akan lebih mudah diterima oleh anggota jika disampaikan. Jika anggota organisasi informal terdiri dari individu-individu yang saling membangun – bukan bergosip – maka kelompok informal tersebut justru sangat efektif untuk memajukan organisasi.
Chester Barnard (1938) mengemukakan fungsi organisasi informal setidak-tidaknya ada tiga, yaitu sebagai: 1) sarana komunikasi efektif; 2) alat mengembangkan kerekatan; 3) melindungi integritas individual. Organisasi informal memungkinkan setiap individu mengungkapkan diri mereka secara autentik. Sementara, seseorang cenderung menyembunyikan dirinya yang sebenarnya dalam organisasi formal dengan tujuan memberi kesan baik di depan pengelola/pemimpin sekolah.
Organisasi formal menekankan efisiensi, kemampuan dipredikasi, kontrol, spesifitas, disiplin, hubungan hierarki (atasan-bawahan), dan rasionalitas. Sedangkan, organisasi informal menekankan kemampuan beradaptasi, inovasi, spontanitas, hubungan kolaboratif, dan emosionalitas (Katzenbach dan Kahn, 2010). Organisasi informal bukanlah musuh yang harus dilenyapkan, justru sebaliknya, bila dikelola dengan baik, organisasi informal bisa meningkatkan efisiensi. Namun, penting untuk diperhatikan bahwa organisasi tetap satu dan di dalam organisasi formal selalu tumbuh organisasi informal.
Oleh karena itu, seorang pengelola/pemimpin pendidikan harus menjalin relasi dengan bawahan dan berinteraksi secara informal kepada mereka, agar lebih mengenal individu/anggota organisasinya. Sehingga ketika terjadi masalah, pengelola/pemimpin tidak lagi berspekulasi/menduga-duga – apalagi menuduh secara salah – para anggotanya. Pemimpin yang terlalu arogan membuat kelompok informal semakin kuat dan semakin bersikap negatif. Dampaknya, banyak beredar informasi-informasi rahasia di kelompok informal tanpa diketahui oleh pemimpin (formal). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar