Organisasi informal
merupakan sebuah sistem relasi antar-pribadi yang terbentuk secara spontan di
dalam semua organisasi formal (Hoy dan Miskel, 2014). Sewaktu manusia
berinteraksi dalam organisasi, jaringan relasi informal pun mulai muncul yang
menimbulkan dampak-dampak penting terhadap perilaku. Organisasi informal juga mengandung
aspek struktural, normatif, dan perilaku.
Dalam organisasi
formal, manusia berinteraksi secara informal membicarakan masalah pribadi dan
sosial. Dan tentunya pasti ada yang disukai dan yang tidak disukai. Kelompok
yang disukai biasanya didekati atau terus berinteraksi, sebaliknya, kelompok
yang tidak disukai akan dihindari. Status di dalam kelompok informal bergantung
pada frekuensi, durasi, dan watak pola-pola interaksi, serta seberapa besar
penghormatan yang diberikan orang lain kepada individu lainnya dalam kelompok.
Sebagai konsekuensinya, sebagian dikagumi, sebagian dihindari. Kelompok
informal juga memiliki pemimpin, tentunya pemimpin informal, yang memiliki
pengaruh kuat atau dihormati dalam kelompoknya.
Interaksi informal
membuahkan sub-sub kelompok; pertemanan kecil (klik), jaringan komunikasi
informal, jaringan berdisiplin yang berpusat pada kepemimpinan informal, dan
struktur status di kalangan kelompok guru. Sebagai contoh, ketidakmampuan guru
untuk memengaruhi kebijakan melalui struktur formal akan menumbuhkan aktivitas,
percakapan, dan prakarsa informal. Kelompok informal ini akan berinteraksi
membahas kebijakan, misalnya aturan mengenai teknik mengajar, yang dibuat oleh
pengelola pendidikan. Berbagai keputusan yang diambil oleh pengelola/pemimpin
sekolah bisa juga menjadi bahan pembicaraan dalam kelompok informal. Sebagian
mungkin menerima, tapi harus diakui, sebagian menolak dan bahkan melakukan
perlawanan.
Singkatnya, organisasi
informal bisa menghambat jalannya organisasi dan bisa juga memajukan organisasi
bergantung pada pendekatan yang dilakukan oleh pemimpin/pengelola sekolah.
Organisasi informal yang menghambat bisa dalam hal: saling menjatuhkan antar
kelompok, menyebarkan informasi yang tidak benar mengenai keputusan yang diambil,
memengaruhi individu lain untuk meninggalkan organisasi, atau bahkan menyiapkan
pemberontakan apabila kebijakan atau keputusan pemimpin/pengelola sekolah tidak
sesuai yang diinginkan oleh kelompok informal tertentu.
Ciri dari organisasi
informal yang paling terlihat adalah dinamis. Keanggotaan atau pertemanan kecil
bisa berlangsung singkat dan bisa juga berlangsung lama. Tidak seperti
organisasi formal yang bersifat kaku, hierarki otoritas diatur secara vertikal,
mengutamakan kepatuhan. Karena itu, jika organisasi informal bisa dikelola
dengan tepat, akan meningkatkan kinerja organisasi formal. Sebagai contoh, dalam
menyampaikan program kerja – apa saja yang harus dikerjakan oleh guru,
kebijakan baru – akan lebih mudah diterima oleh anggota jika disampaikan. Jika
anggota organisasi informal terdiri dari individu-individu yang saling
membangun – bukan bergosip – maka kelompok informal tersebut justru sangat
efektif untuk memajukan organisasi.
Chester Barnard (1938)
mengemukakan fungsi organisasi informal setidak-tidaknya ada tiga, yaitu
sebagai: 1) sarana komunikasi efektif; 2) alat mengembangkan kerekatan; 3)
melindungi integritas individual. Organisasi informal memungkinkan setiap individu
mengungkapkan diri mereka secara autentik. Sementara, seseorang cenderung
menyembunyikan dirinya yang sebenarnya dalam organisasi formal dengan tujuan memberi
kesan baik di depan pengelola/pemimpin sekolah.
Organisasi formal
menekankan efisiensi, kemampuan dipredikasi, kontrol, spesifitas, disiplin,
hubungan hierarki (atasan-bawahan), dan rasionalitas. Sedangkan, organisasi
informal menekankan kemampuan beradaptasi, inovasi, spontanitas, hubungan
kolaboratif, dan emosionalitas (Katzenbach dan Kahn, 2010). Organisasi informal
bukanlah musuh yang harus dilenyapkan, justru sebaliknya, bila dikelola dengan
baik, organisasi informal bisa meningkatkan efisiensi. Namun, penting untuk
diperhatikan bahwa organisasi tetap satu dan di dalam organisasi formal selalu
tumbuh organisasi informal.
Oleh karena itu, seorang
pengelola/pemimpin pendidikan harus menjalin relasi dengan bawahan dan berinteraksi
secara informal kepada mereka, agar lebih mengenal individu/anggota
organisasinya. Sehingga ketika terjadi masalah, pengelola/pemimpin tidak lagi
berspekulasi/menduga-duga – apalagi menuduh secara salah – para anggotanya. Pemimpin
yang terlalu arogan membuat kelompok informal semakin kuat dan semakin bersikap
negatif. Dampaknya, banyak beredar informasi-informasi rahasia di kelompok
informal tanpa diketahui oleh pemimpin (formal).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar