Senin, 02 Mei 2016

Guru yang Profesional

Guru yang Profesional

Aris Primasatya Zebua, S.Pd.

Pendahuluan

Apa yang muncul di benak kita saat memperingati Hari Pendidikan Nasional? Apakah prestasi-prestasi yang diraih oleh beberapa siswa di kancah internasional? Apakah kegagalan pendidikan dalam membangun karakter bangsa? Masing-masing kita tentu berbeda-beda. Ada yang optimis ada pula yang pesimis dengan keadaan pendidikan saat ini.

Salah satu hal yang menggelisahkan saya tentang pendidikan adalah ketika saya membaca sebuah artikel berjudul “Menggugah Kesungguhan Mengajar Para Guru di Nias” yang dimuat di kabarnias.com (20/04/2016). Artikel tersebut bukan tentang prestasi di dunia pendidikan; malah sebaliknya, potret buruk pendidikan.

Beberapa masalah yang disampaikan oleh penulis, Fransiskus, seorang mahasiswa, dalam artikel tersebut antara lain: (1). Guru seringkali hanya menitip buku pelajaran di kelas lalu pergi; (2). Jam masuk siswa dan guru sangatlah berbeda. Guru selalu datang terlambat; (3). Guru sering “ngerumpi” saat proses belajar-mengajar berlangsung; (4). Siswa sering dihukum secara fisik, bukannya diberi pembinaan karakter; (5). Guru tidak menyiapkan rencana program pembelajaran; (6). Guru mengajar hanya karena uang; (7). Guru pilih kasih, hanya memperhatikan siswa yang dianggap pintar; (8). Guru merekayasa nilai akhir pada rapor siswa.
Masalah-masalah di atas sangatlah parah. Mengapa? Karena masalahnya terletak pada ujung tombak pendidikan, yaitu guru. Kalau ujung tobak bermasalah, maka tujuan pendidikan yang ingin dicapai tidak akan pernah terwujud. Oleh karena itu, saya ingin meninjau masalah ini dari sisi guru. Ada dua hal yang hendak saya sampaikan yaitu tentang profesi dan komitmen guru.

Profesi dan Komitmen
Menurut KBBI, profesi merupakan bidang pekerjaan yang dilandasi keahlian (dalam arti keterampilan atau kejuruan) tertentu. Sementara profesional berarti: 1) berkaitan dengan profesi, 2) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, 3) mengharuskan adanya pembayaran. Arti lain profesi adalah “pernyataan umum, pernyataan di depan umum berkenaan dengan kepercayaan, opini, atau tingkah laku tertentu”. Pengertian yang kedua ini memiliki makna lebih luas dari sekadar keahlian yang mendapat bayaran atau keterampilan teknis apa pun. Selanjutnya, pengertian yang lebih mendalam dari profesi mengisyaratkan bahwa orang yang memiliki keterampilan khusus tadi adalah orang yang mengucapkan janji tertentu di depan publik (masyarakat umum yang akan menerima keahlian mereka). Oleh karena itu, profesi erat kaitannya dengan janji atau komitmen yang ingin ditepati.
Lalu apa itu komitmen? Komitmen berasal dari bahasa Latin committere, cum-mittere (diutus bersama, mengerjakan sesuatu secara bersama, memercayakan sesuatu kepada orang lain). Komitmen merupakan sebuah kesetujuan untuk melakukan sesuatu untuk diri sendiri, orang lain, kelompok atau organisasi. Ini menunjukkan bahwa ada “sesuatu” ikatan yang membuat orang mau bekerja sama dengan orang/pihak lain (memercayakan diri kepada pihak lain atau dipercayakan oleh pihak lain untuk bekerja sama). Secara psikologis, soal komitmen adalah soal bagaimana seseorang mengejar tingkat nilai yang menjadi prioritas hidupnya. Tingkat nilai ini bisa diuraikan sebagai berikut: 1) komit karena uang, 2) komit karena harga diri, reputasi, nama besar, 3) komit karena nilai moral dan etika. Komitmen berhubungan dengan perilaku. Perilaku yang tampak sehari-hari bisa menunjukkan apakah seseorang berkomitmen atau tidak terhadap kelompok, organisasi, pekerjaan atau profesinya.
Berdasarkan pemahaman di atas, kita bisa melakukan penilaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang dituliskan di awal tulisan ini. Menurut saya, inti masalahnya ada dua, yaitu: 1) guru (dan kepala sekolah) tidak mememahami arti profesi secara benar, dan oleh karenanya, 2) guru tidak memiliki komitmen terhadap profesinya. Dua hal ini akan saya bahas singkat.
Pertama, guru tidak memahami arti dari profesi. Atau, memahami profesinya secara salah. Mungkin saja mereka menganggap profesi sekadar pekerjaan biasa yang bisa dilakukan secara asal-asalan. Sebagai tenaga profesional, guru dituntut untuk memiliki keahlian khusus; mampu menyusun rencana pembelajaran, mampu mengajar, mampu menguasai kelas, mampu memberi penilaian yang objektif dan adil terhadap siswa, mampu menjadi fasilitator, dlsb. Untuk mengatasi hal ini, langkah pertama adalah penyadaran. Guru harus disadarkan bahwa profesinya merupakan janji di hadapan publik yang harus ditepati melalui keahlian yang dimiliki. Guru harus diingatkan terus mengenai hal ini. Baru kemudian, mengadakan pendidikan dan pelatihan (diklat) secara berkesinambungan; dan setiap guru wajib mengikutinya. Contohnya: pelatihan penyusunan rencana pembelajaran, pelatihan penyusunan butir soal, pelatihan cara mengajar yang kreatif, pelatihan penggunaan media belajar, dll.
Kedua, guru tidak memiliki komitmen terhadap profesinya. Perilaku guru dan kepala sekolah dapat diamati melalui perilaku mereka. Perilaku yang tampak ini, seperti: membiarkan kelas tanpa guru, suka “ngerumpi” saat jam belajar, tidak menyiapkan rencana pembelajaran, sibuk mengutak-atik gadget, dll., menunjukkan rendahnya komitmen guru. Mereka lupa, atau bahkan tidak peduli, bahwa mereka punya tanggung jawab moral; mereka lupa harus menepati janji dihadapan publik;
Demikian juga dengan kepala sekolah. Cepi Triatna, dalam bukunya Perilaku Organisasi dalam Pendidikan, mengemukakan bahwa jabatan kepala sekolah lebih banyak dipengaruhi oleh nuansa politik yang tidak sehat. Para kepala sekolah disibukkan untuk melayani oknum aparat pemerintah daerah dibanding melayani guru dan peserta didik. Ini merupakan fenomena pendidikan yang ditemukan di hampir seluruh daerah di Indonesia. Dampaknya adalah perilaku buruk guru seolah-olah dibiarkan begitu saja tanpa ada pengawasan.
Beberapa Saran
Bagaimana cara mengatasi permasalahan di atas? Pertama, sosialisasikan terus bahwa jabatan guru merupakan jabatan profesional. Sosialisasi ini bisa dilakukan saat rapat guru dengan kepala sekolah, saat pengawas mengunjungi sekolah, lewat musyawarah guru mata pelajaran, dll. Kedua, mengadakan pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan bagi guru untuk meningkatkan kemampuan guru. Ketiga, buat aturan untuk mendisiplinkan guru. Misalnya, saat proses belajar mengajar dilarang bermain gadget, dilarang “ngerumpi”, dll. Beri ganjaran bagi guru yang melanggar. Keempat, berlakukan sistem sidik jari (finger print) untuk absensi guru untuk mengurangi kebiasaan terlambat dan bolos kerja. Kelima, sesuai cita-cita pemerintah kita yaitu revolusi mental, maka jabatan kepala sekolah hendaknya dipercayakan kepada guru yang benar-benar memenuhi kualifikasi;  tanpa dipengaruhi nuansa politik yang tidak sehat.

Penutup: Guru sebagai Jabatan Profesional
Guru merupakan jabatan profesional. Itu artinya guru memiliki keahlian tertentu, mendapat pengakuan dari masyarakat umum, dan mendapat bayaran karena kehliannya. Setiap guru boleh saja mengaku profesional. Kata profesional begitu elegan untuk disandang karena erat dengan kepakaran, keunggulan, dan kehormatan. Selain itu, kata profesional juga menunjukkan kualitas. Arief Rachman, pakar pendidikan Indonesia, mengemukakan enam elemen yang melekat pada seorang guru yang mengaku profesional. Pertama, value. Seorang profesional menjunjung tinggi nilai-nilai yang diyakininya. Kedua, ethic. Seorang profesional yang telah mengikat diri dalam suatu lembaga selalu siap mengikuti aturan yang berlaku dalam lembaga tersebut. Siap untuk sepakat dan setia pada aturan yang ada. Ketiga, attitude. Seorang profesional menunjukkan sikap yang menunjukkan ketika bergaul dengan sesama individu di dalam komunitasnya. Keempat, habit. Seorang profesional memiliki kebiasaan yang positif. Kelima, knowledge. Seorang profesional menguasai pengetahuan terkait tanggung jawab profesinya. Keenam, skill. Seorang profesional memiliki keterampilan yang mumpuni dalam menyelesaikan segala permasalahan yang merupakan tanggung jawabnya.
“Selamat Hari Pendidikan Nasional”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar