Guru yang Profesional
Aris Primasatya Zebua, S.Pd.
Pendahuluan
Apa yang muncul di benak kita saat memperingati Hari Pendidikan Nasional?
Apakah prestasi-prestasi yang diraih oleh beberapa siswa di kancah
internasional? Apakah kegagalan pendidikan dalam membangun karakter bangsa?
Masing-masing kita tentu berbeda-beda. Ada yang optimis ada pula yang pesimis
dengan keadaan pendidikan saat ini.
Salah satu hal yang menggelisahkan saya tentang pendidikan adalah ketika saya membaca sebuah artikel berjudul “Menggugah Kesungguhan Mengajar Para Guru di Nias” yang dimuat di kabarnias.com (20/04/2016). Artikel tersebut bukan tentang prestasi di dunia pendidikan; malah sebaliknya, potret buruk pendidikan.
Beberapa
masalah yang disampaikan oleh penulis, Fransiskus, seorang mahasiswa, dalam
artikel tersebut antara lain: (1). Guru
seringkali hanya menitip buku pelajaran di kelas lalu pergi; (2). Jam masuk siswa dan guru sangatlah
berbeda. Guru selalu datang terlambat; (3).
Guru sering “ngerumpi” saat proses belajar-mengajar berlangsung; (4). Siswa sering dihukum secara fisik,
bukannya diberi pembinaan karakter; (5).
Guru tidak menyiapkan rencana program pembelajaran; (6). Guru mengajar hanya karena uang; (7). Guru pilih kasih, hanya memperhatikan siswa yang dianggap pintar;
(8). Guru merekayasa nilai akhir pada
rapor siswa.
Masalah-masalah
di atas sangatlah parah. Mengapa? Karena masalahnya terletak pada ujung tombak
pendidikan, yaitu guru. Kalau ujung tobak bermasalah, maka tujuan pendidikan
yang ingin dicapai tidak akan pernah terwujud. Oleh karena itu, saya ingin
meninjau masalah ini dari sisi guru. Ada dua hal yang hendak saya sampaikan
yaitu tentang profesi dan komitmen guru.
Profesi dan Komitmen
Menurut
KBBI, profesi merupakan bidang pekerjaan yang dilandasi keahlian (dalam arti
keterampilan atau kejuruan) tertentu. Sementara profesional berarti: 1) berkaitan dengan profesi, 2) memerlukan kepandaian khusus untuk
menjalankannya, 3) mengharuskan
adanya pembayaran. Arti lain profesi adalah “pernyataan umum, pernyataan di
depan umum berkenaan dengan kepercayaan, opini, atau tingkah laku tertentu”.
Pengertian yang kedua ini memiliki makna lebih luas dari sekadar keahlian yang
mendapat bayaran atau keterampilan teknis apa pun. Selanjutnya, pengertian yang
lebih mendalam dari profesi mengisyaratkan bahwa orang yang memiliki
keterampilan khusus tadi adalah orang yang mengucapkan janji tertentu di depan publik
(masyarakat umum yang akan menerima keahlian mereka). Oleh karena itu, profesi
erat kaitannya dengan janji atau komitmen yang ingin ditepati.
Lalu
apa itu komitmen? Komitmen berasal dari bahasa Latin committere, cum-mittere (diutus bersama, mengerjakan sesuatu secara
bersama, memercayakan sesuatu kepada orang lain). Komitmen merupakan sebuah
kesetujuan untuk melakukan sesuatu untuk diri sendiri, orang lain, kelompok
atau organisasi. Ini menunjukkan bahwa ada “sesuatu” ikatan yang membuat orang
mau bekerja sama dengan orang/pihak lain (memercayakan diri kepada pihak lain
atau dipercayakan oleh pihak lain untuk bekerja sama). Secara psikologis, soal
komitmen adalah soal bagaimana seseorang mengejar tingkat nilai yang menjadi
prioritas hidupnya. Tingkat nilai ini bisa diuraikan sebagai berikut: 1) komit
karena uang, 2) komit karena harga diri, reputasi, nama besar, 3) komit karena
nilai moral dan etika. Komitmen berhubungan dengan perilaku. Perilaku yang
tampak sehari-hari bisa menunjukkan apakah seseorang berkomitmen atau tidak
terhadap kelompok, organisasi, pekerjaan atau profesinya.
Berdasarkan
pemahaman di atas, kita bisa melakukan penilaian terhadap masalah-masalah
pendidikan yang dituliskan di awal tulisan ini. Menurut saya, inti masalahnya
ada dua, yaitu: 1) guru (dan kepala
sekolah) tidak mememahami arti profesi secara benar, dan oleh karenanya, 2) guru tidak memiliki komitmen terhadap
profesinya. Dua hal ini akan saya bahas singkat.
Pertama,
guru tidak memahami arti dari profesi. Atau, memahami profesinya secara salah.
Mungkin saja mereka menganggap profesi sekadar pekerjaan biasa yang bisa
dilakukan secara asal-asalan. Sebagai tenaga profesional, guru dituntut untuk
memiliki keahlian khusus; mampu menyusun rencana pembelajaran, mampu mengajar,
mampu menguasai kelas, mampu memberi penilaian yang objektif dan adil terhadap
siswa, mampu menjadi fasilitator, dlsb. Untuk mengatasi hal ini, langkah
pertama adalah penyadaran. Guru harus disadarkan bahwa profesinya merupakan
janji di hadapan publik yang harus ditepati melalui keahlian yang dimiliki. Guru
harus diingatkan terus mengenai hal ini. Baru kemudian, mengadakan pendidikan
dan pelatihan (diklat) secara berkesinambungan; dan setiap guru wajib
mengikutinya. Contohnya: pelatihan penyusunan rencana pembelajaran, pelatihan
penyusunan butir soal, pelatihan cara mengajar yang kreatif, pelatihan penggunaan
media belajar, dll.
Kedua,
guru tidak memiliki komitmen terhadap profesinya. Perilaku guru dan kepala
sekolah dapat diamati melalui perilaku mereka. Perilaku yang tampak ini,
seperti: membiarkan kelas tanpa guru, suka “ngerumpi” saat jam belajar, tidak
menyiapkan rencana pembelajaran, sibuk mengutak-atik gadget, dll., menunjukkan
rendahnya komitmen guru. Mereka lupa, atau bahkan tidak peduli, bahwa mereka
punya tanggung jawab moral; mereka lupa harus menepati janji dihadapan publik;
Demikian
juga dengan kepala sekolah. Cepi Triatna, dalam bukunya Perilaku Organisasi
dalam Pendidikan, mengemukakan bahwa jabatan kepala sekolah lebih banyak
dipengaruhi oleh nuansa politik yang tidak sehat. Para kepala sekolah
disibukkan untuk melayani oknum aparat pemerintah daerah dibanding melayani
guru dan peserta didik. Ini merupakan fenomena pendidikan yang ditemukan di
hampir seluruh daerah di Indonesia. Dampaknya adalah perilaku buruk guru seolah-olah
dibiarkan begitu saja tanpa ada pengawasan.
Beberapa Saran
Bagaimana
cara mengatasi permasalahan di atas? Pertama,
sosialisasikan terus bahwa jabatan guru merupakan jabatan profesional.
Sosialisasi ini bisa dilakukan saat rapat guru dengan kepala sekolah, saat
pengawas mengunjungi sekolah, lewat musyawarah guru mata pelajaran, dll. Kedua, mengadakan pendidikan dan
pelatihan yang berkesinambungan bagi guru untuk meningkatkan kemampuan guru. Ketiga, buat aturan untuk mendisiplinkan
guru. Misalnya, saat proses belajar mengajar dilarang bermain gadget, dilarang
“ngerumpi”, dll. Beri ganjaran bagi guru yang melanggar. Keempat, berlakukan sistem sidik jari (finger print) untuk absensi
guru untuk mengurangi kebiasaan terlambat dan bolos kerja. Kelima, sesuai cita-cita pemerintah kita yaitu revolusi mental,
maka jabatan kepala sekolah hendaknya dipercayakan kepada guru yang benar-benar
memenuhi kualifikasi; tanpa dipengaruhi
nuansa politik yang tidak sehat.
Penutup: Guru sebagai
Jabatan Profesional
Guru
merupakan jabatan profesional. Itu artinya guru memiliki keahlian tertentu,
mendapat pengakuan dari masyarakat umum, dan mendapat bayaran karena
kehliannya. Setiap guru boleh saja mengaku profesional. Kata profesional begitu
elegan untuk disandang karena erat dengan kepakaran, keunggulan, dan
kehormatan. Selain itu, kata profesional juga menunjukkan kualitas. Arief
Rachman, pakar pendidikan Indonesia, mengemukakan enam elemen yang melekat pada
seorang guru yang mengaku profesional. Pertama, value. Seorang profesional menjunjung tinggi nilai-nilai yang
diyakininya. Kedua, ethic. Seorang
profesional yang telah mengikat diri dalam suatu lembaga selalu siap mengikuti
aturan yang berlaku dalam lembaga tersebut. Siap untuk sepakat dan setia pada
aturan yang ada. Ketiga, attitude.
Seorang profesional menunjukkan sikap yang menunjukkan ketika bergaul dengan
sesama individu di dalam komunitasnya. Keempat, habit. Seorang profesional memiliki kebiasaan yang positif. Kelima,
knowledge. Seorang profesional
menguasai pengetahuan terkait tanggung jawab profesinya. Keenam, skill. Seorang profesional memiliki
keterampilan yang mumpuni dalam menyelesaikan segala permasalahan yang
merupakan tanggung jawabnya.
“Selamat Hari Pendidikan Nasional”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar