Hai, Semua.
Sebelumnya
aku menulis tentang keterlibatanku jadi panitia KTA. Bagian akhir ceritaku
mengenai kakiku yang sakit. Tepatnya kaki kiri. Hingga KTA berakhir, kaki
kiriku masih sakit. Aku berjalan sambil menahan sakit.
Ibadah
penutupan KTA selesai minggu siang. Sehabis penutupan, peserta masih makan
siang. Kemudian menuju parkiran. Ada yang bawa kendaraan sendiri, ada pula yang
pulang naik bus. Ketika peserta sudah pulang, panitia masih tinggal hingga jam
4 sore untuk membereskan perlengkapan dan menyelesaikan urusan dengan pihak
kinasih. Dan masih sempat berfoto-ria di ruang makan dan lapangan parkir.
Saat itu aku
sudah sulit berjalan hingga aku tidak terlalu banyak mengerjakan persiapan
pulang. Termasuk mengangkat-angkat barang. Panitia akhirnya pulang. Aku gabung
di mobil Pangeran. Kami menuju kantor Perkantas di Pintu Air untuk
mengembalikan semua perlengkapan. Artinya, pekerjaan masih belum selesai.
Lumayan banyak perlengkapan yang dibawa. Saat itu aku hanya membawa barang yang
ringan saja.
Hari sudah
malam, jam 8 malam, aku menumpang di mobil Pangeran untuk kembali ke Serpong.
Jalanan lancar hingga waktu tempuh tidak lama. Selama di jalan kami tidak
banyak berbicara. Mungkin karena sudah lelah. Pangeran mengantarku sampai depan
gang tempat tinggalku, Gang Jati, Jelupang.
Aku masih
harus berjalan kaki ke dalam sekitar 200 meter untuk menuju kontrakanku. Kakiku
masih sakit. Sesampainya di kamarku, aku mandi dan mengeluarkan pakaian kotor
lalu memasukkannya ke tempat biasa. Besok pagi aku harus berangkat kerja. Jadi
aku meyiapkan pakaian yang akan kupakai besok.
Keesokan
hari. Senin pagi. Aku berangkat kerja. Itu hari pertamaku bekerja di Sekolah
Athalia. Aku cukup berjalan kaki menuju sekolah karena tidak terlalu jauh dari
kontrakan (sekitar 300 meter). Kaki kiriku masih sakit, namun masih bisa
berjalan dengan bertumpu pada kaki kanan. Aku langsung menuju aula gedung F
seperti yang dijelaskan sebelumnya lewat email. Aula berada di lantai 4. Itu
membuatku agak kesulitan.
Di aula aku
bertemu rekan guru baru lain, baik guru SMA sepertiku maupun guru dari unit lain.
Kami langsung akrab karena sesama guru baru. Guru-guru lama juga ramah. Mereka
menyambut kami seperti sudah lama kenal. Sehingga kami merasa diterima sebagai
anggota keluarga Athalia. Sambutan yang ramah dan hangat.
Pertemuan
hari itu dibuka dengan ibadah, dengan pujian dan renungan Firman. Lalu disusul
perkenalan guru baru setiap unit dan kata pengarahan dari para pimpinan.
Kemudian pertemuan per unit masing-masing. Itulah hari pertama.
Hari kedua
hingga seminggu berikutnya kegiatannya seputar seminar dan pelatihan secara
gabungan maupun kegiatan di unit masing-masing. Acara ini semacam pembekalan
dan sosialisasi. Serta hari jumat medical check up untuk guru lama. Aku
mengikuti acara tanpa absen. Kondisi kakiku makin parah karena naik-turun
tangga.
Masuk minggu
kedua. Di sini guru-guru sudah berada di unit masing-masing. Dan seperti
sekolah pada umumnya, ini saatnya membuat perangkat pembelajaran. Pekerjaan
rutin guru sebelum tahun pelajaran baru dimulai. Kami dibagi ke dalam kelompok
sesuai rumpun pelajaran. Aku berada di rumpun matematika bersama bu Galih, bu
Feli, dan bu Jantini alias bu Nana.
Sampai di
sini kakiku makin parah. Aku sudah ke dokter dan juga sudah ke tukang urut,
namun tidak ada perubahan. Malah kaki kananku juga kena imbas. Ikut sakit.
Hingga tanggal 4 Juli sore, sewaktu pulang sekolah, aku sudah sangat sulit
jalan. Aku pulang naik grab. Malamnya aku ke tukang urut lagi ke Cibinong. Baru
pulang pagi. Pulang-pergi naik grab.
Tanggal 5
Juli aku izin tidak masuk karena aku tidak bisa berjalan lagi. Di kontrakan aku
hanya bisa merangkak. Seharian aku hanya tiduran dan kesulitan bergerak.
Badanku juga kesemutan hingga tangan dan kakiku menjadi kejang dan kaku. Makin
waktu berjalan, kondisiku makin parah. Aku sulit jalan dan tanganku sulit
memegang benda. Aku terpaksa hubungi rekan-rekan untuk bantuan dengan susah
payah. Malam itu sebenarnya Pangeran sudah tiba di kontrakanku, tapi dia tidak
tahu di mana kamarku. Dia pulang. Sementara aku sudah tidur karena kelelahan.
Besok
paginya, tanggal 6 Juli, aku kembali menelpon Pangeran untuk menolongku ke
Puskesmas. Dia satu-satunya rekan yang dekat dan tahu arah tempatku. Dia datang
jam 8.30. Karena aku tidak bisa jalan, dia mengusahakan dengan susah payah agar
aku bisa dinaikkan ke atas motornya. Motor ditempatkan persis di depan pintu
kosku. Pangeran mengangkat badanku dari belakang dan aku sekuat tenaga menaiki
motor. Pangeran mengunci pintu dan kami pun berangkat ke Puskesmas Pondok
Jagung, Serpong.
Kondisi yang
kurasakan saat itu, sekujur tubuhku dari kaki hingga tangan bahkan wajahku
kesemutan. Jari-jari tanganku kejang, gemetar dan sulit kugerakkan. Demikian
juga dengan jari-jari kakiku. Aku pakai kursi roda dan menunggu, sedangkan
Pangeran mengurus pendaftaran.
Dokter
Puskesmas langsung merujuk ke spesialis saraf di RS Hermina Serpong. Pangeran
kembali mengurus surat rujukan di bagian pendaftaran. Jam 11.30 kami berangkat
ke RS Hermina. Aku naik grabcar. Ada seorang bapak membantu mengang
katku naik
ke atas mobil (terima kasihku untuknya). Pangeran lebih dulu tiba di RS karena
mengendarai motor. Sesampainya di sana kembali aku dinaikkan ke kursi roda dan
menunggu pendaftaran selesai.
Hari sudah
siang. Aku mendapat antrian nomor 30 dan dokter mulai praktek jam 2 siang.
Artinya, kemungkinan aku mendapat giliran jam 4 atau lebih. Pangeran membeli
makan siang. Dan kami makan siang di lobi rumah sakit. Saat itu kami juga
menunggu kedatangan adik, Kornelius, seorang saudara/kerabat, untuk
menggantikan Pangeran yang harus ke gereja karena ada pelayanan sore itu.
Namanya
Kornelius, tapi dia dipanggil Si Ade (punya kembaran yang dipanggil Si Abang),
pun tiba. Si Ade dan Pangeran kuminta untuk ke kontrakanku mengambil sedikit
keperluan seperti jaket dan baju ganti. Karena waktu berangkat tadi pagi, aku
tidak membawa apa-apa. Sementara aku menunggu antrian yang baru dipanggil jam 5
sore.
Kuceritakan
riwayat sakitku yang dimulai dari kaki yang terasa seperti kram hingga rasa
kesemutan dan jari yang gemetar dan kejang. Sang dokter pun menduga ini
penyakit GBS. Saat itu aku belum tahu apa itu GBS. Dokter langsung menyarankan
rawat inap agar bisa dikontrol secara intensif. Ia membuat catatan untuk rawat
inap. Kembali aku menunggu pengurusan rawat inap. Tapi kali ini yang urus Si
Ade. Itu pun masih menunggu hingga malam karena kamar penuh. Harus menunggu
pasien yang akan keluar.
Akhirnya
kami mendapat ruang di lantai 3 kamar
304, hampir jam 10 malam. Ranjangnya persis dekat pintu. Infus sudah terpasang
di tangan kiriku.
Hari itu aku
tidak menyangka akan dirawat inap dan tinggal di RS selama seminggu ke depan.
Sama halnya banyak rekan yang tidak percaya bahwa aku sakit dan dirawat inap.
Karena sebelumnya aku terlihat sehat dan hanya kram di kaki saja yang bisa pulih
dengan istirahat cukup.
Hari minggu,
7 Juli, aku masih juga belum bisa menggerakkan kaki. Sedangkan tanganku lemah.
Untuk duduk saja aku harus dibantu. Apalagi berdiri, tidak bisa. Baru senin
pagi aku mencoba untuk berdiri di pinggir ranjang. Dan berhasil. Aku akhirnya
bisa berdiri meskipun harus berpegangan dan belum bisa jalan. Untuk ke toilet
aku masih pakai kursi roda. Aku tidak menyukai kondisi ini dan harus segera
sembuh, pikirku. Hal yang paling tidak enak adalah air minum terasa pahit di
mulut.
Hari
berganti. Sudah berapa banyak suntikan obat-obatan masuk ke tubuhku aku tidak
ingat lagi. Tiap pagi, siang, dan malam secara teratur perawat menyuntikkan
obat.
Selama
seminggu itu bergantian teman dan sahabat datang menjenguk. Kehadiran mereka benar-benar
menguatkanku. Terlebih ketika rekan-rekan guru datang. Mereka adalah keluarga
baruku – yang kenal baru dua minggu. Entah bagaimana aku merasa sudah mengenal
mereka lama. Terima kasih untuk doa dan dukungannya.
Hari jumat
aku dinyatakan boleh pulang oleh dokter. Aku sudah bisa jalan meski belum
terlalu kuat. Paginya kukemasi barang,
Si Ade mengurus surat keluar di kasir. Dan...kami pesan grabcar. Pulang. Jam 12
kami tiba di kontrakan.
Sesampainya
di kontrakan, aku memesan makanan via grabfood. Sambil mengetik dan memilih
menu tanganku kembali kebas. Lama-kelamaan makin kuat dan akhirnya kejang.
Sampai-sampai aku meminta Si Ade yang memesan makanan. Makanan datang, aku
sempat makan walau dengan kondisi tangan gemetaran. Hingga jam 2, tangan dan
kakiku masih gemetaran, kesemutan, dan aku mulai berpikir untuk kembali ke RS.
Si Ade dan
aku mulai panik. Kondisiku makin parah. Aku kembali kesakitan, kesemutan,
gemetaran dan kejang. Kuminta Si Ade untuk memesan grabcar yang beberapa kali
di-cancel – entah mengapa. Sambil
juga menghubungi Bang Anton untuk meminjam mobil sekolah atau apalah. Entah
mana mobil yang duluan datang, yang penting berangkat ke RS. Ternyata mobil
sekolah yang duluan datang bersama Pak Edwin (rekan guru). Pak Edwin memapahku
hingga ke mobil. Kami kembali ke RS pada sore hari itu juga.
Kemudian
Bang Anton bersama Pak Reggy dan Pak Victor juga datang menyusul ke RS. Bang
Anton itu kepala sekolahku, pak Reggy dan pak Victor adalah rekan guru. Aku
panggil Bang Anton karena sudah kenal sebelumnya di pelayanan Perkantas (bukannya gak sopan sama kepsek hehehe).
Malam harinya, Pak Tri (koord. SDM) juga datang bersama istri.
Aku dibawa
ke IGD. Dan ternyata penanganannya sangat lambat. Aku ditempatkan di ruang
tindakan dan beberapa jam menunggu tindakan dari dokter. Infus kembali dipasang
dan beberapa suntikan obat diberikan. Kakiku kejang, tanganku mengepal rapat
dan aku tidak bisa mengendalikannya. Sampai seorang dokter, kuduga dokter muda,
memaksa membuka kepalan tanganku. Rasanya sangat sakit seperti seluruh lenganku
dipelintir. Aku tidak tahu apakah tindakan itu sudah tepat atau benar.
Rasa
kesemutan mulai berkurang, kakiku tidak kejang lagi, dan kepalan tanganku sudah
bisa terbuka. Tetapi, rasanya telapak tanganku mati rasa. Tiap dikepal seperti
lagi memegang gabus atau busa. Mungkin pengaruh obat pelemas otot. Singkatnya,
tubuhku lemas seluruhnya. Herannya, dokter menyuruh pulang. Padahal dengan
kondisiku yang seperti itu, butuh penanganan lebih lanjut. Rekan-rekan sudah
mengusahakan untuk rawat inap, namun tetap disuruh pulang. Kami pulang dan tiba
di kontrakanku sekitar pukul 10 malam.
Alhasil,
besoknya kondisiku tidak membaik. Pihak sekolah mengirimkan makanan untuk pagi
dan siang. Kornelius masih menemaniku. Mulai dari sabtu pagi hingga siang aku
hanya bisa terbaring di kasur dan cuma berpindah tempat saat ke toilet. Aku
memang sering buang air kecil karena banyak minum. Tidak ada perubahan
kurasakan. Hingga kupikirkan untuk ke rumah sakit lagi, tapi RS yang berbeda.
Ke RS Siloam Karawaci. Kembali kuhubungi Bang Anton untuk meminta bantuannya
lagi. Dia datang bersama Pak Reggy dan Pak Victor lagi jam 5 sore.
Kami pun berangkat
ke RS Siloam. Sesampainya di sana langsung dibawa ke ruang emergency gedung B.
Dokter dan perawat langsung menyambut dan menanyakan kondisi. Kuceritakan bahwa
aku baru saja keluar RS dengan diagnosis GBS. Ternyata RS Siloam tidak bisa
menangani penyakit tersebut dan harus dirujuk ke RSU Kab. Tangerang. Karena
jauh, teman-teman membawaku ke gedung A. Di sini lumayan mahal.
Karena aku
bukan pasien rujukan, maka mesti bayar pribadi. Kalau tidak, ya, perlu urus
rujukan dulu dari faskes tingkat I. Artinya, mesti ke puskesmas dulu. Itu perlu
menunggu hari senin. Akhirnya, keluarga dihubungi dan kami bersedia dengan
biaya pribadi. Saat di IGD, aku kaget beberapa rekan panitia KTA datang. Aku
tidak sangka mereka datang jauh-jauh dari Jakarta (terima kasih, rekans).
Kuceritakan
kondisiku yang lemah dan kesemutan serta rasa tertekan di dada yang sudah
kualami sejak semiggu sebelumnya. Dokter dan perawat langsung bertindak karena
penyakit GBS ternyata salah satu penyakit menakutkan. Mulai dari pemeriksaan
fisik, darah, hingga rekam jantung. Hasilnya, kaliumku (elektrolit tubuhku)
sangat rendah dan punya masalah di jantung. Rekam jantung sudah dilakukan dua
kali untuk memastikan.
Dokter pun
menyuruh membawaku ke ruang observasi untuk tindakan berikutnya. Terutama untuk
mengoreksi kaliumku yang rendah. Di sana aku dipasangi alat yang tidak pernah
kubayangkan akan dipasangkan di tubuhku. Alat asing yang tidak kuketahui dan
tidak ingin tahu saat itu. Infus kembali masuk. Sekarang satu di lengan kiri,
satu di lengan kanan. Hmmm.
Akhirnya,
dokter Sp.JP yang menanganiku, menyuruh membawaku ke ICU tetapi di gedung B
(karena di gedung A mahal ckckk). Kornelius, yang masih juga menemaniku bersama
Bang Anton, mengurus kepindahan ruanganku. Sementara aku masih terbaring di
tempat pesakitan. Kalau dilihat dari luar sih aku baik-baik saja. Namun, di
dalamnya aku merasa kesemutan dan dadaku seperti ditekan beban berat. Aku masih
sadar dan bisa bicara.
Di satu sisi
aku tenang karena ternyata aku tidak memiliki penyakit GBS. Itu kata dokter
spesialis saraf. GBS itu penyakit yang lumayan menakutkan karena berkaitan
dengan saraf dan sistem imun tubuh. Di sisi lain, aku khawatir karena kondisi
jantungku yang ternyata bermasalah. Jadi, ternyata diagnosis penyakitku dari
dokter di RS ini adalah hipokalemi dan nstemi.
Aku akhirnya
dirawat di ICU selama tiga hari. Mulai dari pegurusan administrasi hingga masuk
kamar baru selesai sekitar jam 2 dini hari. Sekarang pengunjung atau keluarga tidak
bebas masuk tanpa seizin perawat. Saat jam kunjungan pun hanya diperbolehkan
satu pengunjung saja.
Hari selasa
aku tidak menyangka mama datang. Mama tiba-tiba muncul di jam kunjungan. Aku
senang, kaget, sedih. Aku tidak mau mama melihatku dalam kondisi seperti ini.
Adikku yang bungsu juga datang. Hmm. Padahal aku baik-baik saja hehehe.
Malamnya dan
malam berikutnya mereka menginap di kontrakan milik salah seorang alumni, Kak
Melda - seniorku saat kuliah, tidak jauh dari RS Siloam. Tuhan sangat baik.
Ia memakai Kak Melda untuk penginapan mama dan adikku tanpa mengeluarkan biaya.
Aku tidak tahu berkat-berkat apa lagi yang kuterima meskipun aku sadar aku
tidak layak mendapatkannya.
Di ICU aku
melihat pasien yang sungguh menderita. Tubuh mereka terpasang peralatan medis
untuk menopang kehidupan. Dan kuamati bahwa akulah pasien termuda di sana.
Rata-rata pasien di ICU adalah orang tua paruh baya dan lanjut usia. Aku merasa
kesepian selama berada di ICU. Selama di ICU tidak diperbolehkan membawa gadget
atau smartpon.
Lupa entah hari
apa, sore, akhirnya aku dipindahkan ke ruang rawat inap. Aku dipindahkan ke
lantai 2 di bangsal 2G12. Aku merasakan kelegaan karena di sini lebih banyak
orang. Baik pasien maupun pengunjung. Perawatan juga tidak jauh berbeda ketika
di ICU. Perbedaannya hanyalah pada peralatan yang dipakai.
Aku
diperbolehkan pulang pada hari Jumat, 19 Juli, pagi. Saat itu aku mengurus
administrasi sendirian karena mama dan adikku belum datang. Mereka menginap di
rumah saudara di Cibodas, Tangerang. Perawat menyerahkan semua rekam medis, rincian
pembiayaan selama dirawat, obat-obatan, dan jadwal kontrol dokter. Ada tiga
dokter yang menanganiku; spesialis jantung, penyakit dalam, dan saraf.
Sebenarnya aku
masih melakukan kontrol rutin ke dokter. Kontrol pertama tanggal 22, 23, dan 24
Juli. Dari dokter saraf sih sudah
selesai. Dari dokter penyakit dalam masih butuh observasi untuk mengatasi
hipokalemi. Penyebabnya masih belum ditemukan. Dari dokter jantung menyarankan
untuk katerisasi jantung. Suatu hal yang baru kudengar dan tampaknya
mengerikan. Dia menyaranku mengurus BPJS karena biayanya mahal. Untuk urusan
BPJS dan katerisasi akan kuceritakan di lain hari (kalau ada mood nulis ya...)
|
Kunjungan rekan-rekan guru. Terima kasih perhatiannya, Bu Bellina hehehe |
|
Ki-Ka: Bu Lidia, Pak Bambang, Kak Diana (blkg), Bu Intan, Bu Bellina, Bu Atik, Bu Jantini, Bu Marta, aku, Kornelius. |
|
Mama dan anaknya :) |
|
Mama, aku, dan Pak Pramono |
Ucapan
terima kasih
Terima kasih
kepada Kornelius yang telah menemani selama aku sakit. Dari hari pertama hingga
aku masih kontrol atau rawat jalan. Aku tidak tahu bagaimana membalasnya, Kawan. Pangeran, yang malam hari datang mengunjungiku tapi aku tertidur. Kemudian
besok paginya mengantarku ke puskesmas dan RS dengan susah payah. rekan-rekan guru, Jeki dengan
membawa makanan spesial hehe, Lauren (kembaran Kornelius), Masda, Kak Lidia dan
suami, Bang Anton atas segala bantuan dan perhatiannya, Yusak, Pak Tri dan
istri. Terima kasih untuk doa dan kunjungannya selama berada di RS Hemina
Serpong.
Pak Reggy,
Pak Victor, Pak Edwin, supir sekolah (maaf aku lupa namanya),
Bu Charlotte, Kak Luce dan Bang Hubert, rekan panitia KTA, Kak Fifi yang
kehadirannya sangat menenangkanku, Kak Rosa yang ceria, Jundrei atas sharingnya
dan juga sedang berjuang melawan kanker, Kesa Laia, Pak Pram yang mewakili
rekan alumni magister pendidikan UKI angkatan 2014, suami dari/mewakili bu Join
(rekan guru yang juga sedang dirawat di Siloam), Lena dan suami, dan Kak April
(PKK-ku) yang melakukan panggilan video. Kepada Kak Melda atas kamar yang
disediakan untuk mama dan adikku. Terima kasih untuk doa dan dukungannya selama
aku dirawat di Siloam.
Terima kasih juga kepada seluruh teman dimana pun
berada yang telah memberikan doa dan dukungan semangat melalui whatsap atau
telepon. Terima kasih juga atas dukungan dana. Terima kasih juga kepada "seseorang" yang telah mengirim pesan dan tanpa menyadari bahwa pesannya sangat berarti bagiku (yang terakhir ini cuma khayalan belaka hahaha).
Kiranya Tuhan yang murah hati melimpahkan berkatnya kepada teman-teman semua. Bersambung... (klik di sini)