Apakah kau
punya mimpi? Aku punya. Bagaimana jika mimpimu terbang ke negeri jauh yang tak
mungkin kau capai? Kau akan mengejarnya? Jika kau cukup kuat, kejarlah. Tapi
aku tidak. Bagaimana aku bisa mengejarnya, aku sedang dalam kondisi yang tidak
baik. Aku akan cerita sedikit di sini. Cerita ini adalah kelanjutan postingan
sebelumnya. Selamat membaca!
Terpuruk
lagi. Itulah yang kualami. Akhir bulan Januari lalu aku mendapat undangan
wawancara kerja. Bagi orang yang lama menganggur undangan itu bagai udara sejuk
yang bertiup di tengah kekeringan. Cerita tentang 'tanpa pekerjaanku' pernah
kutuliskan sebelumnya. Sebuah kisah di masa-masa sulit dan sebuah refleksi.
Aku mendapat
pekerjaan yang sesuai dengan panggilan hatiku yaitu mengajar seperti
sebelumnya. Pekerjaan baru ini membuatku pindah tempat tinggal. Meskipun berat
namun harus dihadapi. Berbagai rencana telah kususun untuk dikerjakan dan
cita-cita yang kuharap bisa kuraih di masa depan.
Tapi...
Baru saja
aku mulai bekerja aku malah jatuh sakit. Dua minggu dirawat di rumah sakit
menjadi pengalaman yang berarti buatku. Tidak hanya itu, aku pun memutuskan
untuk berhenti bekerja karena kondisi tubuhku yang mudah lelah dan masih dalam
pemulihan.
Tahun lalu
keterpurukanku mungkin disebabkan olehku sendiri, karena salah mengambil
keputusan, namun tahun ini karena penyakit yang kualami.
Tidak ada
manusia yang merencanakan untuk sakit. Tidak ada yang ingin sakit. Selama aku
berada di Cibinong, kurang lebih delapan tahun, aku tidak pernah sakit separah
ini. Aku pun tidak pernah berpikir mempersiapkan diri untuk menghadapi penyakit
yang membuatku masuk rumah sakit. Aku makan teratur, istirahat cukup, dan cukup
rajin berolahraga. Oh ya, aku tidak terlalu suka rumah sakit.
Saat
mengalami keterpurukan langit terasa sempit meskipun tiada awan menutupi. Aku
ingin sekali keluar dan menikmati langit yang begitu luas. Sekarang bukanlah
saatnya! Langit di atasku masih muram dan sempit.
Tepat saat
memperingati hari kemerdekaan Indonesia, aku pulang kampung untuk menenangkan
diri. Aku mundur dari pekerjaan agar aku fokus pada pemulihan tubuhku
(sebenarnya sejak Juli, awal tahun pelajaran, aku hanya masuk kerja 4 hari).
Lagipula aku masih melakukan kontrol ke dokter. Dokter menyarankan kateterisasi
jantung untuk menegakkan diagnosis. Meskipun ini tergolong operasi kecil aku
harus mempersiapkan diri dan tenang menghadapinya.
Aku naik
pesawat ke kampung. Penerbangan langsung dari Soekarno-Hatta menuju Binaka
Gunungsitoli. Durasi penerbangan dua jam tiga puluh menit dengan pesawat
Garuda, pesawat yang terkenal dengan ketepatan waktu, dan aku telah merasakannya
sendiri. Jadwal boarding hingga landing di Bandara Binaka semuanya
sesuai dengan yang tertera di tiket. Hanya saja naik pesawat ini cukup memacu adrenalin
karena mudah terguncang ketika berada di udara karena termasuk pesawat
berukuran sedang.
Di kampung
aku tinggal selama 13 hari sebelum melakukan kontrol berikutnya.
Tanggal 29
Agustus aku kembali ke Jakarta. Kembali menumpang pesawat Garuda dengan jadwal
keberangkatan pukul 12.30 WIB. Saat di udara cuaca tidak begitu baik. Beberapa
kali terdengar peringatan untuk tetap duduk dan memasang seat belt. Kuingat ada sekali guncangan kecil, pesawat terasa
terhempas ke bawah seakan terjatuh. Memang tidak lama, tapi cukup membuat
sebagian penumpang berteriak dan berdoa. Saat paling melegakan adalah ketika kaki pesawat sudah menyentuh landasan
bandara.
Setiba di
bandara aku sempat kebingungan mencari stasiun grabcar. Petugas yang kutanyai
memberi arah yang salah. Memaksaku berjalan cukup jauh. Melelahkan.
Aku langsung
menuju rumah sakit untuk pengecekan darah di lab. Namun, aku tiba di rumah
sakit menjelang malam karena sempat menghadapi kemacetan di jalan. Petugas
rumah sakit menyarankan agar kembali lagi keesokan hari.
Malam itu
aku tidak balik ke kontrakanku di Serpong, tapi aku menuju kontrakan saudara
yang ada di Cibodas, Tangerang. Cukup dekat dari rumah sakit ketimbang aku
kembali ke Serpong malam itu. Besoknya aku ke Serpong. Tidak jadi ke rumah
sakit lagi.
Seminggu
kemudian aku konsultasi ke dokter penyakit dalam. Sambil menunjukkan hasil
laboratorium. Kata dokter kondisi hipokalemiaku telah pulih. Dokter memberikan
beberapa saran agar kalium tubuhku tidak kembali turun. Karena, katanya, ada
kecenderungan bisa turun. Beliau juga setuju untuk tindakan kateterisasi dan
berharap agar berjalan lancar.
Minggu
depan, aku kembali ke rumah sakit untuk konsultasi ke dokter jantung. Beliau
menanyakan keluhan yang kurasakan. Aku memberitahu bahwa keluhannya masih sama
seperti sebelum-sebelumnya. Dokter langsung menjadwalkan kateterisasi pada
tanggal 17 september. Lalu aku mengurus beberapa hal di bagian pendaftaran.
Siang
tanggal 16 september aku mendaftar rawat inap. Aku pikir masuk kamarnya malam.
Ternyata jam 15.00 WIB aku masuk kamar di lantai 5, 5D06. Saat itu aku tidak
membawa pakaian ganti dan alat mandi. Lalu aku minta izin ke perawat dan
dokter. Aku diizinkan pulang dan kembali ke rumah sakit jam 18.30 WIB dengan
membawa surat izin mirip anak sekolah. Memang begitu prosedurnya.
Di kamar
rumah sakit aku sendirian. Sangat nyaman karena kamar kelas 1. Dua kali perawat
memeriksa tekanan darahku. Normal tentu saja. Aku cukup tenang menghadapi
kateterisasi. Walaupun dokter sudah menjelaskan risiko yang dihadapi. Malam itu
aku tidur cukup nyenyak. Satu-satunya yang membuatku tidak nyaman adalah
kebiasaanku buang air kecil yang cukup sering.
Jam 5 pagi
aku sudah bangun. Seorang perawat datang dan mengukur tensi. Kemudian aku
mandi. Jadwal kateterisasi pukul 7.30 WIB. Aku memakai pakaian untuk kamar
bedah. Sesuai jadwal perawat mengantarku ke ruang kateter di gedung sebelah.
Kami turun ke lantai dua, melewati lorong menuju gedung sebelah. Aku ke sana
dengan kursi roda, padahal sebenarnya aku bisa jalan. Tapi perawat tidak
mengizinkan.
Dan tibalah
di tempat kateterisasi. Di sana sudah ada dokter dan perawat khusus ruang
kateterisasi. Ruangannya cukup besar dan bersih. Banyak peralatan yang tidak
kuketahui. Kelihatannya canggih semua. Di tengah ruang ada tempat tidur untuk
bedah. Aku berbaring di sana. Dan...proses katerterisasi pun berjalan.
Kateterisasi
jantung tidak lama. Hanya beberapa menit. Persiapannya saja yang lama. Bagaimana
rasanya? Hmm... Aku coba cerita sedikit meskipun rasa sakit itu susah
dijelaskan selain mengalaminya langsung (semoga pembaca sehat ya dan tidak
mengalaminya).
Kateterisasi
adalah tindakan medis dengan cara memasukkan selang kecil yang elastis ke dalam
pembuluh darah besar. Mirip pemasangan infus. Rasanya sakit ketika jarum
disuntikkan ke lengan bawah (dekat pergelangan tangan). Dokter memberikan
aba-aba tiap tahapan. Setiap aba-aba itu artinya akan terasa sakit. Awalnya
sangat sakit. Kemudian jantung terasa berdebar-debar selama proses.
Saat itu aku
bernafas teratur saja sambil sesekali melihat ke monitor. Di atasku tergantung
alat semacam scan yang berlengan seperti robot yang bisa diarahkan ke mana
saja. Di sebelah scan itu tergantung juga layar monitor yang terdiri dari empat
layar. Memunculkan grafik-grafik dan gambar jantung secara tiga dimensi. Di
situ aku bisa melihat detak jantungku sendiri dan pembuluh-pembuluhnya.
Rasanya lega
ketika dokter mengatakan sudah selesai dan tidak ada penyempitan. Perawat
kemudian melepaskan alat-alat secara perlahan. Untuk melepas alat ternyata agak
sakit juga. Kateterisasi dilakukan lewat tangan kananku.
Di
pergelangan tanganku dipasang gelang khusus berupa balon untuk menutup bekas
pemasangan kateter agar darah tidak keluar. Perawat menjelaskan bahwa aku tidak
boleh menggerakkan pergelangan selama minimal 5 jam sampai perawat melepas
gelang balonnya. Kemudian aku dibawa ke ruang sebelah. Di sana ada dokter
menunggu. Dia menjelaskan hasil pemeriksaan jantungku; tidak ada penyempitan
namun ada gangguan dengan aliran darah di pembuluh. Selanjutnya, aku harus
kembali melakukan konsulitasi/kontrol ke dokter.
Aku kembali
ke kamarku di lantai 5 tepat jam 9.00 WIB. Di sana aku istirahat sambil
menonton. Harus sabar menunggu hingga gelang balon perlahan dilepas pada pukul
12.30 siang. Saat itu aku menelfon mama dan kakak untuk memberitahukan kondisi;
kateterisasi sudah selesai dan berjalan lancar, aku baik-baik saja.
Jam 12.30
WIB setelah makan siang, perawat datang memeriksa tanganku. Dia mengeluarkan sedikit
udara dari gelang balon. Ternyata masih terjadi pendarahan. Dia kembali
meniupkan udara ke balon memakai suntik agar gelangnya kembali mengencang. Satu
jam kemudian perawat datang lagi melonggarkan gelang. Sedikit demi sedikit,
dalam hitungan jam, gelang balon pun dilepas, diganti dengan plester. Kalau
tidak salah sekitar jam 3 atau 4 sore.
Masih
terjadi pendarahan meskipun tidak begitu besar. Sehingga dokter menyarankan
untuk tidak pulang dan menginap satu malam lagi. Baiklah... ini malam keduaku
di kamar 5D06. Tidak masalah karena kamarnya nyaman, meskipun demikian tetap
saja namanya kamar rumah sakit. Aku sebenarnya tidak mau berlama-lama di sana.
Tanggal 18
September aku kembali ke kontrakanku setelah mengurus beberapa hal di bagian
rawat inap dan jadwal kontrol berikutnya. Kemudian aku pulang dengan ojek
online menuju kontrakanku.
Seperti yang
kuceritakan di awal bahwa selama delapan tahun di Cibinong aku tidak pernah
sakit separah saat ini. Karenanya, ketika dirawat di rumah sakit, aku sempat
menganggap sebenarnya aku baik-baik saja. Namun, seorang perawat pernah
mengatakan padaku ketika di ICU, begini: kita boleh saja optimis, tapi kita
harus jujur. Sebelumnya aku berkata pada perawat tersebut bahwa sebenarnya aku
tidak terlalu sakit, aku bisa jalan, bisa bekerja seperti biasa. Setelah kurenungkan,
perkataannya benar. Aku sedang tidak jujur dengan diri sendiri dan menolak
kondisi yang kualami. Aku merasa diri kuat.
Aku belajar
satu hal dari sini yaitu kita bukanlah pengamat yang baik terhadap diri
sendiri. Pengamatan kita terhadap diri sendiri selalu dibiaskan oleh keinginan
untuk terlihat hebat, kuat, pintar, bijak, dan sebagainya. Bisa dibilang kita
selalu menganggap diri istimewa. Kesadaran ini muncul dalam diriku ketika aku dirawat
di RS Hermina Sepong (awal Juli). Aku pernah membaca sebuah kalimat, kira-kira
bunyinya seperti ini: tidak ada laki-laki yang benar-benar kuat. Dan kutambahkan
begini: Dan akulah yang terlemah.
Ini mengingatkanku
pada Firman Tuhan: Akulah pokok anggur
dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di
dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat
apa-apa. Ini adalah kutipan perkataan Yesus di dalam Yohanes 15:5. Manusia tidak
dapat berbuat apa pun di luar Yesus. Hanya di dalam Yesus kita baru istimewa,
meskipun secara fisik kita lemah.
Pelajaran lain
yang kudapatkan selama ini adalah kurasakan diriku menjadi berbeda setelah
dirawat di rumah sakit. Mungkin hal ini dialami oleh semua orang yang pernah
dirawat di rumah sakit. Terlebih bagi mereka yang melewati masa-masa kritis. Awalnya aku merasa bahwa aku tidak memiliki harapan. Tepatnya harapan hidup. Sebab tubuhku
telah dijejali berbagai obat-obatan. Aku menjadi susah menceritakan penyakitku
(sesuai diagnosis dokter) kepada orang lain.
Aku khawatir
akan terus mengonsumsi obat sebagai “penopang” hidup. Aku khawatir hidupku akan
tidak menyenangkan karena banyak hal menjadi pantangan untuk dimakan dan
diminum. Takut mati muda! Memikirkan semua ini membuatku makin tidak
bersemangat.
Namun secara
perlahan, lewat saat teduh dan penguatan dari keluarga dan teman-teman aku
mulai bangkit lagi. Ditambah lagi doa dan bimbingan rohani dari bagian
kerohanian rumah sakit. Setelah kateterisasi aku didatangi oleh seorang
konselor. Kemudian datang lagi dua orang hamba Tuhan. Kami membaca kitab Mazmur
139. Kekuatanku dipulihkan secara perlahan setelah membaca pasal ini. Aku mengucap
syukur pada Tuhan.
Intinya adalah
tetap pegang Firman Tuhan. Baca dan renungkan. Merenungkan Firman Tuhan membawa
kepada kelegaan. Selain itu, merenungkan pemeliharaan Tuhan. Aku bisa melewati
masa-masa sulit karena Tuhan memelihara aku. Wujud dari kekuatan Firman Tuhan
ada pada pemeliharaan-Nya atas hidup kita. Ke depan pun aku seharusnya tidak
perlu khawatir atau takut.
Setelah
melakukan kateterisasi, kegiatanku sejauh ini hanyalah beristirahat. Penyakitku
masih ada dan aku belum dinyatakan sembuh. Aku masih perlu melakukan kontrol ke
dokter. Pergumulan baru pun muncul. Setelah ini aku harus ngapain? Jujur, aku masih bingung. Kalau kondisiku sudah lebih kuat
dan dokter bilang sudah agak pulih, mungkin aku akan mencari pekerjaan baru. Atau
akan pulang kampung dan menjadi berkat di sana. Aku siap ke mana Tuhan
memimpinku. Semoga aku segera mendapatkan konfirmasi secara jelas melalui doa
dan baca Alkitab.
Sebagai penutup.
Waktu aku akan dikateter tekanan darahku normal. Padahal sebelumnya tensiku
lebih sering di atas normal. Setelah kuingat lagi, selain doa dan Firman, aku
mendapatkan pesan dari seseorang yang berbunyi: Semangat bang. Dalam nama Tuhan
Yesus. Pesan ini singkat tapi kuat. Sangat kuat hingga membuatku tenang.
Dokpri: Beginilah penampakan setelah kateterisasi. Gelangnya terpasang sangat kencang untuk menutup luka. Di tengah ada udara. Untuk melonggarkannya, udara dikeluarkan pakai suntik. Itu tangan sudah pegal sebenarnya hehehe.
Bagi yang mau baca: di rumah sakit (1)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar