Tadi aku ke Gramedia
SMS, summarecon mall serpong, untuk beli buku Emil Zola. Buku itu sdh lama
kuincar dan baru sekarang mampu beli. Ini pertama kali aku ke SMS. Suasananya
sangat beda dengan cibinong city mall (CCM) yang dulu biasa kukunjungi,
seringnya ke toko bukunya. Di SMS, pengunjungnya rata-rata berkulit putih
bermata sipit dan/atau masyarakat lain kelas atas. Juga pengunjung gramedianya.
Serpong memang
terkenal sebagai wilayah elite. Tapi... tapi... ternyata warga biasa dan warga
miskin juga eksis. Hanya saja mereka tersingkirkan dan terjepit di antara
perumahan elite. Seolah-olah wilayah ini bukan untuk mereka. Tidak pantas untuk
mereka. Bahkan tempat umum seperti mall pun didesain bukan untuk mereka.
Sehingga hanya kalangan tertentu saja yang menikmati. Kecuali driver grab yang
terlihat hilir-mudik dengan wajah khas pribumi dengan pesanan grabfood di
tangan hehehe
Btw, aku bukan
kalangan elite. Hanya warga biasa yang hobi baca buku. Masuk SMS pun rasanya
aku tidak layak hahaha. Bodo amat. Yang penting dapat bukunya hahaha (8-9-2019)
Cerita di atas adalah sebuah catatan kecil tentang salah
satu pengalamanku saat membeli buku. Biasanya aku mencatat hal-hal tertentu
dalam smartfonku. Mirip catatan harian. Sesuai dengan tanggal yang tertera, itu
terjadi bulan September 2019. Dua bulan sebelum aku akhirnya memutuskan pulang
kampung.
Sekarang aku di kampung. Desa tercinta. Suasananya berbeda. Bahkan
tidak ada toko buku semacam gramedia di sini. Untungnya, hal itu bukan sebuah
masalah. Teknologi telah membuka akses seluas-luasnya termasuk belanja buku. Bedanya,
kita tidak bisa menikmati suasana dan aroma toko buku dengan alunan musik pelan
yang membuat kita betah berlama-lama di sana. Dengan aplikasi, yang cukup
dilakukan di kamar sendiri, kita bisa mencari hal yang kita butuhkan atau
inginkan melalui smartfon. Kemudian melakukan pemesanan dan pembayaran dengan
mudah secara daring. Dan…tunggulah sampai barang itu sampai di tangan anda.
Sejenak aku membayangkan ketika aku berkunjung ke SMS atau
CCM, lalu membandingkan dengan keberadaanku saat ini. Sungguh jauh.
Di sini aku biasa berjalan kaki dari rumah menuju kebun. Jalan
raya di depan rumah memang dipenuhi kendaraan lalu-lalang, namun selalu ada
waktu jalan tersebut terlihat lengang yang membuat kita dengan mudah
menyeberang jalan. Lagipula jalannya tidak begitu lebar. Hanya dua jalur. Ini sungguh
berbeda dengan kota besar.
Tentang perbedaan kota dan desa aku punya catatan tersendiri
dan akan kutampilkan langsung di bawah ini. Catatan ini kutulis pada tanggal 01
Februari 2020 dengan judul ‘Kota dan desa’. Silakan didengarkan ya (eh dibaca).
Kota dan desa
sama-sama merupakan ruang dan waktu dimana manusia berada atau berkumpul.
Namun, keduanya terbentuk secara berbeda. Sehingga orang memandang keduanya pun
berbeda.
Aku punya pengalaman
tinggal di kota maupun di desa. Hingga lulus SMA aku tinggal di desa. Kemudian
merantau ke kota untuk kuliah dan meneruskan hidup.
Lima tahun aku tinggal
di Cawang, Jakarta Timur. Selama itu aku melihat perubahan yang cepat di
ibukota. Salah satunya adalah transportasi bus Patas ke bus transjakarta dengan
jalur dan halte khusus. Contoh lain adalah keberadaan mall yang bertambah.
Dua tahun aku
bolak-balik Cawang-Cibinong karena alasan pekerjaan. Selama perjalanan
pulang-pergi kerja, kulihat segala sesuatunya berubah cepat.
Enam tahun aku tinggal
di Cibinong. Pada akhirnya aku pindah ke Cibinong karena alasan lokasi kerja
dan kelelahan bolak-balik Cawang-Cibinong.
Di Cibinong banyak
yang berubah sejak aku datang hingga akhirnya aku pindah nantinya. Dulu ada Carrefour di perempatan pasar Cibinong
yang kemudian tutup karena kalah saing dengan mall besar yang baru dibangun.
Mall itu adalah Cibinong City Mall (CCM).
Waktu pindah ke
Cibinong, CCM belum ada. Keberadaan CCM kemudian melumpuhkan pusat perbelanjaan
lain semisal Carrefour, Cibinong Square, Robinson, ITC, dan Ramayana.
Setidaknya itu yang kuamati.
Itu hanya secuil
perubahan yang bisa kutuliskan di sini.
Terakhir, lima bulan
aku tinggal di Serpong. Jangan salah, dengan waktu sesingkat itu pun kulihat
banyak perubahan terjadi.
Sekarang aku kembali
ke desa setelah kurang-lebih empat belas tahun merantau. Apa yang kulihat?
Perubahan sangat sedikit. Paling mudah diamati adalah seputar penambahan jumlah
penduduk atau pendatang baru. Dan, pembukaan hutan untuk pembangunan jalan
alternatif. Itu pun hanya jalan kecil dengan dua lajur.
Soal kehidupan warga,
menurutku, tidak jauh berbeda dengan saat kutinggalkan dulu. Pekerjaan
sehari-hari tetap sama dengan penghasilan pas-pasan. Bahkan ada yang
berkekurangan. Sama seperti dulu!
Ketimpangan sangat
nyata antara kota dan desa. Aku belajar satu hal: sesulit-sulitnya hidup di
kota, kita masih menikmati fasilitas umum, transportasi murah, tempat rekreasi,
atau pusat perbelanjaan. Meskipun sekadar jalan-jalan.
Di desa, apa yang bisa
kau nikmati? Udara sejuk dan pemandangan indah? Belum tentu ada, belum tentu
seindah yang dibayangkan. Yang ada adalah kau melihat setiap hari orang
berjerih lelah untuk kebutuhan sehari-hari yang belum tentu terpenuhi.
Bagaimana dengan
lowongan kerja? Di desa, tidak seperti di kota, tidak banyak pilihan pekerjaan.
Pekerjaan yang diidam-idamkan semua orang adalah jadi PNS/ASN. Bertani atau
berkebun? Belum tentu menjanjikan sebab masih banyak menggunakan cara-cara
tradisional (ini membuat banyak orang memilih hidup di kota). Teknologi
pertanian belum dikembangkan secara optimal.
Sekarang aku merasa
asing di desa. Ingin mengembangkan sesuatu jadi terasa sulit. Segala sesuatunya
harus dimulai dari nol dengan dukungan minimal. Dukungan yang dimaksud,
semisal: transportasi, listrik, akses internet, komunitas yang sevisi, dll.
Listrik sering padam, internet kurang lancar, transportasi umum mahal, orang
yang sevisi sulit didapat. Tingkat pendidikan atau pengetahuan masyarakat
rata-rata masih rendah, masih percaya takhayul, malas-malasan di warung, dlsb.
Begitulah. Di sini listrik sering padam. Dalam tempo
seminggu selalu ada pemadaman. Kadang seharian penuh; dari pagi sampai sore. Memang situasi di sini tidak bisa dibilang
sangat tradisional karena setiap rumah teraliri listrik, warga memiliki
kendaraan motor sendiri, punya smarfon juga, bahkan gaya hidup beberapa warga lebih
mirip orang kota ketimbang orang desa (atau berusaha meniru gaya hidup orang
kota). Tetapi aku bisa mengatakan bahwa situasi di sini adalah situasi ‘pertengahan’.
Masalahnya adalah di sini terdapat semacam ‘lompatan gaya
hidup’. Dari yang sangat tradisional langsung ke yang modern. Bukan berarti
warga di desa tidak boleh meniru kehidupan kota atau tidak layak. Bukan. Tetapi
kehidupan kota didukung oleh berbagai infrastruktur, lapangan kerja, akses dan
fasilitas. Sedangkan di desa, dengan segala keterbatasannya, rasanya sulit. Untuk
memenuhi kebutuhan makan-minum sehari-hari saja sangat sulit, apalagi ditambah
kebutuhan pulsa dan kuota internet yang tergolong mahal.
Kalau dipikirkan dari sisi lain, mungkin saja ini terjadi
karena selama ini pembangunan bangsa ini hanya terpusatkan di kota-kota besar
saja. Sehingga kehidupan kota menjadi standar hidup layak bagi semua orang. Pembangunan
dari desa pun yang merupakan salah satu program pemerintah saat ini terlihat
tidak memberikan perubahan yang signifikan. Ini tugas pemerintah untuk mengoreksi
dan memperbaiki program kerjanya.
Aku sebenarnya mengharapkan sebuah kondisi dimana warga di
desa bisa menikmati ‘kemudahan’ seperti yang dinikmati oleh warga di kota
besar. Seperti fasilitas umum yang memadai, klinik atau pusat kesehatan yang
siap melayani masyarakat secara merata, pasar tradisional yang bersih dan
nyaman, transportasi umum yang cukup, fasilitas listrik dan jaringan internet
yang lancar.
Ah…keinginanku terlalu banyak. Aku sudahi dulu sampai di
sini. Tiba-tiba aku merasakan suatu kesadaran mendatangiku. Tiba-tiba aku
merasakan aku ‘berada’ di sini; di sebuah desa kecil. Mungkin ini yang disebut
kesadaran eksistensial? Entahlah.
(Aku barusan menulis apa ya?!)
|
sumber foto: mybektiblog.wordpress.com |