Aku bersyukur pernah mengenalmu. Aku tak
pernah menyesali kebersamaan kita. Setelah mengenalmu duniaku berubah. Awalnya,
itulah yang kutakutkan bila aku jatuh cinta, duniaku berubah. Hal-hal penting
bagiku menjadi tidak penting setelah ada kamu di hidupku. Aku mencintaimu, kau
tahu itu.
Masih ingatkah kau hari kita janjian bertemu?
Kita janjian di sebuah tempat yang kau pilihkan. Sebuah warung makan di pinggir
jalan yang hanya buka malam hari. Aku yang duluan datang. Tidak lama kau juga
datang. Kau yang memesan makanan karena aku tidak ahli dalam memilih menu yang
memanjakan lidah. Aku adalah pemakan segalanya, kataku padamu, dan kau tertawa
mendengarnya. Memang aku tak pernah pilih-pilih makanan. Asal terhidang
langsung santap.
Malam itu, sementara pelayan menyiapkan
makanan pesanan kita, kita bercerita. Aku tidak pandai dalam memulai
percakapan. Untung ada kamu. Kamu memang sangat pandai mencairkan suasana.
Tingkahmu yang lincah dan banyak bicara sangat berbeda denganku yang biasanya
tenang dan tidak banyak bicara. Itulah yang kusukai darimu. Selain karena kau
memang cantik. Duniaku begitu datar, duniamu ramai bagai pasar. Sebelumnya, aku
selalu memperhatikanmu dari kejauhan, di mana ada kamu di situ suasananya pasti
berisik. Kau mampu menciptakan suasana ramai.
Aku mendengarkan kau bercerita tentang
perkuliahanmu. Kau selalu dipilih oleh teman-temanmu menjadi ketua kelompok
bila ada tugas kelompok dari dosen. Sering mereka membuatmu kesal karena hanya
beberapa temanmu saja yang serius mengerjakan tugas padahal itu tugas kelompok.
Malah kau sering mengerjakan sendirian. Apalagi jika itu susah. Aku semakin
tertarik dengan kepribadianmu. Pintar, punya banyak teman, ketua kelompok lagi.
Aku tidak pernah jadi ketua kelompok saat kuliah. Aku dengarkan saja ceritamu.
Aku tidak punya bahan untuk bercerita. Kuperhatikan baik-baik wajahmu. Semakin
lama kuperhatikan, semakin aku menyadari betapa cantiknya wajahmu. Lebih cantik
sewaktu pertama kulihat. Aku terkesima. Hingga aku kaget saat kau lambaikan tangan
di depan wajahku. Tidak...aku tidak memikirkan yang aneh-aneh, kataku, dan kita
tertawa. Pelayan datang menghidangkan makanan. Selamat menikmati, katamu ceria.
***
Tiga tahun sudah berlalu sejak kami tidak lagi
bertemu, tidak lagi berbalas pesan. Aku melewati jalan yang pernah kami lalui.
Sendirian. Saat melintasi warung makan itu, saat itu sedang tutup karena hari
masih siang, sekelebat kenangan muncul dalam kepalaku. Dari kejauhan aku
seolah-olah bisa melihat bayangan kami berdua sedang duduk bertatapan di meja
itu. Waktu melambat. Sebuah bayangan nyata. Tahun-tahun berlalu seharusnya
banyak yang berubah, namun ada juga yang memang tetap. Seperti meja yang pernah
kami tempati. Seperti perasaanku saat ini.
Dia berubah, karena itu dia pergi.
Menghilang. Aku tak bisa menghubunginya. Dia ganti no.hp. Kutanyakan kabar
melalui teman-temannya, hasilnya nihil. Dunia seperti kekurangan udara, dadaku
sesak saat itu. Pelan-pelan aku belajar melupakannya.
Suatu siang di ruang kerja, aku sedang
istirahat. Handphone-ku berdering. Sebuah notifikasi, followerku bertambah. Dia. Namanya. Aku kaget bagaimana dia bisa
menemukan akun twitterku, yang alamatnya tidak sesuai dengan nama depanku. Apa
selama ini dia berusaha menghubungiku? Mungkin saja, tapi aku tidak yakin.
***
Hai bang..
:) apa kabar?
Sebuah pesan darimu di kotak direct messageku. Bunyi pesanmu tidak
asing bagiku, seperti tiga tahun lalu.
Kau ke mana saja selama ini, bisikku dalam hati. Tidak langsung kubalas,
aku sedang bekerja saat itu.
...
Hai..
Kabarku baik. Dirimu?
Baik
juga.hehe Bang minta no.hp dong.
Boleh.
Nomorku tidak ganti. 081xxx.
Demikian kita saling membalas pesan via
twitter. Singkat.
Beberapa hari kemudian, kau mengirimku pesan
lewat sms. Bunyinya masih sama. Saling menanyakan kabar. Aku lupa kapan
terakhir kita sms-an, bunyi smsku ke sekian. Bulan februari tahun 2010,
balasmu. Tiga tahun lalu. Kutanyakan kabarmu, ternyata sedang tidak baik.
Masalah hati. Tapi, aku tak menanyakan lebih lanjut. Cukup kuberikan semangat
lewat sms saja. Kupikir kau pasti bisa melewati masa-masa sulit selepas pisah
dengan kekasihmu. Sekarang, ruang dan waktu tak mengizinkanku untuk bertemu
kamu. Kita sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku hanya ingin
berterimakasih padamu telah menghubungiku kembali. Dan terimakasih untuk rasa
yang pernah kau tumbuhkan di hatiku. Aku belajar menumbuhkannya sendiri
sekarang sambil menunggu tanah yang
tepat untuk kutanam.
Saat menuliskan ini aku mengingatmu.