Apa
yang menjadi topik-topik pembahasan mengenai pendidikan kita akhir-akhir ini?
Kira-kira seputar kualitas guru, prestasi akademis, standar kinerja guru, karya
ilmiah guru, minat baca siswa, budi pekerti, kurikulum, penyebaran guru, dll.
Pembahasan utama adalah mengenai guru.
Ada
apa dengan para guru kita? Beberapa kondisi yang sering kita dengar – rendahnya
kualitas, rendahnya minat guru menulis karya ilmiah, sertifikasi guru yang
tidak memengaruhi kinerja dan penyebaran guru. Selain guru, ada juga pembahasan
mengenai penumbuhan budi pekerti pada siswa.
Kinerja Guru
Sulit
sekali menilai kinerja guru karena hasilnya baru akan terlihat ketika
murid-muridnya telah sukses beberapa tahun kemudian. Itupun sulit dilakukan. Adalah
suatu pemikiran sempit pula jika kinerja guru dinilai hanya berdasarkan nilai
prestasi siswa. Mungkin cara mudahnya adalah dengan melihat kepuasan siswa dan
orang tua terhadap kinerja guru. Kalau siswa dan orang tua merasa puas, berarti
guru tersebut memiliki kinerja yang baik. Tapi itu tidak cukup. Masih banyak
lagi aspek yang perlu dinilai – misalnya profesionalisme guru, kedisiplinan,
kemampuan melakukan evaluasi, atau kemampuan guru menerapkan rencana-rencana
pengajaran, dll. Singkatnya, tidak ada cara terbaik untuk mengukur kinerja
guru.
Rendahnya Minat Guru Menulis Karya
Ilmiah
Mengenai
rendahnya minat guru menulis karya ilmiah merupakan masalah serius. Rendahnya
minat menulis menunjukkan rendahnya minat baca. Sebab, seseorang mampu menulis
karena banyak membaca. Bayangkan seorang guru malas membaca, bagaimana ia
menjadi teladan bagi murid-muridnya? Untuk menumbuhkan minat siswa dalam
menulis karya ilmiah, dibutuhkan guru yang berminat dan mampu menulis.
Seharusnya guru diberikan program wajib baca. Bagi sekolah yang belum memiliki
perpustakaan harus segera menyediakannya.
Perhatikan
kegiatan guru sehari-hari – datang ke sekolah, melakukan rapat, membuat program
kerja, mengajar, mengadakan ujian, melakukan evaluasi. Mungkin paling banyak
menghabiskan waktu adalah pada saat mengajar. Kapan seorang guru memberikan
waktu untuk membaca? Tidak harus saat di sekolah saja, bisa juga di rumah
sepulang dari sekolah. Aku menduga, guru-guru kita terlalu banyak alasan untuk
tidak membaca – misalnya tidak ada waktu, pekerjaan di sekolah sudah banyak,
dll. Masalahnya, guru-guru tersebut tidak memprioritaskan jadwal membaca dan
menulis. Mengapa? Menurutku, adalah karena: 1) kurangnya kesadaran pentingnya
budaya baca-tulis (literasi), 2) kurangnya rasa ingin tahu, 3) minat dan
motivasi rendah, 4) tidak tersedianya buku bacaan, dan 4) malas.
Guru
harus diberi penyadaran pentingnya budaya literasi. Selanjutnya, diberikan
motivasi. Cara lain adalah mewajibkan guru membaca dan menulis karya ilmiah.
Bisa dimulai dengan kajian pustaka atau karya tulis non-penelitian, membuat
resensi buku, atau meringkas bacaan. Baru kemudian melakukan riset sederhana
dan melakukan penelitian tindakan kelas. Bahkan kalau bisa karya ilmiah
guru-guru dipublikasikan ke masyarakat melalui surat kabar harian, website atau
blog sekolah, atau jurnal ilmiah.
Budi Pekerti
Salah
satu program pemerintah di tahun ajaran 2015-2016 ini adalah penumbuhan budi
pekerti. Menurutku, program ini menunjukkan kegagalan pendidikan sebelumnya.
Selain itu, program ini bukanlah solusi terbaik mengatasi permasalahan
pendidikan saat ini. Mengapa? Karena pada hakikatnya proses pendidikan
merupakan proses pembentukan manusia menjadi manusia seutuhnya - di dalamnya
sudah termasuk budi pekerti. Singkatnya, budi pekerti adalah bagian dari proses
pendidikan. Dengan program ini, budi pekerti seolah-olah terpisah dari proses
pendidikan. Pernah juga diunggulkan pendidikan karakter. Hasilnya, masih banyak
sekolah melakukan kecurangan di ujian nasional, merekayasa perolehan kursi di
sekolah bagi siswa baru, merekayasa nilai siswa-siswinya diterima di perguruan
tinggi negeri, beberapa sekolah masih melakukan tawuran, pelecehan seksual,
kekerasan, dan sebagainya. Karakter apa yang telah dibangun?
Dalam
pandangan saya, program penumbuhan budi pekerti ini tidak akan berhasil. Karena
faktor kuncinya terletak di pribadi guru. Saya sudah membahas sebagian di awal
tentang rendahnya kinerja guru, rendahnya minat guru menulis – itu baru
sebagian. Saya setuju dengan seorang praktisi pendidikan yang mengatakan bahwa
penumbuhan budi pekerti harus dimulai dari pribadi guru itu sendiri. Budi
pekerti tidak bisa diajarkan, melainkan disampaikan melalui keteladanan seorang
guru. Bayangkan murid diperintahkan untuk jujur, bertanggung jawab, tepat
waktu, disiplin; sementara nilai-nilai tersebut belum dihidupi oleh guru itu
sendiri. Nilai-nilai budi pekerti belum menjadi gaya hidup seorang guru.
Kasarnya, guru terlihat munafik. Mengajarkan budi pekerti, tetapi hidupnya
tidak mencerminkannya. Saya memang bersikap pesimis terhadap program ini,
karena tidak tepat sasaran. Sasaran utama perbaikan pendidikan seharusnya
adalah guru-guru.
Kurikulum
Kurikulum
juga perlu direvisi terutama muatannya. Banyak materi pelajaran yang tidak
penting tapi diajarkan. Buktinya, banyak lulusan sekolah pada akhirnya
melupakan sebagian besar pelajaran yang pernah mereka dapatkan di sekolah.
Selain tidak penting, materi pelajaran tidak memiliki manfaat langsung bagi
siswa. Pengetahuan siswa hanya berlaku di sekolah, tetapi tidak terpakai ketika
siswa-siswa tersebut berada di lingkungan luar sekolah.
Seharusnya
kurikulum kita berisi materi yang merangsang inovasi. Tidak harus semua
pelajaran dipelajari oleh siswa. Misalnya buat anak seusia taman kanak-kanak,
menurut saya, belum saatnya untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung. Selain
tidak bermanfaat buat anak seusia mereka, juga bisa merampas masa belia mereka
karena dipaksa menghafal dan memahami teks. Demikian juga untuk tingkat SMA, sebaiknya
materi pelajarannya sedikit tapi mendalam dan sesuai minat anak. Tidak semua
anak suka fisika atau kimia, ada juga yang menyukai sastra atau ilmu sosial,
siswa-siswa yang seperti ini diarahkan pada minat mereka. Sehingga anak-anak
tertarik belajar dan terdorong untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang
diminatinya yang pada akhirnya menghasilkan inovasi baru; misalnya teknologi
baru, teori baru, dll.
Guru sebagai Ujung Tombak
Bagaimanapun
baiknya program pemerintah dan kurikulum, kemajuan pendidikan selalu
dipengaruhi oleh faktor guru sebagai ujung tombak. Penyelenggara pendidikan
sebagai pembuat kebijakan dan perancang kurikulum sebaiknya bekerja sama dengan
guru dalam memajukan pendidikan. Karena gurulah yang memahami kondisi
pendidikan di lapangan. Program-program pemerintah pertama dan terutama harus
ditujukan kepada para guru. Ini bukan masalah gaji melainkan kualitas guru. Kegagalan
kurikulum 2013 terjadi karena penyelenggara pendidikan yaitu guru tidak
dilibatkan dalam pengembangan kurikulum. Buktinya, kurikulum tersebut hancur
berantakan di lapangan. Apalagi isu yang terdengar, biaya kurikulum tersebut
sangat besar dan terbuang sia-sia.
Lembaga-lembaga
pendidikan tinggi yang menghasilkan tenaga pendidik harus benar-benar dijamin
kualitasnya. Lembaga pendidikan tinggi yang hanya “mencetak” guru tapi tidak
memerhatikan kualitas sebaiknya ditutup. Karena lembaga pendidikan tersebut
telah menjadikan guru sebagai komoditas. Apalagi dengan maraknya sertifikasi dan tunjangan yang diperoleh guru. Sertifikasi
guru telah terbukti tidak membawa pengaruh signifikan dalam memajukan
pendidikan. Jadi sebaiknya ditiadakan saja atau dihentikan. Lebih baik
pemerintah mengarahkan perhatian pada lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan
bagi guru yang sudah lama mengajar disediakan wadah pembinaan.
Salah
satu kelemahan lain dalam pendidikan kita adalah mengenai penilaian. Masih ada
anggapan bahwa semua yang dikerjakan guru harus terukur atau dinilai dengan
angka. Termasuk pelatihan guru. Guru yang ikut pelatihan namun mendapatkan
nilai rendah, terpaksa mengulang. Uji kompetensi guru menunjukkan rendahnya
kualitas guru Indonesia. Solusinya, adakan pembinaan bagi guru-guru yang
bernilai rendah tetapi jangan berpatokan pada perolehan nilai, melainkan pada
keterampilan guru dalam mengajar. Justru dengan pemberian nilai, membuat guru fokus
pada perolehan nilai tersebut, bukan pada keterampilannya. Perolehan nilai dijadikan
tujuan. Dampaknya adalah sertifikat pendidik dijadikan komoditas. Terjadilah rekayasa
nilai, terjadilah jual-beli, sementara kualitas tidak meningkat.
Masalah
lain adalah masalah birokrasi. Negara kita terkenal sebagai negara paling susah
dalam hal birokrasi. Segala urusan harus melewati prosedur yang panjang,
menyulitkan, dan ujung-ujungnya uang. Ada uang, perkara lancar. Tidak ada uang,
tunggu tahun depan. Begitulah juga yang dialami guru. Urusan sekolah di kantor dinas
pendidikan selalu terhambat birokrasi. Terpaksa kepala sekolah kompromi dengan
memberikan “pelicin” demi kelancaran urusan. Dalam hal inipun, dunia pendidikan
sudah tercoreng oleh orang-orang di bidang pendidikan sendiri, meskipun tidak
dilihat langsung oleh siswa atau orang tua murid.
Kalau
mau jujur, masih banyak guru di Indonesia yang tidak memenuhi syarat sebagai
guru. Mengajar secara asal-asalan, malas-malasan di kantor, kalau ada urusan
suka menyuruh murid, sering terlambat masuk, tidak pernah membaca untuk
menambah wawasan atau mengembangkan ilmunya, suka marah, maunya gajian terus
tetapi malas bekerja. Tunjangan sertifikasi digunakan untuk menambah kekayaan,
bukannya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari atau mengembangkan diri. Kalau para
guru bersertifikat menambah kekayaan, itu artinya sebenarnya kondisi keuangan
para guru belumlah terlalu kritis. Memang ada banyak guru yang miskin, tetapi
menurut saya, guru-guru tersebut adalah guru honor di daerah-daerah kecil. Status
mereka honor, tidak mendapatkan tunjangan sertifikasi, tidak pula diangkat jadi
guru pegawai negeri. Padahal pengabdian mereka sangat dirasakan oleh
masyarakat. Malah beberapa guru di kota kenyang dengan tunjangan, didukung oleh
fasilitas lengkap, dan mampu beli mobil. Padahal belum tentu mereka mengabdi
sebagai pendidik dengan sepenuh hati.
Saran
Sebaiknya
ke depan, penyelesaian masalah pendidikan diawali dari guru. Guru-guru di
daerah dilatih, diberdayakan, dibimbing, bukannya mengirim guru dari kota
seperti yang dilakukan pemerintah sekarang. Harusnya yang dilakukan adalah
mengirim para instruktur terlatih untuk melatih guru-guru di desa. Para instruktur
ini mau tinggal di desa dan bekerja sama dengan para guru setempat mengembangkan
sekolah. Guru-guru dari kota bisa membuat para guru di desa menjadi
rendah-diri, tidak berdaya, merasa inferior, dan merasa guru dari kotalah yang
menjadi pahlawannya.
Masalah
sertifikasi, menurut saya, lebih baik dihentikan. Biaya sertifikasi diarahkan
untuk pelatihan guru, pemenuhan sarana dan prasarana sekolah, membangun
perpustakaan. Ini lebih nyata dan terarah ketimbang diberikan kepada guru yang
belum tentu digunakan pada tempatnya. Dan, para guru yang sejatinya bukan guru
lebih baik dipecat saja atau diturunkan pangkatnya.
Penting
juga untuk menanyakan kepada orang tua dan masyarakat mengenai kehidupan pribadi
para guru di sekolah setempat, kebiasan-kebiasaan baik para guru, kehidupan sosial,
apakah ada pelanggaran norma dan etika dalam masyarakat, dan sebagainya.
Jika
masalah mengenai guru sudah terselesaikan, kualitas guru meningkat, keteladanan
guru bisa ditiru; maka secara otomatis kualitas pendidikan meningkat. Barulah program-program
untuk peserta didik dikembangkan. Pengembangan program untuk peserta didik
harus melibatkan guru dan kalau memungkinkan melibatkan masyarakat sekitar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar