Hai, kamu yang spesial di hatiku. Apa kabar?
Aku agak ragu ada yang mengunjungi blogku ini. Tapi tidak mengapa kalau menyapa sesekali demi sopan-santun. Lagian aku jarang sekali mengucapkan salam dalam tulisan-tulisanku.
Kali ini aku ingin bercerita tentang sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan kerjaku. Eh sebaliknya, kehidupan 'tanpa-pekerjaan'ku. Jadi, siapkan telinga untuk membacanya.
Aku memutuskan keluar dari pekerjaanku bulan April yang lalu sambil menyerahkan surat pengunduran diri. Aku resmi mengundurkan diri pada bulan Juni yaitu akhir tahun pelajaran 2017/2018.
Mulai bulan Juli hingga awal November ini, aku belum mendapatkan pekerjaan baru. Ada tiga tawaran pekerjaan, namun ketiganya belum 'tepat' bagiku. Aku memang tidak sembarang memilih pekerjaan terutama bila tidak sesuai dengan passion. Lagipula setelah tujuh tahun menjadi guru di sebuah sekolah plus setahun di lembaga sains, tidak ada salahnya untuk 'beristirahat' sejenak.
Sudah 4 bulan 13 hari (per tanggal 13 november) aku jadi pengangguran. Aku mulai merasakan bosan, agak stres, dan malu. Aku malu pada diriku sendiri dan kepada orang-orang di sekitarku. Apalagi kepada mantan rekan kerjaku karena aku tinggal dekat sekolah yang kutinggalkan. Aku malu karena aku sudah bergelar magister tapi nyatanya susah cari kerja.
Aku makin memahami bahwa manusia membutuhkan pekerjaan. Hakikat manusia ada di dunia ini adalah bekerja. Tidak ada manusia yang tahan bila sepanjang hidup tidak mengerjakan apa-apa. Bahkan sering kuamati orang lain menyibukkan diri agar dirinya bermakna. Meskipun apa yang dikerjakannya tidak terlalu penting atau bahkan membuat orang lain tidak nyaman. (pelajaran I)
Hal lain yang kupelajari adalah rasa malu itu sendiri. Di atas aku mengatakan bahwa aku malu pada diriku sendiri dan orang lain. Mengapa aku malu juga sudah sampaikan di atas. Namun, jauh lebih dalam, di dasar hati, aku merasa malu karena kebanggaan diriku telah kuletakkan di atas pekerjaan. Ukuran harga diriku dilihat dari pekerjaan yang kulakukan. Aku ingin orang lain melihat itu. Aku ingin mengatakan pada semua orang: 'Ini aku, aku punya pekerjaan', 'aku bukan pengangguran', dlsb. Perasaan ini semakin kuat ketika ada teman bercerita tentang pekerjaan mereka. (pelajaran II)
Aku yakin bukan hanya aku yang mengalami hal ini. Ada pula orang yang sudah bekerja dan masih saja tidak puas dengan pekerjaannya. Tidak puas karena gaji yang didapat sedikit, pekerjaan tidak sesuai keahlian, pekerjaan tidak sesuai minat, dll. Selain itu banyak orang tidak percaya diri dengan pekerjaan yang dimilikinya. Sehingga selalu memikirkan untuk mencari pekerjaan lain yang, katanya, lebih pas di hati. Tetapi, tetap bertahan dengan alasan menyambung hidup.
Menurutku, tidak ada manusia yang benar-benar bahagia dengan pekerjaannya. Pekerjaan apa pun. Karena ada masanya orang mengalami jenuh dan bosan, bahkan sekalipun sudah di puncak kesuksesan. Tubuh manusia awalnya memang diciptakan sempurna—yang dengannya manusia bisa bahagia. Namun, kejatuhan manusia dalam dosa membuat relasi manusia dengan Tuhan menjadi retak. Dan inilah pangkal ketidakbahagiaan manusia. Ia terlepas dari sumber kehidupan sejati, Tuhan.
Lalu apa yang harus kulakukan? Pertama, tetap percaya kepada Tuhan. Penyertaan Tuhan sungguh sempurna. Kedua, tetap berusaha mencari pekerjaan. Buang semua kekhawatiran. Ketiga, pertahankan visi: diberkati untuk menjadi berkat. Pekerjaan bukanlah yang utama. Ambisi bekerja jangan untuk keuntungan pribadi saja.
Bulan Agustus lalu aku sempat dipanggil untuk wawancara kerja di sebuah yayasan di bagian program pendidikan. Yayasan ini menaungi puluhan sekolah di Kalimantan dan Riau. Saat wawancara berlangsung aku mendapati bahwa visi yayasan tersebut tidak sejalan denganku. Selain itu, ini alasan utamaku tidak bersedia, yaitu yayasan ini bernaung di bawah perusahaan kelapa sawit. Penempatan kerjanya di tengah perkebunan di Kalimantan sana. Padahal dalam informasi lowongan (iklannya) penempatan Jakarta Selatan. Kalau di sini saja mereka tidak konsisten, tidak ada jaminan ke depannya akan baik-baik saja. Posisi yang ditawarkan yayasan ini sesungguhnya sesuai dengan passion-ku.
Sedikit cerita tambahan untuk paragraf di atas yaitu ketika aku bercerita kepada seorang senior mengenai wawancaraku. Saat dia mendengar 'perusahaan sawit', wajahnya mengungkapkan ketidaksetujuan. Ia pun menyampaikan pandangannya tentang itu sambil menyarankanku untuk tidak menerima pekerjaan tersebut (memang tidak jadi). Alasannya adalah kerusakan lingkungan yang semakin parah akibat sawit. Aku setuju tentang itu.
Hanya saja, pertimbangan awalku melakukan wawancara adalah 'ini kan yayasan yang mengurusi sekolah (pendidikan), tidak langsung bersentuhan dengan sawit'. Setelah kupikir-pikir, 'untung aku tidak menerimanya' karena akan sama saja mendukung perkembangan/perluasan perusahaan yang dimaksud. Secara tidak langsung ikut memperparah kerusakan lingkungan. Seandainya aku tidak memiki visi dan nilai lingkungan, mungkin aku menerima begitu saja demi 'menyambung hidup'.
Hal berikutnya yang kupelajari adalah selama tidak bekerja aku semakin bijaksana mengatur keuangan. Pengeluaran terjadi hanya untuk hal yang sangat penting dan mendesak. Ini tidak berarti aku membatasi diri juga untuk 'menikmati hidup'. Aku masih bisa berpergian, belanja buku (ini sih wajib), makan-makan bersama teman, ganti hape, dlsb. Bedanya, aku menggunakannya tepat sasaran. Tidak untuk berfoya-foya. Setiap pengeluaran kucatat di catatan pribadi seperti yang biasa kulakukan. Hasilnya pengeluaranku menurun tajam. (pelajaran III)
Selama bekerja jarang sekali seseorang menghitung pengeluaran karena pastinya di akhir bulan bakal gajian. Kalau pun hitung-hitungan, itu untuk jaga-jaga agar dompet jangan sampai jebol di minggu pertama. Bukan untuk menjaga agar pengeluaran dimanfaatkan semaksimal mungkin. Makanya tidak heran kalau ada orang lebih memilih naik transportasi online (yang notabene lebih mahal) padahal sebenarnya masih memungkinkan untuk menggunakan transportasi umum. Alasannya, 'toh duit masih ada kok'. Mungkin inilah yang dialami oleh ibu-ibu yang sudah punya anak; hemat maksimal.
Memiliki banyak waktu untuk refleksi, pelayanan, dan mendoakan banyak orang. Delapan tahun bekerja ternyata membuatku berada dalam zona nyaman. Selama ini aku tidak menyadarinya. Sebab sedikit sekali waktu untuk berefleksi. Waktu-waktu berharga inilah yang kupakai untuk mengevaluasi seluruh pekerjaanku. Ternyata, selama ini aku bekerja dengan tujuan membangun kerajaanku sendiri. Pelayanan rohani yang kulakukan seringkali hanya jadi selubung kedalaman hatiku. Kadang sebagai pelarian saat jenuh kerja. (pelajaran IV)
Pemahaman di atas tidak muncul begitu saja. Ada yang kuperoleh dari perenungan pribadi, khotbah di gereja, ibadah alumni, kamp tahunan alumni, GCLC, KPM, hingga lagu rohani. Ya, banyak alumni membangun kerajaan sendiri. Semakin jauh dari persekutuan. Bahkan ada yang sudah meninggalkan Tuhan. Kasih mula-mula yang pernah dialami selama kuliah menguap begitu saja. Mereka terpesona indahnya dunia. Aku bersyukur Tuhan menangkapku dan memelihara hidupku. Hingga sekali pun aku menjauh, Ia membawaku kembali pada-Nya.
Keputusanku berhenti bekerja di tengah jalan tanpa jaminan 'sudah mendapat pekerjaan baru' memang tergolong nekat ketimbang disebut sebagai langkah iman. Bagi sebagian orang mungkin dianggap kebodohan. Bahkan aku sendiri pernah berpikir bahwa aku mengambil keputusan yang salah.
Tentang salah ambil keputusan, aku diingatkan oleh Firman (lagi-lagi ini bukan pencerahan yang tiba-tiba muncul di kepalaku) bahwa aku adalah domba yang bodoh. Ketika rumput di depanku habis, bukannya bergeser ke tempat lain, malahan aku memakan tanah di depanku. Aku tidak bisa melihat lebih jauh ke depan. Namun, aku percaya Tuhanku adalah gembala yang baik. Ia menuntunku ke padang yang berumput hijau dan membimbingku ke air yang tenang. Apa yang perlu kutakutkan? Apa yang harus kukhawatirkan? Seharusnya tidak ada lagi.
Aku sudah 8 tahun bekerja dan baru 4 bulan aku menganggur. Harusnya aku bersyukur. Jarang orang memilih langkah ini. Umumnya kerja terus bagai kuda (Pesan: jangan mau diperbudak pekerjaan!). Tapi kedaginganku kadang melemahkan imanku. Khawatir, cemas, dan malu adalah perasaan yang benar-benar ada. Aku tidak menyangkalinya. Perasaan negatif ini harus kusingkirkan. Oleh karena itu, aku sangat butuh pertolongan Roh Kudus untuk membimbingku melakukan kehendak Tuhan.
Jangan tanya soal keuanganku? Kalau aku masih bisa menulis ini dan memostingnya di blog ini, artinya kuota internet masih ada, hehehe. Bukan itu poinnya. Aku percaya Tuhan-lah yang memenuhi kebutuhanku. Ia memelihara hidupku dengan sempurna. Aku hanya perlu bergantung penuh pada-Nya.
Tuhan, tolonglah aku yang tidak percaya ini!