Pada kesempatan ini, saya menuliskan pengamatan sederhana saya tentang pengukuran kinerja guru. Pengukuran kinerja guru pada kenyataan tidak membawa perubahan signifikan pada kualitas pendidikan kita. Malahan survei baru-baru ini mengungkapkan bahwa peringkat anak Indonesia semakin menurun secara global. Ini bisa berarti bahwa guru kurang berhasil mencerdaskan anak bangsa. Guru adalah ujung tombak pendidikan. Meskipun demikian, tulisan ini hanya sekadar opini dan subjektif.
Awalnya tulisan ini hanya catatan pribadi. Aku suka menuliskan unek-unek tentang apa saja termasuk pekerjaanku. Aku punya prinsip bahwa untuk belajar menulis, ya, banyaklah dan seringlah menulis. Kualitas nanti saja. Kuantitas mendahului kualitas. Nah, daripada tulisan ini tersimpan begitu saja di laptop, lebih baik membagikannya kepada khalayak.
Saya memulainya dengan sebuah kalimat: pengamatan itu sendiri mengganggu fenomena yang terjadi. Ini adalah asas ketidakpastian Heisenberg dalam fisika. Namun, dalam tulisan ini saya tidak akan membahas fisika. Mungkin saja kalimat tersebut bisa digunakan untuk bidang pendidikan. Barangkali.
Langsung saja, saya pernah dipercayakan untuk mengamati rekan guru mengajar. Awalnya tidak nyaman karena setiap guru memiliki privasi tersendiri saat di dalam kelas. Tapi, karena ini adalah tugas, maka saya pun melaksanakannya. Tujuan berada dalam kelas sambil mengamati rekan guru adalah dalam rangka supervisi untuk melakukan penilaian kinerja guru.
Saya mengamati setiap aktivitas di dalam kelas termasuk kelengkapan administrasi guru. Beberapa hal yang dapat kubagikan tentang kegiatan supervisi ini.
Setiap guru mempunyai gaya tersendiri saat mengajar. Bisa dikatakan sebagai ciri khas seorang guru. Menariknya adalah aku sendiri makin melihat begitu banyak ciri khas yang selama ini aku tidak miliki. Ini memperkaya pengetahuanku akan variasi mengajar di kelas. Tentu ini menambah referensiku dalam mengembangkan diri di dunia belajar mengajar.
Umumnya guru akan merasa terganggu bila ada orang lain yang memerhatikannya mengajar di kelas. Ketika berada dalam kelas guru serasa menjadi 'raja'. Keberadaan orang lain akan menjadi 'ancaman' yang membuat tidak nyaman. Seakan-akan wilayahnya direbut oleh musuh. Atau, serasa dirinya ditelanjangi. Keberadaan orang lain membuat tidak percaya diri, terlebih bila yang berkunjung adalah pimpinan atau pengawas sekolah. Ini semakin membuat gugup.
Sebaliknya, seorang guru jarang sekali mengunjungi kelas lain untuk mengamati rekannya mengajar dengan tujuan untuk belajar. Jarang sekali melakukan studi banding ke kelas di mana rekan guru sedang mengajar. Bahkan mungkin tidak pernah sama sekali. Menurutku, penyebabnya adalah setiap guru sudah merasa kompeten sehingga tidak perlu belajar dari sesama guru. Bisa pula karena gengsi. Apalagi kalau sudah berstatus guru 'senior'.
Lain lagi ceritanya dengan relasi senior-junior antarguru ini. Guru junior biasanya menggebu-gebu, banyak ide, dan sering 'melawan' aturan yang telah berlaku lama. Guru junior juga pandai bergaul dengan siswa. Tidak jarang hubungan guru dengan siswa seperti sahabat. Berbeda dengan guru senior yang cenderung menjaga wibawa dan 'ditakuti' oleh siswa. Bukan karena menakutkan, tetapi lebih karena dianggap 'orang tua'. Takut kualat kalau dilawan. Hehehe.
Demikian pula dengan respons siswa berbeda-beda pada setiap guru. Di kelas yang sama dengan guru yang berbeda, suasana kelas ikut berubah. Beberapa siswa terlihat bersemangat ketika guru tertentu yang mengajar, namun pasif ketika guru lain yang masuk kelas. Bisa jadi ini dipengaruhi oleh karakter guru sendiri yang memang disenangi (atau sebaliknya) oleh siswa atau karena mata pelajaran yang diminati oleh siswa.
Barangkali siswalah yang bisa menilai seperti apa guru mereka; cara mengajar, kepribadian, candaan, kebiasaan guru saat di kelas, para siswalah yang tahu. Sayangnya, jarang sekali sekolah meminta pendapat siswa dalam rangka evaluasi kinerja guru. Lagi-lagi karena guru umumnya merasa siswa adalah objek dan akan berkata dalam hati, 'tahu apa mereka?' Hanya sedikit sekolah yang melibatkan pendapat siswa untuk mengukur kinerja guru. Umumnya, kinerja guru dilihat dari nilai yang diperoleh siswa.
Lalu datanglah pengawas dinas dengan penuh wibawa memberi pengarahan, baik kepada kepala sekolah maupun guru. Tidak lupa berlembar-lembar instrumen evaluasi kinerja guru yang kebanyakan diisi dengan cara dicentang alias checklist. Ini lebih mirip cek daftar harga barang. Memang pengawas sekolah adalah seorang yang berpengalaman di bidangnya dan tentu telah dibekali berbagai pengetahuan dan keterampilan tentang persekolahan. Namun, yang terluput di sini adalah bahwa pengalaman dan karakteristik setiap guru sangatlah berbeda.
Selain visitasi yang dilakukan oleh pengawas sekolah, kadang juga diadakan pelatihan untuk guru tentang metode pembelajaran. Ada bagian dalam sesi pelatihan di mana guru melakukan praktik mengajar di depan rekan guru lain (peer teaching). Lalu di kemudian hari praktik mengajar ini diteruskan di sekolah masing-masing dengan diawasi oleh guru (yang berasal dari sekolah lain). Tapi kegiatan ini sangat jarang. Biasanya untuk formalitas saja (yang penting program pelatihan terlaksana). Setelah itu, sekembalinya ke sekolah masing-masing, guru kembali ke pola atau kebiasaan lamanya saat mengajar.
Untuk mengukur kinerja guru memang gampang-gampang susah. Instrumen pengukuran kinerja guru yang berisi daftar centang hanya sesuai untuk menentukan kelengkapan administrasi saja, seperti program mengajar (harian, bulan, semester, dan tahunan), daftar hadir, daftar nilai siswa. Kemudian, hanya mengukur proses yang sifatnya tahapan, seperti membuka hingga menutup pelajaran. Tetapi, ini tidak mengukur keberhasilan guru secara utuh. Bisa saja administrasi lengkap dan langkah-langkah pembelajaran sudah sesuai 'prosedur operasional standar', sementara masih banyak siswa tidak mendapatkan apa-apa (mendapatkan sedikit) dari pembelajaran hari itu.
Peer teaching memang bagus. Mengajar di depan rekan guru dan langsung mendapat feedback merupakan cara yang baik untuk melihat dan meningkatkan performa seorang guru. Tetapi lagi-lagi, rekan-rekan guru, betapa pun memberi penilaian, bukanlah siswa. Buktinya, ketika kembali mengajar di depan siswa, sedikit sekali perubahan yang terjadi. Banyak yang seperti itu terjadi di dunia persekolahan.
Tidak jarang pula guru menjadikan momen pelatihan sebagai ajang 'berbagi' file alias copy-paste. Saling berbagi ini biasanya seputar rencana program pembelajaran (RPP) hingga berbagi soal ujian. Atau administrasi lain yang diperlukan. Beberapa obrolan yang biasa muncul; nanti tinggal ganti nama dan tanggal, yang penting ada dulu, atau pinjam program buat pedoman saja.
Kunjungan pengawas ke sekolah kadang tidak efektif. Apalagi kalau cuma duduk-duduk di ruang kepala sekolah sambil menikmati jamuan yang dihidangkan. Hehehe. Andai pun masuk kelas, biasanya kelasnya sudah dikondisikan dulu agar semua tampak berjalan lancar. Ini juga terjadi kala kepala sekolah melakukan supervisi ke kelas-kelas. Saat pimpinan atau pejabat dinas melakukan pengamatan, kondisinya tampak baik-baik saja. Setelah itu, hanya guru bersangkutan dan siswa yang tahu kondisi sesungguhnya.
Itulah masalah saat kinerja guru diukur. Hasil kerjanya tampak ada yang kurang, tapi ketika disupervisi tampak baik-baik saja. Mungkin di sinilah berlaku asas ketidakpastian Heisenberg. Alat ukur yang berupa angket atau kuesioner memang cukup membantu, setidaknya secara kuantitatif. Ini membuat guru cukup disiplin dalam melengkapi administrasi (perangkat) pembelajaran. Walaupun banyak yang hanya copy-paste program tahun sebelumnya, minta dari sekolah lain atau mengunduhnya dari internet.
Terlepas dari sulitnya mengukur kinerja guru, beberapa hal yang kupelajari dan mungkin sedikit saran. Pertama, guru tidak siap untuk dinilai atau dikritik. Jangankan menerima perubahan, menerima masukan dari pihak lain pun rasanya sulit. Seolah-olah dianggap tidak kompeten. Padahal kritik dan saran bermaksud untuk meningkatkan performa guru dan, tentunya, untuk memajukan pendidikan nasional.
Kedua, yang hampir sama dengan pertama, adalah guru tidak siap menerima jika kinerjanya buruk. Guru ingin selalu dianggap 'hebat'. Akhirnya, ketika diadakan penilaian, kelas dikondisikan terlebih dahulu agar terlihat baik-baik saja dan segala hal yang sifatnya administratif sering hanya formalitas belaka. Ini menyulitkan dalam mendapatkan penilaian yang objektif.
Ketiga, banyak guru tidak serius mengembangkan diri. Coba saja tanyakan apakah guru rajin membaca. Jawabannya, sangat sedikit guru yang rajin membaca. Apakah guru aktif mengikuti pelatihan demi pengembangan profesinya? Kalau ikut pun sekadar 'setor badan'. Bagian ini memang jadi dilema bagi guru. Saya sendiri mengalaminya. Guru lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal administrasi dan tidak berhubungan dengan pembelajaran di kelas.
Guru sebagai ujung tombak pendidikan sudah seharusnya bersedia dikritik dan diberi masukan. Guru juga harus berkeinginan kuat untuk mengembangkan diri. Semuanya tentu demi memajukan pendidikan kita. Dalam mengukur kinerja guru, tidak cukup mengandalkan kuesioner saja. Tetapi juga harus ada penelitian kualitatif, perlu diadakan diskusi (focus group discussion) yang melibatkan pihak yang berkaitan, termasuk siswa sendiri.
Sekali lagi tulisan ini cuma opini penulis saja, unek-unek di kala hati sedang tak karuan. Hehehe. Alangkah baiknya bila ada pemikiran lain, terutama dari rekan guru, yang bisa menambah wawasan kita tentang dunia belajar-mengajar.
*tulisan ini kuposting juga di kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar