Kali ini aku akan membagikan sebagian khotbah yang kunikmati minggu tanggal 11-11-2018. Tema khotbahnya tentang persembahan. Bagian yang dibahas adalah cara hidup para ahli Taurat versus persembahan janda miskin. Untuk lebih jelas silakan baca Markus 12:38-44.
Cara hidup ahli Taurat memperlihatkan pada kita bahwa jubah yang mereka kenakan tidak berarti hidup mereka benar. Mereka terlihat seperti seorang cendekiawan atau hartawan, padahal mereka merampas rumah janda-janda. Cara hidup yang menipu orang lain lewat penampilan. Jangankan memberikan persembahan kepada Tuhan, malahan mereka merampas orang miskin. Kelak mereka akan dihukum lebih berat.
Refleksi dari cara hidup ahli Taurat: apakah aku selama ini menipu orang lain lewat penampilanku? Apakah hidupku berintegritas; tidak hanya tahu Firman Tuhan tapi juga melakukannya dalam keseharianku?
Memberi persembahan karena kemampuan memberi. Itulah kebiasaan orang percaya pada umumnya. Tidak seperti janda miskin memberikan seluruh yang ada padanya. Tuhan Yesus sendiri loh yang memberikan penilaian terhadap janda miskin tersebut. Orang percaya tentu pernah mendengar ini alias bukan hal baru. Refleksi: bagaimana aku memberi persembahan? Apakah didasari oleh rasa syukur?
Bagaimana dengan jemaat saat ini? Inilah yang menarik. Pendeta menyampaikan bahwa kebiasaan jemaat saat ini adalah memberikan persembahan karena kemampuan. Bukan didasari oleh rasa syukur yang melimpah. Atau sebaliknya, enggan memberi karena merasa 'kebutuhan sehari-hari saja masih kurang'. Kehadiran di gereja tiap minggu pun hanya sekadar rutinitas belaka. Rasanya ada yang janggal kalau tidak ke gereja. Ini adalah kritik bagi umat Tuhan.
Gedung gereja juga tidak lepas dari kritikan sang pendeta di mimbar. Terlepas dari izin pembangunan gereja yang agak rumit di negeri ini, bangunan gereja yang telah ada terlihat berlomba-lomba dalam kemewahan. Jemaat akan protes kalau AC rusak sehingga bikin panas, lahan parkir diisi oleh mobil-mobil mewah, dekorasi interior gereja harus 'wow', dlsb. Ketika pendeta menyampaikan bagian ini, di benakku muncul: bagaimana bila tiba-tiba ada seorang pemulung datang beribadah ke gereja saat itu (sambil meletakkan keranjang sampahnya di luar)? Apakah penerima tamu mengizinkannya masuk?
Melihat gedung gereja yang mentereng membuat sebagian orang ragu, merasa tidak pantas, atau minder memasukinya. Ditambah barisan mobil di parkiran. Gereja telah menjadi tempat bagi mereka 'kelas atas'. Gedung besar berpagar, interior mewah, musik yang membahana, tidak membuat orang semakin rindu beribadah. Malah sebaliknya, merasa tidak layak untuk datang.
Pertanyaan kembali muncul di kepalaku: kalau kondisinya begitu, bagaimana gereja bisa menjadi berkat? Jangan-jangan gereja telah menjadi representasi ahli Taurat masa kini? Penampilan fisik lebih diutamakan. Tugas mencari jiwa dinomorduakan. Biarkan Tuhan yang menilai.
Dari khotbah minggu itu aku ingat sebuah anekdot. Begini:
Seorang istri mengajak suaminya bergereja. Biasanya si suami malas ke gereja. Tapi berkat usaha istrinya, ia pun datang. Di tengah ibadah, tiba-tiba handphone si suami berdering. Ia lupa mematikannya. Hampir semua mata tertuju pada si suami termasuk sang pendeta di mimbar. Mata menghakimi dan menyalahkan. Sang istri merasa malu atas peristiwa tersebut. Sepulang dari gereja, si istri memarahi suaminya.
Suatu ketika si suami mampir ke bar. Ia meminum bir banyak sekali sehingga membuatnya mabuk dan muntah. Muntahannya mengotori meja dan lantai. Tapi sang pramusaji tidak memarahinya. Malah berlaku ramah terhadapnya dan berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Sambil terus melayaninya dengan ramah. Seorang pelayan membersihkan meja dan lantai yang kotor. Sang suami merasa betah di sana.
Anekdot ini kubaca dari sebuah media online yang aku lupa alamatnya. Menurutku, cerita tersebut mewakili kondisi gereja saat ini. Gereja mesti berubah. Agar Tuhan semakin dimuliakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar