Senin, 16 Desember 2019

Gang Jati dalam Ingatan

Siang itu udara panas. Angin yang bertiup akibat laju motor tidak membantu sama sekali. Driver ojol bahkan sudah melajukan motor lumayan kencang. Sementara aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Indera penglihatanku menyerap semua pemandangan yang ada – pertokoan, apartemen, kendaraan lain yang melaju, orang-orang, dan sebagainya.

Hampir tiba di belokan Villa Melati Mas, kuingatkan driver untuk belok kiri. Driver mengiyakan. Tak lama kemudian kami berbelok arah meninggalkan jalan utama. Sekarang perjalanan terus berlanjut di Jalan Melati Mas. Pemandangan yang kulihat membuatku bosan karena sudah sering kulihat. Sehingga seringkali kuabaikan.

Aku kembali mengingatkan driver untuk belok kanan setelah menempuh sekitar dua kilometer setelah belokan pertama tadi. Nanti akan ada perempatan, kataku. Di jalan melati, ada banyak persimpangan jalan karena itu kawasan perumahan. Laju motor tidak sekencang sebelumnya untuk mengantisipasi polisi tidur yang ada di jalan.

Setelah bertemu dengan perempatan jalan yang kumaksud, kami berbelok ke kanan. Di sudut kanan jalan terdapat Alfamidi. Awalnya minimarket itu kujadikan patokan ketika aku petama kali ke kawasan Melati Mas menuju kontrakanku.

Tidak lama lagi kami akan tiba di tempat tinggalku – sebuah kontrakan tersembunyi dari keramaian jalan. Tinggal berjalan lurus, kemudian belok kiri. Dan sekitar seratus meter lagi di kanan jalan, di situlah gang tempat tinggalku berada – Gang Jati.

Panas matahari masih menyengat. Aku membantu mengarahkan driver untuk menuju Gang Jati. Gang itu cukup tersembunyi. Banyak driver kebingungan karena gang itu tidak terbaca dalam peta google hingga ke dalam-dalamnya. Malahan aplikasi ojek online menunjukkan rute lain melewati Regensi Melati II yang berada di sebelah Gang Jati.

Kesan pertama ketika masuk Gang Jati, kau akan melihat tembok mengapit di kedua sisi gang. Sepintas itu gang sepi tanpa atau sedikit penghuni. Gang sempit itu hanya memuat satu jalur untuk mobil. Tetapi jika sudah masuk sdikit agak ke dalam, maka akan terlihat banyak rumah berjejer.

Setelah berjalan sekitar 100 meter, gangnya berbelok ke kanan. Kali ini di sebelah kiri ada tembok tinggi yang merupakan pembatas dengan Regensi Melati II. Sementara sebelah kanan persis di belokan, ada sebuah warung. Kita jalan terus kira-kira 100 meter lagi, barulah kita tiba di depan kontrakanku. Kau akan melihat sebuah lorong  kontrakan yang masing-masing terdiri dari tujuh pintu - sebelah kiri dan kanan.

Di lorong itu, kontrakankku sebelah kiri persis di dekat gerbang. Bagian atas gerbang dimanfaatkan sebagai tempat tangki air. Di situ ada dua tangki untuk masing-masing sisi kontrakan.

Ini adalah kontrakan kecil. Sebenarnya lebih tepat disebut rumah kost daripada kontrakan. Hanya terdapat satu kamar dengan toilet di dalam. Ya, harusnya namanya kost. Tetapi, warga di sini menyebutnya kontrakan.

Kontrakan ini saling berhadapan terdiri dari 14 pintu. Di bagian tengahnya membentuk gang kecil. Tiap pintu dibatasi oleh pagar hitam di teras atau beranda. Panjang terasnya cukup memuat satu motor dan bisa dijadikan tempat jemuran. Ini hanya salah satu kontrakan. Di Gang Jati ini masih ada beberapa kontrakan lain dengan pemilik berbeda.

Warga di Gang Jati terdiri dari warga asli dan pendatang. Warga asli merupakan orang Betawi. Sedangkan pendatang – yang kebanyakan penghuni kontrakan – sangat beragam. Pada siang hari, Gang Jati sangat sepi karena warga sibuk bekerja atau beraktivitas. Warga di sana juga kebanyakan ‘menutup diri’- mungkin dipengaruhi banyaknya pendatang sehingga tidak saling mengenal. Pendatang biasanya sering berganti seiring waktu.  

Aku tinggal di Gang Jati - Kampung Jelupang, Serpong Utara - tidak lama, hanya sekitar 5 bulan. tidak banyak yang bisa kuceritakan tentang kebiasaan warga di sana karena memang kurang dekat dengan warga yang biasanya sibuk mencari nafkah. Bahkan pemiliki kontrakanku pun sepertinya enggan ketika kuajak bercerita.

Hal yang berkesan selama tinggal di Gang Jati yaitu bahwa gang tersebut sangat tertutup, lokasinya kurang strategis karena hanya satu jalan keluar-masuk. Selain itu, ia bersebelahan dengan perumahan yang cukup mewah. Rasanya seperti tinggal di tengah ketertinggalan. Sebuah perkampungan di tengah perkotaan.

Di sana kau bisa melihat warga biasa yang berjuang untuk bertahan hidup. Botol plastik atau kardus bekas jadi rebutan sebagian warga. Anak-anak kecil berlarian dengan penampilan tak terurus. Menjelang malam hari kau bisa melihat para bapak bertelanjang dada dan para ibu sibuk  bercerita sambil duduk-duduk di pinggir jalan gang yang sempit itu. Mereka bisa disebut orang-orang pinggiran. Sebab, keluar dari sana kau segera melihat suasana perkotaan yang mewah dan modern.

Meski demikian aku senang berada di sana karena warga di sana menerimaku sebagai saudara. Mereka mengetahui namaku dan biasa memanggilku ‘Pak Guru’. Dan ketika aku hendak beranjak dari sana, seorang ibu dengan sukarela membantu menaikkan tasku yang cukup berat.

Aku tidak tahu apakah ke depan gang itu masih eksis. Bisa saja ada orang yang sangat kaya membeli tanah di sana. Lalu warga asli di sana berpindah tempat entah ke mana. Kemudian gang itu disulap menjadi perumahan yang mewah. Semoga ini tidak terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar