Siang itu udara panas. Angin
yang bertiup akibat laju motor tidak membantu sama sekali. Driver ojol bahkan
sudah melajukan motor lumayan kencang. Sementara aku mengedarkan pandangan ke
segala arah. Indera penglihatanku menyerap semua pemandangan yang ada –
pertokoan, apartemen, kendaraan lain yang melaju, orang-orang, dan sebagainya.
Hampir tiba di belokan Villa
Melati Mas, kuingatkan driver untuk belok kiri. Driver mengiyakan. Tak lama
kemudian kami berbelok arah meninggalkan jalan utama. Sekarang perjalanan terus
berlanjut di Jalan Melati Mas. Pemandangan yang kulihat membuatku bosan karena
sudah sering kulihat. Sehingga seringkali kuabaikan.
Aku kembali mengingatkan
driver untuk belok kanan setelah menempuh sekitar dua kilometer setelah belokan
pertama tadi. Nanti akan ada perempatan, kataku. Di jalan melati, ada banyak
persimpangan jalan karena itu kawasan perumahan. Laju motor tidak sekencang
sebelumnya untuk mengantisipasi polisi tidur yang ada di jalan.
Setelah bertemu dengan
perempatan jalan yang kumaksud, kami berbelok ke kanan. Di sudut kanan jalan
terdapat Alfamidi. Awalnya minimarket itu kujadikan patokan ketika aku petama
kali ke kawasan Melati Mas menuju kontrakanku.
Tidak lama lagi kami akan tiba
di tempat tinggalku – sebuah kontrakan tersembunyi dari keramaian jalan.
Tinggal berjalan lurus, kemudian belok kiri. Dan sekitar seratus meter lagi di
kanan jalan, di situlah gang tempat tinggalku berada – Gang Jati.
Panas matahari masih
menyengat. Aku membantu mengarahkan driver untuk menuju Gang Jati. Gang itu
cukup tersembunyi. Banyak driver kebingungan karena gang itu tidak terbaca
dalam peta google hingga ke dalam-dalamnya. Malahan aplikasi ojek online
menunjukkan rute lain melewati Regensi Melati II yang berada di sebelah Gang
Jati.
Kesan pertama ketika masuk
Gang Jati, kau akan melihat tembok mengapit di kedua sisi gang. Sepintas itu
gang sepi tanpa atau sedikit penghuni. Gang sempit itu hanya memuat satu jalur
untuk mobil. Tetapi jika sudah masuk sdikit agak ke dalam, maka akan terlihat
banyak rumah berjejer.
Setelah berjalan sekitar 100
meter, gangnya berbelok ke kanan. Kali ini di sebelah kiri ada tembok tinggi
yang merupakan pembatas dengan Regensi Melati II. Sementara sebelah kanan
persis di belokan, ada sebuah warung. Kita jalan terus kira-kira 100 meter
lagi, barulah kita tiba di depan kontrakanku. Kau akan melihat sebuah
lorong kontrakan yang masing-masing
terdiri dari tujuh pintu - sebelah kiri dan kanan.
Di lorong itu, kontrakankku
sebelah kiri persis di dekat gerbang. Bagian atas gerbang dimanfaatkan sebagai
tempat tangki air. Di situ ada dua tangki untuk masing-masing sisi kontrakan.
Ini adalah kontrakan kecil.
Sebenarnya lebih tepat disebut rumah kost daripada kontrakan. Hanya terdapat
satu kamar dengan toilet di dalam. Ya, harusnya namanya kost. Tetapi, warga di
sini menyebutnya kontrakan.
Kontrakan ini saling berhadapan
terdiri dari 14 pintu. Di bagian tengahnya membentuk gang kecil. Tiap pintu
dibatasi oleh pagar hitam di teras atau beranda. Panjang terasnya cukup memuat
satu motor dan bisa dijadikan tempat jemuran. Ini hanya salah satu kontrakan. Di
Gang Jati ini masih ada beberapa kontrakan lain dengan pemilik berbeda.
Warga di Gang Jati terdiri
dari warga asli dan pendatang. Warga asli merupakan orang Betawi. Sedangkan pendatang
– yang kebanyakan penghuni kontrakan – sangat beragam. Pada siang hari, Gang
Jati sangat sepi karena warga sibuk bekerja atau beraktivitas. Warga di sana juga
kebanyakan ‘menutup diri’- mungkin dipengaruhi banyaknya pendatang sehingga
tidak saling mengenal. Pendatang biasanya sering berganti seiring waktu.
Aku tinggal di Gang Jati -
Kampung Jelupang, Serpong Utara - tidak lama, hanya sekitar 5 bulan. tidak
banyak yang bisa kuceritakan tentang kebiasaan warga di sana karena memang
kurang dekat dengan warga yang biasanya sibuk mencari nafkah. Bahkan pemiliki
kontrakanku pun sepertinya enggan ketika kuajak bercerita.
Hal yang berkesan selama tinggal
di Gang Jati yaitu bahwa gang tersebut sangat tertutup, lokasinya kurang
strategis karena hanya satu jalan keluar-masuk. Selain itu, ia bersebelahan
dengan perumahan yang cukup mewah. Rasanya seperti tinggal di tengah
ketertinggalan. Sebuah perkampungan di tengah perkotaan.
Di sana kau bisa melihat warga
biasa yang berjuang untuk bertahan hidup. Botol plastik atau kardus bekas jadi
rebutan sebagian warga. Anak-anak kecil berlarian dengan penampilan tak
terurus. Menjelang malam hari kau bisa melihat para bapak bertelanjang dada dan
para ibu sibuk bercerita sambil
duduk-duduk di pinggir jalan gang yang sempit itu. Mereka bisa disebut
orang-orang pinggiran. Sebab, keluar dari sana kau segera melihat suasana
perkotaan yang mewah dan modern.
Meski demikian aku senang
berada di sana karena warga di sana menerimaku sebagai saudara. Mereka mengetahui
namaku dan biasa memanggilku ‘Pak Guru’. Dan ketika aku hendak beranjak dari
sana, seorang ibu dengan sukarela membantu menaikkan tasku yang cukup berat.
Aku tidak tahu apakah ke depan
gang itu masih eksis. Bisa saja ada orang yang sangat kaya membeli tanah di
sana. Lalu warga asli di sana berpindah tempat entah ke mana. Kemudian gang itu
disulap menjadi perumahan yang mewah. Semoga ini tidak terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar