Dengarkanlah ceritaku. Siapkanlah telinga membacanya.
Aku menaiki bus setelah menunggu beberapa menit.
Kemudian kulihat jam di handphoneku
sesaat setelah aku duduk di dalam bus. Pukul 6 lewat 11 menit. Gelap mulai
menggantung di langit Jakarta.. Aku hanya membawa dua tas yang berisi pakaian
dan camilan selama di perjalanan. Bus melaju pelan mengikuti arus lalu lintas
yang macet.
Enam jam sebelumnya aku masih berada di kontrakan
mengemasi keperluanku. Pakaianku sudah tersusun rapi dalam sebuah tas jinjing
berwarna merah. Sementara tas ranselku berisi perlengkapan mandi, camilan dan
pakaian ganti. Sudah beberapa kali kuperiksa ulang semuanya untuk memastikan
tidak ada yang terlupa.
Tiba-tiba suasana berubah. Udara begitu berat. Aku tidak
tahu apakah memang lingkungan yang berubah atau sumbernya ada di dalam hatiku.
Bagaimana tidak, aku akan melakukan perjalanan jauh. Aku harus meninggalkan
kamar kontrakan ini untuk waktu yang lama (tepatnya sebulan). Kupandangi
dinding kamarku dan kulayangkan pandangku ke luar; betapa aku telah menyatu
dengan semua ini. Hingga saat beranjak, aku berkata pada kamarku untuk menjaga
diri selama aku pergi.
Tepat jam tiga aku berangkat menuju terminal di Jakarta.
Bus melaju. Tersisa lima tempat duduk kosong di bagian
belakang termasuk di sampingku. Kursi di sebelahku nantinya akan diisi oleh
seorang penumpang dari Merak menuju Kotabumi, Lampung. Sebelum memasuki
pelabuhan untuk menyeberang, bus menepi di suatu tempat. Sepertinya ada paket
barang yang hendak diambil. Di situ penumpang dan aku menggunakan kesempatan untuk
makan malam. Aku membawa makanan sendiri yang kubeli di warung depan kos.
Sekitar pukul 10.28 malam, aku sudah berada dalam kapal
penyeberangan. Sekarang kapal penyeberangan terlihat lebih bagus ketimbang tahun
sebelumnya. Kursi penumpang terasa nyaman dan sudah tidak terlihat lagi ada
penumpang yang menguasai tempat duduk hanya untuk tidur. Intinya, sudah lebih
baik dan nyaman.
Pelabuhan Merak dari atas kapal. Dokpri |
Tanggal 6.
Tiba di Bakaheuni 00.28 WIB. Bus kembali melaju membelah
malam. Yang terlihat di luar sana hanya titik-titik cahaya dari rumah-rumah
warga. Saat itu aku tidak bisa tidur. Mungkin karena aku sempat minum kopi saat
di kapal. Penumpang yang duduk di sebelahku, seorang kakek, kuperhatikan sulit
tertidur juga. Kami tidak banyak bicara. Malam itu sebenarnya tidak terasa
sudah masuk hari Kamis, tanggal enam, karena perjalanan terus berlanjut seolah
tanpa mengenal perubahan waktu hingga pagi datang.
Kami makan pagi di Kotabumi, Lampung, pada pukul 5.38 -
6.30. Supir dan kru-nya rasanya tidak mau berlama-lama di rumah makan, seolah
dikejar waktu. Bayangkan saja, waktu berhenti kurang dari satu jam. Untungnya
perutku tidak bermasalah pagi itu. Aku hanya makan sebuah apel yang sengaja
kubawa untuk sarapan. Katanya, entah kata siapa, apel sangat cocok untuk
sarapan saat bepergian. Aku sudah membuktikannya dan ternyata benar adanya.
Dokpri. RM Taruko II, Lampung. |
Aku melihat peresmian RS Santo Antonius saat melewati
daerah Baturaja pada pukul pukul 10 lewat 15 menit. Ucapan selamat dalam bentuk
karangan bunga berjejer di pinggir jalan. Sekelompok orang, mungkin karyawan di
sana, berbaris di halaman rumah sakit. Bus melambat, tidak seperti biasanya,
karena sedang dalam keramaian.
Sekitar jam 11 sampai jam 1 siang, kami melewati daerah
dataran tinggi. Kanan kiri terlihat banyak pohon durian. Ada pula terlihat
pohon duku. Di pinggir-pinggir jalan sesekali terlihat penjual durian atau
duku. Ada yang sendirian, ada yang berkelompok. Jalan berkelok-kelok dan sempit
sehingga tiap dua kendaraan berpapasan harus ekstra hati-hati. Beberapa kali
bus benar-benar berhenti sesaat untuk menghindari gesekan dengan kendaraan yang
berpapasan, Kalau tidak salah nama daerah itu adalah Kabupaten Muara Enim. Aku
sempat melihat sebuah kantor pemerintahan dan di sana tertulis nama daerahnya.
Berada di dalam bus yang sedang melaju seharian seolah
tanpa berhenti merupakan pengalaman yang sangat kunikmati. Terlebih saat itu
posisiku tepat di dekat kaca sisi kanan bus. Banyak hal yang bisa kita lihat.
Mulai dari pemandangan alam yang indah, perumahan penduduk, sawah, hingga
aktivitas masyarakat yang kita lewati. Semua berubah, berganti dengan
pemandangan baru, sehingga tidak membosankan. Lagipula, bus yang kutumpangi
adalah bus eksekutif jenis baru. Sangat nyaman. Kursinya 2-2. Maksudnya dua di
kiri dan dua di kanan. Jarak antar kursi juga lumayan nyaman sehingga kaki lebih
luwes. Dan, ini bagian pentingnya, ada port untuk mengecas handphone di setiap kursi.
Dokpri. Bus yang kutumpangi. Bukan Tayo. Aku duduk di baris belakang yg bantalnya terlihat dari kaca. |
Bus yang melaju membuat kita tidak sadar bahwa waktu
juga sedang berjalan. Semua yang terlihat akan tertinggal di belakang kita.
Sementara tubuh ini terus berjalan menjauh – berpindah dan terus berpindah
menjauhi titik lokasi yang di belakang (saat itu aku memantau terus google maps/GPS untuk mengetahui
posisiku). Ini menciptakan kesan melankolis di dalam benakku. Pukul 14.00 -
14.48 makan siang di Lahat. Lagi-lagi waktu istirahat dan makan siang kurang
dari satu jam. Aku makan siang dengan nasi bungkus yang kubawa. Lauknya saat
itu ayam goreng. Awalnya kupikir basi, ternyata tidak. Itulah bekal makanan
yang tersisa. Artinya, untuk perhentian berikutnya, aku harus membeli makanan.
Bus berjalan terus. Kadang melaju cepat kadang melambat.
Meskipun demikian, ini bukan bis kecil ramah. Waktu pun berjalan sampai gelap
datang. Waktu gelap datang, hujan turun. Malam itu bus tidak berhenti sama
sekali sehingga tidak ada waktu untuk makan malam. Tapi, aku tidak kelaparan
karena camilanku masih ada. Apel juga masih ada. Semalaman ternyata hujan
mengguyur seolah-olah mengetahui ke mana kami pergi.
Tahun sebelumnya aku juga naik bus ke Medan untuk
perjalanan pulang kampung. Kisah perjalanan pulang itu aku posting di
kompasiana. Waktu pulang tahun sebelumnya, aku lewat jalur lintas timur
Sumatera. Jalan relatif bagus dan datar. Berbeda dengan kali ini, kami melewati
dataran tinggi, menyusuri sisi bukit barisan yang banyak keloknya. Bus kadang
jalan menanjak, jalan menyempit, lalu menghadapi jalan menurun. Tidak lama
kemudian memasuki kota atau perkampungan yang relatif datar. Begitu seterusnya.
Bedanya lagi adalah kali ini di pinggir jalan banyak terpampang baliho para calon
legistatif, baik daerah maupun pusat.
Tanggal 7.
Bus baru berhenti jam 4.30 pagi untuk sarapan di sebuah
rumah makan. Saat itu bus diistirahatkan dan diperbaiki. Buktinya kami baru
berangkat lewat jam 8. Tiga setengah jam itu kugunakan untuk sarapan dan mandi.
Mungkin karena bus sudah menempuh waktu yang lama yaitu sekitar 14 jam nonstop.
Kami sudah mencapai wilayah Dharmasyara, Padang.
Jam 11 siang memasuki Solok, Padang. Checking di
terminal oleh dinas perhubungan. Kira-kira 15 menit kemudian, makan siang di
sebuah warung kecil di pinggir jalan. Warung makan yang dindingnya papan,
sangat sederhana. Tapi saat itu aku tidak makan karena aku sempat membeli
penganan dari pedagang eceran yang menjajakannya di dalam bus saat tengah
berhenti di dekat terminal. Jadi aku tidak makan. Aku hanya membeli air mineral
kemasan besar satu botol untuk persediaan di jalan. Jam 12 lanjut jalan
menyusuri sisi Danau Singkarak. Indonesia ini sungguh indah. Aku sangat
menikmati keindahan alam di sini. Di seberang sana terlihat sebuah gunung yang
merupakan taman nasional. Di di balik itulah terletak Kota Padang.
Dokpri. Nah ini dia camilan penahan lapar. Solok. |
Hari masih cerah ketika kami tiba di Kota Bukit Tinggi. Artinya
dalam hitungan jam, malamnya, kami akan memasuki wilayah Sumatera Utara. Ketika
malam tiba hujan pun turun sehingga kecepatan bus benar-benar berkurang. Kami melewati
daerah yang naik-turun dan jalanan yang begitu mengkhawatirkan sebab di sisi
jalan banyak tebing yang bisa saja longsor setiap saat. Aku ingat pepatah
mengatakan: lebih baik terlambat, asal selamat. Pepatah ini berlaku saat itu.
Memasuki wilayah Sumatera Utara merupakan pengalaman
mencekam. Hari sudah gelap, hujan turun begitu deras, jalanan sempit, rusak,
dan licin. Ini membuat perjalanan terlambat. Cuaca sangat dingin hingga semua
penumpang mengenakan jaket dan penutup badan. Aku juga begitu. Supir sangat
hati-hati memasuki wilayah ini. Hingga akhirnya berhenti di Kota Nopan,
Mandailing Natal, karena ada penumpang yang turun dan membawa banyak barang. Penumpang
yang lain tidak turun karena hujan.
Dokpri. Hai, kamu... foto sesaat sebelum kedinginan :) |
Perjalanan dilanjutkan kembali. Sekarang menuju daerah
Penyambungan. Jalan relatif lurus, namun rusak. Cuaca masih terasa sangat
dingin. Bus berguncang beberapa kali. Aku tidak bisa tidur walaupun sudah
mencoba memaksakan memejamkan mata. Pikiranku sedikit resah karena akan
kehilangan tiket kapal yang seharusnya berangkat jam 9 malam. Sementara aku
masih di sini. Terpaksa saat itu aku menghubungi calo untuk memesan tiketku
esok hari. Di Penyambungan banyak penumpang yang turun. Namun, banyak juga yang
baru naik, tetapi aku tidak begitu memperhatikannya.
Tiba di Padang Sidempuan, jam 11 malam. Di sana aku
turun. Aku mendatangi agen bus untuk perjalanan berikutnya. Agen mengatakan
bahwa akan disediakan minibus menuju Sibolga dan tidak perlu membayar lagi. Aku
diminta menunggu. Sementara bus melanjutkan perjalanan ke Medan melewati
Sipirok. Padang Sidempuang merupakan persimpangan menuju Sibolga (ke kiri) dan
menuju Sipirok (ke kanan) yang bila dilanjutkan sampai ke Medan. Aku menunggu selama
2 jam sambil duduk di teras seperti gelandangan. Di situlah aku melewati hari
berganti. Aku dapat kenalan di sana yang juga menuju Sibolga. Tujuan akhirnya
adalah Barus. Sementara, tujuan akhirku adalah Nias.
Tanggal 8
Setelah menunggu selama dua jam yang membosankan,
akhirnya minibus yang dimaksud datang. Dini hari, hari sabtu. Harusnya aku
sudah berada di atas kapal saat itu. Berangkat ke Sibolga jam 1 tengah malam.
Tiba di terminal Sibolga jam 3.25 WIB. Aku menuju rumah AD, calo tiket, dan
menginap di sana.
Aku menginap di Sibolga seharian karena kapal baru
berangkat malam hari. Aku istrirahat hingga menjelang siang. Dan tidak
melakukan apa-apa, selain menonton TV, karena badan terasa pegal setelah 3
malam dan 2 hari di perjalanan.
Berangkat ke Gunungsitoli jam 10 malam dengan kapal Wira
Victoria. Kapal Victoria sangat bagus. Berbeda dengan kondisi kapal tahun-tahun
sebelumnya. Aku teringat dengan kapal Merak-Bakaheuni yang sudah disulap
menjadi lebih bagus dan nyaman. Kurasa ini berkat pemerintah yang peduli dengan
transportasi laut. Sebenarnya, menurutku, di kapal lebih menyenangkan ketimbang
di bus. Lebih romantis... andai aku punya kekasih, ehm. Jadi ingat titanic (mimpi). Mungkin suatu hari nanti aku bisa
mewujudkannya (Amin...).
Dokpri. Penampakan dek kapal Wira Victoria |
Dokpri. Pemandangan P. Nias dari atas kapal saat pagi hari. |
Malam itu laut sangat tenang. Langit di luar dipenuhi
bintang. Aku tertidur dengan pulas. Dan tanpa terasa, itulah perjalanan
terakhirku menuju rumah.
Tanggal 9
Rumah, jam 8.30 WIB.
Dokpri. Inilah rumah kami, Sederhana tapi halamannya luas. Sebenarnya foto ini kuambil sehari sebelum balik ke Jakarta. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar