Rabu, 23 Januari 2019

Tiada Terukur


"Tiada terukur besar kasih setia-Mu, Tuhan,“

Kutipan di atas merupakan sebaris lagu rohani kristen. Lanjutannya: dalam dan lebarnya melebihi lautan. Jauh tinggi mengatasi langit, dalamnya tak dapat diselami. Kasih setia-Mu besar selamanya...

Aku menikmati lagu ini di awal tahun 2019 ini. Tepatnya untuk acara “seminar ibadah” yang diadakan oleh perkantas pada 26 Januari 2019. Salah satu lagu yang dipilihkan oleh MC adalah lagu tersebut di atas. Aku sendiri berperan sebagai gitaris. Tim kami terdiri dari MC, dua singers, dua keyboardist, cajonist, bassist, dan aku. Harus kuakui teman-temanku dalam tim ini adalah pemusik yang hebat. Aku, dengan kemampuan yang terbatas, kadang sulit mengikuti permainan musik mereka. Intinya, mereka lebih hebat dariku.

Selama persiapan, seperti biasa kulakukan saat jadi pemusik, aku menyanyikan dan mencoba menghayati lirik lagu sendirian. Terutama saat malam hari sebelum tidur. Rekaman saat latihan juga biasanya membantuku bernyanyi karena aku tidak punya gitar. 

Saat merenungkan lirik lagu ini, terlintas dalam pikiranku tentang bagaimana orang mengukur kasih Tuhan dalam hidup mereka. Sepanjang pengamatanku, banyak orang mengukur kasih Tuhan dengan harta, gelar, jabatan, dan segala macam pencapaian dalam hidup. Lalu aku merefleksikannya juga pada diriku; apakah aku juga seperti itu?

Bukankah kasih Tuhan tidak terukur? Mengapa manusia suka mengukurnya dengan apa yang ada di dunia? 

Secara fisika, mengukur berarti membandingkan sesuatu dengan  sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tersebut harus sudah memiliki standar tertentu sehingga dapat digunakan sebagai pembanding. Lalu bagaimana kita mengukur kasih setia Tuhan? Lirik lagu di atas mengatakan lebarnya melebih lautan, tingginya mengatasi langit, dalamnya tak terselami. Mengagumkan sekali. Tiada terukur.

Tetapi tetap saja manusia, dengan segala kesombongan, membandingkan kasih Tuhan dengan sesuatu yang bersifat duniawi. Ini juga ukuran yang digunakan untuk melihat sesama manusia. Manusia menganggap diri diberkati jika sudah memiliki harta atau gelar atau pencapaian tertentu. Sebaliknya, bila dalam keadaan buruk, selalu menganggap Tuhan tidak mengasihi. (Aku harus mengambil cermin dan berkaca: itu aku)

Demikan juga manusia memperlakukan sesamanya. Menilai orang lain diberkati jika orang tersebut memiliki harta atau jabatan atau pencapaian. Bila sesamanya tidak memiliki apa-apa, maka dengan mudah dianggap sebagai bukan siapa-siapa. Atau sebaliknya, orang yang miskin selalu menganggap diri “rendah” dibanding orang kaya. 

Kembali ke lirik lagu. Tidak ada pembanding di dunia ini yang bisa digunakan untuk mengukur kasih Tuhan. Hanya orang yang angkuh yang tidak mengenal Tuhan yang berani mengukur kasih Tuhan dengan harta dan sebagainya. Segala kekayaan atau jabatan atau pencapaian sesungguhnya hanya berkat tambahan yang dititipkankepada manusia. Dan semua itu tidak bisa dijadikan pengukur kasih Tuhan.

Orang yang menyadari bahwa kasih Tuhan tidak terukur, memiliki hidup yang selalu bersyukur dan rendah hati. Hal ini dibuktikan dengan ibadah. Orang yang bersyukur tidak meninggalkan ibadah. Malahan semakin menikmati ibadah kepada Tuhan walau apa pun yang sedang dialami. Semoga saja aku pun dimampukan untuk itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar