Di sebuah tanah lapang yang luas yang ditumbuhi ilalang dan beberapa
pohon besar terdapat sebongkah batu yang besar. Dari kejauhan, permukaan atas
batu tersebut terlihat menonjol di atas permukaan rumput. Warnanya gelap.
Mungkin karena tiap hari terbakar sinar matahari.
Suatu hari batu ingin tahu bagaimana kondisi di sekitarnya. Namun, ia
bingung tidak tahu caranya. Sebab sejak dulu, sejak ia lahir, atau sejak ia
terlempar di tempatnya itu, ia tidak pernah beranjak ke mana-mana. Bahkan
sesenti pun tidak. Karena itu, batu itu menjalin hubungan dengan angin. Angin
selalu berlalu di atasnya setiap saat. Kadang bertiup kencang kadang pelan.
Angin bisa mengirim kabar, pikirnya. Angin adalah sang petualang.
"Hai, sahabatku Angin," batu memanggil dengan suara parau,
"maukah engkau membantuku?"
"Hai juga, Batu. Apa yang bisa aku perbuat untukmu?" angin
menjawab dengan rendah hati.
"Aku ingin sekali mengetahui keadaan sekitarku. Tapi, Engkau tahu
sendiri bahwa aku tidak mungkin beranjak dari tempatku. Beritahu kepadaku apa
kabar orang-orang desa yang tinggal di sebelah bukit itu," batu pun
menjelaskan keinginan hatinya.
Tanpa bertanya, angin segera pergi. Pucuk-pucuk rerumputan bergerak-gerak
akibat jejek kaki angin.
Sejam kemudian angin kembali menggerakkan rerumputan yang dilaluinya.
"Bagaimana?" tanya batu tidak sabar.
"Orang-orang di desa sedang bekerja. Kulihat para petani membungkuk
di sawah. Para penggembala sapi sedang santai menunggang sapinya. Anak-anak
kecil bermain-main di ladang. Namun, orang-orang desa mengeluhkan harga-harga
kebutuhan yang semakin mahal," sang angin menjelaskan secara rinci apa
yang dia lihat.
"Andaikan aku bisa melihatnya langsung," kata batu kepada
angin.
Batu meminta bantuan lagi kepada angin. "Wahai Angin, maukah sekali
lagi engkau membantuku melihat kondisi orang-orang di kota?" Angin yang
baik hati pun menyanggupinya. Ia langsung pergi. Langsung menghilang dari
hadapan batu.
Perjalanan ke kota agak jauh. Angin agak lama, batu hanya menunggu.
Beberapa jam kemudian. Hari hampir gelap. Angin datang kepada batu
menceritakan semuanya.
"Orang-orang di kota lebih sibuk. Jalanan di sana tidak pernah sepi.
Suhu di sana lumayan panas. Sepertinya semua orang di kota baik-baik saja.
Hanya ada yang agak aneh. Beberapa orang berpakaian rapi, tinggal di rumah yang
bagus. Dan sebagiannya lagi berpakaian kumal. Mereka tinggal di kolong-kolong
jembatan dan pinggiran jalan. Tidak seperti di desa, semua rumah sama terbuat
dari anyaman kulit bambu." Itulah yang diceritakan angin mengenai orang kota, sesuai seperti yang dilihatnya.
Kemudian batu pun berterima kasih kepada angin.
Hari sudah malam. Angin pun pergi. Entah ke mana. Mungkin di balik pohon-pohon,
pikir batu. Batu tetap di tempatnya. Ia cukup senang mengetahui hal-hal yang
tidak dapat dilihatnya. Hingga ia kaget mendengar suara dari kejauhan. Ternyata
itu suara burung hantu yang hinggap di salah satu dahan pohon yang tidak jauh
dari tempat batu berada.
"Hai, batu penyendiri. Bisakah kau mempercayai kabar yang dibawa
oleh angin?" kata burung hantu.
Sang batu tidak menjawab. Ia pura-pura tidur. Padahal dalam hatinya ia
berbisik, "Besok aku akan tanyakan kabar yang sesungguhnya dari
burung."