Namanya Maya.
Perempuan muda baru menikah. Ia sering ditinggal pergi suaminya karena tuntutan
pekerjaan. Ia juga sering ikut berpindah kota kalau suaminya tiba-tiba
dipindah-tugaskan ke kota lain. Meski sekarang bersama keluarga barunya, Maya
kadang merasa kesepian. Tentu ia tidak menyalahkan suaminya akan kondisi ini.
Ia mencintai suaminya. Dia akan hidup bersama suaminya dalam senang dan susah.
Itulah janji pernikahan mereka. Karena sering berpindah tempat, mereka pun
biasa mengontrak rumah. Sudah ada memang rencana membeli rumah permanen, namun
itu masuk dalam rencana jangka panjang mereka, kata suaminya suatu hari.
Tapi siapa sangka
suatu hari Maya mengkhianati pernikahan mereka. Berawal saat mereka mengontrak
rumah di daerah Depok, Jawa Barat. Rumah kontrakan yang juga dihuni oleh orang
lain. Rumah kontrakan itu memang dihuni oleh beberapa keluarga, tapi ada juga yang
penghuninya yang masih sendiri atau belum berkeluarga. Seperti hari-hari
biasanya, rumah itu sering sepi di siang hari karena penghuninya semua telah
berangkat kerja. Dan keadaan akan kembali ramai saat hari telah malam. Kecuali
satu orang, jarak dua kamar di sebelah kamar Maya dan suaminya, seorang pemuda
yang berprofesi sebagai guru, Feri. Profesinya sebagai guru membuatnya pulang
lebih awal dari penghuni kontrakan yang lain. Di pagi hari, biasanya Ferilah
yang terakhir berangkat karena tempatnya bekerja, yaitu di sebuah sekolah,
hanya seratus meter jaraknya dari rumah itu.
Suatu hari, Maya
merasa sangat kesepian. Bosan dengan keadaannya yang sendirian. Pernah ia minta
untuk mencari pekerjaan, namun suaminya tidak mengizinkannya, tentu dengan
alasan suatu hari, yang tidak menentu, mereka akan pindah dari kota itu.
Sebenarnya ini menjadi ujian awal buat mereka. Adanya perbedaan pendapat.
Namun, Maya selalu berusaha untuk tidak memperbesar masalah ini. Ia selalu mencari cara agar tidak bosan ditinggal
sendirian di rumah, di kota yang tidak terlalu ia kenali. Kesibukan paginya
adalah menyapu halaman rumah, meski itu bukan rumah sendiri, yang dipenuhi
dedaunan pohon mangga. Pohon mangga itu tumbuh di sudut pekarangan depan. Dan
tanpa disengaja ia pun sering bertegur sapa dengan Feri. Dan saat sore hari,
saat Feri pulang dari sekolah, mereka sering berpapasan. Saling melempar
senyum. Sejak saat itulah hati Maya mulai goyah. Pernah suatu hari, saat itu
suaminya belum pulang selama tiga hari, ia berpikir, andaikan ia menikah dengan
seorang guru tentu ia tidak akan merasa kesepian. Ia selalu cemburu dengan
pekerjaan Feri yang selalu pulang lebih awal. Ia mulai membandingkan dengan
pekerjaan suaminya yang jarang sekali di rumah.
Setiap kali Feri
pulang kerja, Maya pun membayangkan suaminya yang pulang. Ia sadar ada yang
salah dengan dirinya. Namun ia juga tidak bisa menolak keadaan yang dialaminya.
Ia juga tidak bisa menolak saat hatinya diam-diam menyukai Feri, karena ia
sering bertemu dengannya. Memang mereka jarang bicara. Feri seorang pendiam
namun kelihatannya sangat ramah. Kadang-kadang saat Feri pulang, ditandai
dengan pintu utama rumah itu terbuka, Maya pun bergegas membuka pintu kamarnya
seolah-olah ingin menyambut sang suami, padahal dalam hati kecilnya ia hanya
ingin melihat sosok Feri. Feri memang tidak terlalu tampan, namun pembawaannya
yang tenang dan cuek membuat hati Maya selalu penasaran dengan pribadi pemuda
itu. Lagipula suaminya jarang di rumah.
Maya sadar telah
jatuh ke dalam perselingkuhan diam-diam. Namun keadaanlah yang membuatnya
begitu. Ia masih muda, baru menikah, tentu sangat mendambakan perhatian dari
suaminya. Ia juga tidak ingin
menyalahkan suaminya, meskipun tidak mengizinkannya mencari pekerjaan. Dan,
setelah beberapa bulan, hampir setahun, tinggal di rumah itu, mereka pun
pindah. Entah bagaimana lagi kisah Maya, tidak ada yang tahu. Maya sendiri pun
tidak tahu. Ia hanya mengikuti ke mana hidup ini mengalir.