Rabu, 23 Oktober 2013

Cerita Maya

Namanya Maya. Perempuan muda baru menikah. Ia sering ditinggal pergi suaminya karena tuntutan pekerjaan. Ia juga sering ikut berpindah kota kalau suaminya tiba-tiba dipindah-tugaskan ke kota lain. Meski sekarang bersama keluarga barunya, Maya kadang merasa kesepian. Tentu ia tidak menyalahkan suaminya akan kondisi ini. Ia mencintai suaminya. Dia akan hidup bersama suaminya dalam senang dan susah. Itulah janji pernikahan mereka. Karena sering berpindah tempat, mereka pun biasa mengontrak rumah. Sudah ada memang rencana membeli rumah permanen, namun itu masuk dalam rencana jangka panjang mereka, kata suaminya suatu hari.

Tapi siapa sangka suatu hari Maya mengkhianati pernikahan mereka. Berawal saat mereka mengontrak rumah di daerah Depok, Jawa Barat. Rumah kontrakan yang juga dihuni oleh orang lain. Rumah kontrakan itu memang dihuni oleh beberapa keluarga, tapi ada juga yang penghuninya yang masih sendiri atau belum berkeluarga. Seperti hari-hari biasanya, rumah itu sering sepi di siang hari karena penghuninya semua telah berangkat kerja. Dan keadaan akan kembali ramai saat hari telah malam. Kecuali satu orang, jarak dua kamar di sebelah kamar Maya dan suaminya, seorang pemuda yang berprofesi sebagai guru, Feri. Profesinya sebagai guru membuatnya pulang lebih awal dari penghuni kontrakan yang lain. Di pagi hari, biasanya Ferilah yang terakhir berangkat karena tempatnya bekerja, yaitu di sebuah sekolah, hanya seratus meter jaraknya dari rumah itu.

Suatu hari, Maya merasa sangat kesepian. Bosan dengan keadaannya yang sendirian. Pernah ia minta untuk mencari pekerjaan, namun suaminya tidak mengizinkannya, tentu dengan alasan suatu hari, yang tidak menentu, mereka akan pindah dari kota itu. Sebenarnya ini menjadi ujian awal buat mereka. Adanya perbedaan pendapat. Namun, Maya selalu berusaha untuk tidak memperbesar masalah ini. Ia selalu  mencari cara agar tidak bosan ditinggal sendirian di rumah, di kota yang tidak terlalu ia kenali. Kesibukan paginya adalah menyapu halaman rumah, meski itu bukan rumah sendiri, yang dipenuhi dedaunan pohon mangga. Pohon mangga itu tumbuh di sudut pekarangan depan. Dan tanpa disengaja ia pun sering bertegur sapa dengan Feri. Dan saat sore hari, saat Feri pulang dari sekolah, mereka sering berpapasan. Saling melempar senyum. Sejak saat itulah hati Maya mulai goyah. Pernah suatu hari, saat itu suaminya belum pulang selama tiga hari, ia berpikir, andaikan ia menikah dengan seorang guru tentu ia tidak akan merasa kesepian. Ia selalu cemburu dengan pekerjaan Feri yang selalu pulang lebih awal. Ia mulai membandingkan dengan pekerjaan suaminya yang jarang sekali di rumah.

Setiap kali Feri pulang kerja, Maya pun membayangkan suaminya yang pulang. Ia sadar ada yang salah dengan dirinya. Namun ia juga tidak bisa menolak keadaan yang dialaminya. Ia juga tidak bisa menolak saat hatinya diam-diam menyukai Feri, karena ia sering bertemu dengannya. Memang mereka jarang bicara. Feri seorang pendiam namun kelihatannya sangat ramah. Kadang-kadang saat Feri pulang, ditandai dengan pintu utama rumah itu terbuka, Maya pun bergegas membuka pintu kamarnya seolah-olah ingin menyambut sang suami, padahal dalam hati kecilnya ia hanya ingin melihat sosok Feri. Feri memang tidak terlalu tampan, namun pembawaannya yang tenang dan cuek membuat hati Maya selalu penasaran dengan pribadi pemuda itu. Lagipula suaminya jarang di rumah.


Maya sadar telah jatuh ke dalam perselingkuhan diam-diam. Namun keadaanlah yang membuatnya begitu. Ia masih muda, baru menikah, tentu sangat mendambakan perhatian dari suaminya. Ia juga tidak  ingin menyalahkan suaminya, meskipun tidak mengizinkannya mencari pekerjaan. Dan, setelah beberapa bulan, hampir setahun, tinggal di rumah itu, mereka pun pindah. Entah bagaimana lagi kisah Maya, tidak ada yang tahu. Maya sendiri pun tidak tahu. Ia hanya mengikuti ke mana hidup ini mengalir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar