Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan
tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Dua paragraf di atas kukutip dari UURI No.20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan sebagai usaha sadar dan
terencana menunjukkan bahwa proses pendidikan bukanlah hal yang dilakukan
begitu saja seperti melemparkan dadu lalu menunggu hasil mata dadu berapa yang
akan muncul. Juga menunjukkan bahwa kita tahu apa yang akan kita kerjakan. Perencanaan,
secara ringkas, adalah menentukan terlebih dahulu apa yang akan dilakukan. Penentuan
itu dilakukan secara sadar. Dalam pendidikan, rencana ini dituangkan dalam
kurikulum. Melihat kondisi saat ini, berlakunya dua kurikulum (KTSP dan
Kur-2013) di dunia pendidikan kita sungguh menunjukkan kekacauan sistem pendidikan
nasional kita. Kukira kita semua tahu bagaimana solusinya, yaitu berlakukan
satu kurikulum.
Bagaimana dengan ‘mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran’? Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Suasana belajar yang
tentunya menyenangkan dan menumbuhkan minat untuk belajar. Kenyataan di
lapangan, banyak sekolah yang guru-gurunya tidak mampu, tidak mau, tidak serius
dalam mengajar. Seorang siswa pindahan dari sekolah lain menceritakan alasannya
pindah ke sekolah kami sekarang. Katanya, guru-guru di sekolah sebelumnya
jarang sekali masuk. Apalagi mengajar. Dan tidak ada guru pengganti. Para siswa
dibiarkan begitu saja tanpa diberi pengetahuan. Bagaimana dengan
sekolah-sekolah yang kekurangan guru?
Mengenai kondisi guru-guru. Saya tidak bermaksud
menyamaratakan semua guru, tetapi masih terdapat guru-guru yang tidak disiplin,
tidak mampu mengajar, dan sering melanggar aturan. Contohnya saat aku mengawas ujian
nasional di suatu sekolah. Sudah jelas aturannya bahwa pengawas tidak boleh
membawa alat komunikasi ke ruang ujian. Kenyataannya? Ada pengawas yang bermain
HP. Saat kepala dinas atau pengawas sekolah sidak, para guru pengawas yang
melanggar aturan tersebut langsung berpura-pura mengawas dengan serius. Padahal
jelas sebelumnya sedang bermain dengan gadgetnya. Tentu masih banyak lagi
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh guru. Karena itu, bagi guru-guru
yang berdedikasi tinggi, mampu mengajar, dan memiliki wawasan luas, patut
diberi penghargaan setinggi-tingginya. Penghargaan setinggi-tingginya tidak
sama dengan sertifikasi. Terbukti, sudah ada penelitiannya, sertifikasi guru
tidak berpengaruh pada peningkatan kualitas pendidikan. Saya termasuk tidak
setuju dengan sertifikasi. Menurutku sertifikasi hanya cocok untuk suatu alat,
mesin misalnya, yang harus disertifikasi karena kualitas produksinya. Tapi guru,
bagaimana mengukur keberhasilan guru? Di pihak lain, guru-guru yang tidak
disiplin, tidak mampu mengajar mesti diberi pembinaan dan pelatihan agar bisa
menjadi guru yang sesungguh-sungguhnya.
“…agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Kutipan ini merupakan lanjutan dari
usaha sadar, terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran. Bayangkan, bagaimana kalimat tersebut bisa terwujud bila kalimat
sebelumnya masih belum terpenuhi? Upaya pemerintah sudah bagus, dengan
memberhentikan Kur-2013, meski belum sepenuhnya. Juga dengan memberhentikan
ujian nasional sebagai standar kelulusan. Hal ini merupakan langkah maju. Kurikulum
2013, yang pelaksanaannya kacau, perlu dievaluasi dan dimatangkan, agar benar-benar
bisa diterapkan dan mampu mewujudkan cita-cita nasional khususnya di dunia
pendidikan. Ujian nasional, menurutku,
ditiadakan saja. Kalau pun harus tetap diadakan, hanya untuk pemetaan
pendidikan dan dilakukan di beberapa sekolah saja sebagai sampel yang mewakili
seluruh sekolah yang ada di Indonesia. Ini bisa menghemat pengeluaran negara. Langkah
selanjutnya adalah memikirkan cara menentukan atau criteria kelulusan. Menurutku,
sekolahlah yang paling berperan dalam menentukan kelulusan, namun, tetap
diawasi oleh pemerintah.
Sejauh yang kuamati, pelajar kita masih belum aktif
dalam mengembangkan potensi dirinya. Pikiran mereka masih dijejali pengetahuan
dari para guru. Cara berpikir mereka masih belum mandiri, ingin yang mudah dan
cepat, dan berdaya juang rendah. Belum lagi kebiasaan mereka yang bisa bertahan
lama memainkan gadget, tapi untuk membaca buku, sebentar saja sudah malas. Sekali
lagi, saya tidak bermaksud menyamaratakan semua pelajar. Masalah lainnya,
banyak pelajar kita mudah terpengaruh dengan ajakan-ajakan ekstrimisme. Ini karena
tidak biasa berpikir kritis. Untuk menghadapi ini, satu-satunya cara adalah
mengajarkan nilai-nilai Pancasila kepada pelajar.
Bagaimana arah pendidikan kita ke depan? Memang belum
terlihat jelas. Dan hal ini perlu diberi perhatian penuh. Terutama dalam
menentukan filsafat pendidikan kita yang harus sejalan dengan nilai-nilai Pancasila
sebagai filsafat dan pandangan hidup bangsa. Baru kemudian merumuskan kurikulum
yang tepat. Ini adalah tugas semua pihak. Pemerintah, pendidik, dan seluruh
elemen masyarakat. Selamat hari Pendidikan Nasional.