Hari keempat mengawas UN di salah satu SMP
swasta di Cibinong. Dari hari pertama, guru-guru di sini terlambat. Guru lain
(pengawas UN) yang malah datang duluan. Bahkan hari pertama, kepala sekolahnya
terlambat. Kabarnya, kepseknya adalah anak pendiri dan pemilik yayasan ini.
Murid-muridnya juga tidak disiplin, tidak tertib saat ujian berlangsung.
Pengawas harus tegas.
Tapi, sekilas kubaca visi sekolahnya, salah
satu poinnya, disiplin waktu. Kenyataannya tidak begitu. Apakah ini hanya
terjadi di sekolah ini? Atau masih banyak sekolah yang seperti ini? Sekolah
yang didirikan karena uang, bisnis, 'nama baik' keluarga, atau motivasi salah,
tidak akan memperhatikan kualitas alias sekolah asal-asalan.
Dua
praragraf di atas kutuliskan di halaman facebookku beberapa saat sebelum memasuki
ruang ujian untuk mengawas. Aku mengawas ujian di salah satu SMP swasta di
Cibinong. Lokasinya agak jauh dari jalan raya Bogor. Kondisi bangunan
sekolahnya sederhana. Sebagaian sedang dalam pembangunan ruangan baru.
Dibandingkan dengan gedung sekolah tempatku mengajar, yang juga sekolah swasta,
cukup jauh berbeda. Bukan bermaksud sombong. Masalahnya bukanlah pada gedungnya
– megah atau sederhana, besar atau kecil – tapi pada kualitas sekolahnya.
Kualitas yang kumaksud, misalnya, adalah kedisiplinan guru, sikap dan perilaku
para pelajarnya, dan prestasi belajar siswanya. Masih banyak kualitas yang lain
yang bisa dijadikan ukuran kualitas suatu sekolah.
Aku
kaget, bercampur heran, pada saat hari pertama mengawas. Kepala sekolahnya
sendiri terlambat dengan alasan urusan keluarga. Datang jam 07.20 WIB. Padahal seharusnya,
sesuai tata tertib ujian, pengawas dan peserta ujian memasuki ruangan pada jam
07.10 (dua puluh menit sebelum mulai mengerjakan soal). Sementara saat itu
kami, para pengawas, masih berada di ruang pengawas menunggu kepala sekolah
untuk arahan sebelum ujian. Hasilnya, pengawas dan peserta ujian masuk jam
07.35 WIB. Sangat jauh dari tata tertib ujian, pukul 07.10 WIB. Pada waktu jam
ujian berakhir, tidak ada tanda atau bel berbunyi, sehingga para pengawas
dengan inisiatif sendiri mengakhiri dan meninggalkan ruang ujian. Hari kedua,
ketiga dan keempat, kupikir ada perubahan. Ternyata tidak. Aku sengaja datang lebih
awal. Guru-guru di sana belum ada yang datang. Sementara murid sudah menunggu.
Apakah
ini gambaran sekolah di Indonesia? Banyak sekolah swasta didirikan namun tidak
memedulikan kualitas. Entah apa motivasi para pendirinya? Bagi mereka yang
memiliki modal, uang banyak, bisa mendirikan sekolah. Apalagi sekarang
pemerintah menaruh perhatian penuh terhadap pendidikan dengan anggaran dua
puluh persen dari APBN/D. Beberapa orang
yang saya tanyai, siapa pemilik sekolah, ada beragam jawaban. Mulai dari
pejabat, mantan pejabat, pebisnis kaya, dan yayasan tertentu. “Orang-orang kaya”
ini memanfaatkan kesempatan dengan mendirikan sekolah dengan harapan mendapat
bantuan dari pemerintah. Dana bantuan operasional sekolah (BOS) sering
dijadikan sarana memperkaya diri. Sering kita dengar bahwa banyak kepala
sekolah melakukan korupsi dana BOS. Namun, di balik itu, mungkin masih banyak
lagi yang korupsi namun tidak pernah terungkap karena ‘kedekatan’ kepala
sekolah dengan pihak dinas.
Dari
perbincangan di ruang pengawas (hari terakhir UN), salah satu rekan pengawas
bercerita bahwa dia sedang mendirikan sebuah sekolah. Tapi masih dalam proses. Dalam
waktu singkat, tercipta perbincangan antara kepala sekolah (tempat kami
mengawas) dengan rekan pengawas tersebut. Kepala sekolah, yang sudah pengalaman,
membagikan kisahnya kepada rekan tersebut. Juga mengenai bantuan-bantuan dari
pemerintah, pusat dan daerah. Inti perbincangannya semua seputar uang – bagaimana
memperoleh bantuan, uang, dari pemerintah. Bukannya membahas bagaimana menciptakan
sekolah yang berkualitas, menghasilkan murid yang berkarakter, atau
menghasilkan murid yang berprestasi. Tidak. Semua tentang uang.
Aku
membayangkan, seandainya banyak pendiri sekolah memikirkan soal uang melulu,
kapan pendidikan Indonesia akan berkembang? Apa yang benar-benar diusahakan
adalah usaha untuk mendapat keuntungan, bukan tujuan sejati pendidikan –
menciptakan manusia seutuhnya. Memang sekolah swasta membutuhkan dana untuk
operasionalnya, gaji guru dan karyawan, pembangunan gedung, namun jika tidak
memikirkan tentang kualitas sekolah, maka sekolah sudah dijadikan
komoditi/barang dagangan. Kalau tidak punya cukup uang untuk membiayai pendirian
sekolah, lebih baik jangan mendirikan sekolah. Kalau untuk berbisnis atau
tujuan mendapat keuntungan, lebih baik jangan mendirikan sekolah. Dengan kata
lain, berdagang produk/jasa lain saja. Jangan sekolah. Karena sekolah, sebagai
lembaga pendidikan, tidak bisa disamakan dengan usaha dagang lain. Pendidikan lebih
tertuju kepada menciptakan manusia seutuhnya yang mampu mengenal diri sendiri
dan mampu mengenal, beradaptasi, memecahkan masalah lingkungannya. Entah masalah
sosial atau pun masalah lingkungan fisik (alam). Jadi, seharusnya pendiri
sekolah memikirkan hal tersebut, bukannya malah mendirikan sekolah-sekolahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar