Sabtu, 09 Mei 2015

Sekolah-sekolahan

Hari keempat mengawas UN di salah satu SMP swasta di Cibinong. Dari hari pertama, guru-guru di sini terlambat. Guru lain (pengawas UN) yang malah datang duluan. Bahkan hari pertama, kepala sekolahnya terlambat. Kabarnya, kepseknya adalah anak pendiri dan pemilik yayasan ini. Murid-muridnya juga tidak disiplin, tidak tertib saat ujian berlangsung. Pengawas harus tegas.

Tapi, sekilas kubaca visi sekolahnya, salah satu poinnya, disiplin waktu. Kenyataannya tidak begitu. Apakah ini hanya terjadi di sekolah ini? Atau masih banyak sekolah yang seperti ini? Sekolah yang didirikan karena uang, bisnis, 'nama baik' keluarga, atau motivasi salah, tidak akan memperhatikan kualitas alias sekolah asal-asalan.

Dua praragraf di atas kutuliskan di halaman facebookku beberapa saat sebelum memasuki ruang ujian untuk mengawas. Aku mengawas ujian di salah satu SMP swasta di Cibinong. Lokasinya agak jauh dari jalan raya Bogor. Kondisi bangunan sekolahnya sederhana. Sebagaian sedang dalam pembangunan ruangan baru. Dibandingkan dengan gedung sekolah tempatku mengajar, yang juga sekolah swasta, cukup jauh berbeda. Bukan bermaksud sombong. Masalahnya bukanlah pada gedungnya – megah atau sederhana, besar atau kecil – tapi pada kualitas sekolahnya. Kualitas yang kumaksud, misalnya, adalah kedisiplinan guru, sikap dan perilaku para pelajarnya, dan prestasi belajar siswanya. Masih banyak kualitas yang lain yang bisa dijadikan ukuran kualitas suatu sekolah.

Aku kaget, bercampur heran, pada saat hari pertama mengawas. Kepala sekolahnya sendiri terlambat dengan alasan urusan keluarga. Datang jam 07.20 WIB. Padahal seharusnya, sesuai tata tertib ujian, pengawas dan peserta ujian memasuki ruangan pada jam 07.10 (dua puluh menit sebelum mulai mengerjakan soal). Sementara saat itu kami, para pengawas, masih berada di ruang pengawas menunggu kepala sekolah untuk arahan sebelum ujian. Hasilnya, pengawas dan peserta ujian masuk jam 07.35 WIB. Sangat jauh dari tata tertib ujian, pukul 07.10 WIB. Pada waktu jam ujian berakhir, tidak ada tanda atau bel berbunyi, sehingga para pengawas dengan inisiatif sendiri mengakhiri dan meninggalkan ruang ujian. Hari kedua, ketiga dan keempat, kupikir ada perubahan. Ternyata tidak. Aku sengaja datang lebih awal. Guru-guru di sana belum ada yang datang. Sementara murid sudah menunggu.

Apakah ini gambaran sekolah di Indonesia? Banyak sekolah swasta didirikan namun tidak memedulikan kualitas. Entah apa motivasi para pendirinya? Bagi mereka yang memiliki modal, uang banyak, bisa mendirikan sekolah. Apalagi sekarang pemerintah menaruh perhatian penuh terhadap pendidikan dengan anggaran dua puluh persen dari APBN/D.  Beberapa orang yang saya tanyai, siapa pemilik sekolah, ada beragam jawaban. Mulai dari pejabat, mantan pejabat, pebisnis kaya, dan yayasan tertentu. “Orang-orang kaya” ini memanfaatkan kesempatan dengan mendirikan sekolah dengan harapan mendapat bantuan dari pemerintah. Dana bantuan operasional sekolah (BOS) sering dijadikan sarana memperkaya diri. Sering kita dengar bahwa banyak kepala sekolah melakukan korupsi dana BOS. Namun, di balik itu, mungkin masih banyak lagi yang korupsi namun tidak pernah terungkap karena ‘kedekatan’ kepala sekolah dengan pihak dinas.

Dari perbincangan di ruang pengawas (hari terakhir UN), salah satu rekan pengawas bercerita bahwa dia sedang mendirikan sebuah sekolah. Tapi masih dalam proses. Dalam waktu singkat, tercipta perbincangan antara kepala sekolah (tempat kami mengawas) dengan rekan pengawas tersebut. Kepala sekolah, yang sudah pengalaman, membagikan kisahnya kepada rekan tersebut. Juga mengenai bantuan-bantuan dari pemerintah, pusat dan daerah. Inti perbincangannya semua seputar uang – bagaimana memperoleh bantuan, uang, dari pemerintah. Bukannya membahas bagaimana menciptakan sekolah yang berkualitas, menghasilkan murid yang berkarakter, atau menghasilkan murid yang berprestasi. Tidak. Semua tentang uang.

Aku membayangkan, seandainya banyak pendiri sekolah memikirkan soal uang melulu, kapan pendidikan Indonesia akan berkembang? Apa yang benar-benar diusahakan adalah usaha untuk mendapat keuntungan, bukan tujuan sejati pendidikan – menciptakan manusia seutuhnya. Memang sekolah swasta membutuhkan dana untuk operasionalnya, gaji guru dan karyawan, pembangunan gedung, namun jika tidak memikirkan tentang kualitas sekolah, maka sekolah sudah dijadikan komoditi/barang dagangan. Kalau tidak punya cukup uang untuk membiayai pendirian sekolah, lebih baik jangan mendirikan sekolah. Kalau untuk berbisnis atau tujuan mendapat keuntungan, lebih baik jangan mendirikan sekolah. Dengan kata lain, berdagang produk/jasa lain saja. Jangan sekolah. Karena sekolah, sebagai lembaga pendidikan, tidak bisa disamakan dengan usaha dagang lain. Pendidikan lebih tertuju kepada menciptakan manusia seutuhnya yang mampu mengenal diri sendiri dan mampu mengenal, beradaptasi, memecahkan masalah lingkungannya. Entah masalah sosial atau pun masalah lingkungan fisik (alam). Jadi, seharusnya pendiri sekolah memikirkan hal tersebut, bukannya malah mendirikan sekolah-sekolahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar