PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Pendidikan merupakan hal yang sangat
penting, sebab biasanya kualitas kecerdasan manusia dilihat dari seberapa
tinggi seseorang tersebut mengenyam pendidikan. Tidak hanya itu dengan adanya
pendidikan, manusia juga dapat mencapai pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan
cara bekerja. Bukan hal yang istimewa lagi jika banyak orang berlomba-lomba
untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Pemerintah juga tidak main-main
dalam menggalakkan pendidikan, terbukti dari adanya salah satu peraturan yang
mengatur tentang pendidikan. Peraturan tersebut tertuang dalam UUD Negara
Republik Indonesia tahun 1945 pasal 31 ayat (1) disebutkan bahwa: Tap-tiap
warga negara berhak mendapatkan pengajaran; ayat (2) Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan
undang-undang. Dari penjelasan pasal ini pemerintah memberikan petunjuk bahwa
pemerintah mendapatkan amanat untuk menjamin hak-hak warga negara dalam
mendapatkan layanan pendidikan, selain itu pemerintah juga berkewajiban untuk
menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional.
Kepedulian pemerintah akan
pendidikan juga terlihat pada besarnya alokasi dana untuk pendidikan dari APBN,
ini membuktikan keseriusan pemerintah untuk menjamin tiap-tiap warga negaranya
agar mendapatkan pendidikan yang layak. Namun sayangnya hal ini tidak disadari
betul oleh masyarakat, sebab masih banyak masyarakat yang menganggap pendidikan
bukan hal yang utama dalam mencapai kesejahteraan hidup. Selain itu pemerintah
juga tidak mengawasi betul pengalokasian dana tersebut, sebab sebagian
masyarakat yang menyadari akan pentingnya pendidikan masih sulit dalam
mengenyam pendidikan.
Pendidikan masih terasa sangat mahal bagi sebagian masyarakat yang garis kehidupannya masih rata-rata di bawah garis kemiskinan. Masih ada ketimpangan antara sesama warga negara dalam mengenyam pendidikan. Untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang baik dirasakan sangat mahal bagi sebagian masyarakat. Apalagi saat ini pemerintah mewajibkan wajib belajar 12 tahun. Hal ini juga yang menjadi kecemasan bagi masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya walau dengan harga yang sangat mahal. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian masyarakat. Seharusnya pemerintah mengadakan pemerataan terhadap pendidikan. Pengalokasian dana tersebut harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat demi tercapainya pendidikan yang memadai. Seharunsya pendidikan bukan hal yang sulit untuk didapat di tengah era reformasi seperti ini.
Di
samping itu muncul juga masalah lain dalam dunia pendidikan kita, yaitu tren
ijazah palsu. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan memang masih
rendah. Terbukti dengan tren ijazah palsu. Masyarakat cenderung memilih cara
yang mudah, walaupun salah, tidak memikirkan bahwa proses pendidikan itu sangat
penting. Keinginan untuk memperoleh gelar yang diinginkan tidak diiringi oleh
sikap yang benar untuk meraihnya.
Hal
ini juga dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat kita pada umumnya yang
menganggap bahwa orang yang menyandang gelar tertentu dipandang sebagai orang
penting atau orang yang berkedudukan tinggi dalam masyarakat. Tidak peduli
apakah orang yang memiliki gelar tersebut mampu menyelesaikan permasalahan di
masyarakat atau tidak. Asalkan ada ijazah dan gelar, maka sudah dipandang
hebat. Dalam arti yang lain, gelar menunjukkan status sosial seseorang dalam
masyarakat.
Selanjutnya,
hal ini juga didukung oleh sistem penerimaan tenaga kerja/pegawai di Indonesia,
baik pegawai negeri sipil maupun swasta, masih mengutamakan perolehan ijazah
namun mengabaikan proses pendidikan. Barangsiapa yang memiliki ijazah, maka
berhak mendapat posisi yang bagus. Semakin tinggi gelar semakin tinggi pula
posisi yang ditawarkan. Gelar ditunjukkan oleh perolehan ijazah.
Kondisi
ini memberikan peluang bagi oknum, kelompok, bahkan lembaga tertentu untuk
mengeluarkan ijazah palsu. Yang penting orang yang membutuhkan ijazah tersebut
mampu membayar sesuai tarif yang diberikan. Tentu semakin tinggi gelar yang
diharapkan semakin besar pula biaya pembelian ijazah palsunya.
Bagaimana
respon pemerintah untuk mengatasi hal ini? Sepertinya pemerintah terkesan
membiarkan masalah ini. Memang beberapa kali terdengar di televisi atau dimuat
di surat kabar tentang beberapa lembaga pendidikan, bahkan kampus negeri pun,
yang mengeluarkan ijazah palsu. Namun, tidak ada tindak lanjut yang memberikan
efek jera kepada oknum, kelompok atau lembaga yang melakukan hal tersebut.
Identifikasi Masalah
Dari
penjelasan di atas dapat diindentifikasi beberapa masalah:
- Perolehan ijazah palsu dan penggunaan gelar terkesan ‘dibiarkan’ oleh pemerintah.
- Penyesuaian jabatan dipengaruhi oleh ijazah dengan mengorbankan proses pendidikan.
- Gelar kesejahteraan menjadi status sosial bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
- Lembaga pendidikan yang mengeluarkan ijazah diikuti gelar akademiknya lebih berorientasi materi dibanding pertimbangan akademisnya.
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menganalisis upaya pemerintah, dalam
hal ini secara khusus kementerian pendidikan dan kebudayaan, dalam mengatasi
beredarnya ijazah palsu dalam masyarakat.
PEMBAHASAN
Kebijakan pendidikan di Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU ini tercantum ketentuan pidana bagi orang,
organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah tidak sesuai
dengan persyaratan, yaitu pada bab XX pasal 67, 68, dan 69, sebagai berikut:
Pasal 67
- Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 68
- Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
- Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
- Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
- Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 69
- Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
- Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Sudah jelas sebenarnya bahwa pemberian ijazah kepada yang
tidak berhak, penggunaan ijazah oleh orang yang tidak memenuhi syarat,
penggunaan ijazah dari lembaga yang tidak memenuhi syarat, dan penggunaan
ijazah palsu akan dipidanakan. Dalam arti lain bahwa perbuatan tersebut, secara
khusus penggunaan ijazah palsu, merupakan tindak pidana yang harus diadili.
Sementara tindakan pemalsuan diatur dalam KUHP bab XII pasal
263 dan 264 tentang pemalsuan surat. Kedua pasal tersebut adalah sebagai
berikut:
Pasal
263:
- Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
- Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan, seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pasal
264
(1) Pemalsuan surat diancam dengan
pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:
- akta-akta otentik;
- surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
- surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai;
- talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
- surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.
(2) Diancam dengan pidana yang sama
barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang
isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu,
jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
ANALISIS
Tindakan
pemberian dan penggunaan ijazah palsu merupakan tindakan pidana yang memiliki
landasan hukum. Secara yuridis-formal penggunaan ijazah palsu melanggar
ketentuan hukum positif Indonesia. Di antaranya UU No. 1 tahun 1964 tentang
peraturan hukum pidana pasal 263 ayat(1) dan ayat (2) jo pasal 264 ayat(1) dan
ayat (2), UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 69
ayat(1).
Baik
UU No. 1 tahun 1964 maupun UU No. 20 tahun 2003, keduanya merupakan kebijakan
pemerintah yang bertujuan untuk menindak pelaku pemalsu ijazah. Kebijakan
pemerintah ini harus ditegakkan. Dalam penegakkan kebijakan ini, menurut
penulis, pemerintah masih belum tegas. Hal ini ditandai dengan masih adanya
lembaga yang mengeluarkan ijazah palsu.
Pertanyaan
sekarang adalah apakah kebijakan pemerintah tersebut efektif? Apakah kebijakan
tersebut bisa menyelesaikan masalah peredaran ijazah palsu? Bila dilihat dari
kenyataan, masih didapati ijazah palsu beredar di masyarakat. Ini menunjukkan
bahwa kebijakan ini belum efektif. Bisa juga dikatakan bahwa kebijakan ini
tidak memberikan efek jera terhadap pelaku, organisasi atau pun lembaga
pendidikan.
Bagaimana
caranya agar kebijakan ini terlaksana dengan baik? Pemerintah harus bekerja
sama dengan masyarakat. Harus ada tambahan kebijakan, bila masyarakat menemukan
tindakan pemalsuan, maka segera melaporkannya kepada pihak yang berwajib.
Oleh karena itu,
peran serta masyarakat untuk mendorong penegakan hukum khususnya untuk menjerat
oknum yang terlibat dalam penggunaan ijazah palsu adalah muthlak diperlukan.
Sebab untuk kasus pengusutan ijazah palsu, terlebih dahulu institusi kepolisian
harus menerima pengaduan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan ijazah
yang diduga palsu.
Selanjutnya, untuk
memberi efek jera maka harus dibuat ketentuan bahwa bila suatu lembaga
pendidikan terbukti memberikan ijazah palsu, maka akreditasi program studi yang
bersangkutan harus diturunkan akreditasinya atau dicabut. Bila sudah
diperingati dan diberi sanksi berulangkali namun tetap mengulangi tindakan
pemalsuan, maka izin operasional lembaga bersangkutan harus dicabut. Tidak
diizinkan melanjutkan operasional.
Untuk pelaku
individual atau pengguna ijazah palsu harus diberi sanksi seberat-beratnya.
Opsinya mungkin seperti ini: bila pelaku terbukti menggunakan ijazah palsu maka
harus dipidana penjara dan tidak diizinkan lagi melamar di instansi pemerintah
(PNS).
PENUTUP
Kesimpulan
Kebijakan pemerintah dalam hal menindak pemberian ijazah palsu belum
menimbulkan efek jera kepada pelaku, baik perorangan, organisasi, maupun
penyelenggara pendidikan.
Untuk kebijakan
pemerintah yang ada saat ini sudah baik, tinggal implementasinya saja yang
masih kurang. Hal ini bisa diatasi dengan cara melibatkan masyarakat dalam
melaporkan peredaran ijazah palsu.
Saran
Untuk pemerintah
diharapkan, sebaiknya menambah peraturan atau kebijakan yang membuat efek jera
kepada pelaku. Lebih berupaya lagi dalam implementasi kebijakannya.
Wew, Pak Aris punya blog juga ternyata. Nice artikel Pak.
BalasHapusTerima kasih, Pak Ndraha.
Hapusmaksih banyak pak
BalasHapus