sumber: republika |
Apa yang
terpikirkan olehmu ketika mendengar kata 'kalah'?
Kalah
merupakan akibat atau hasil yang diperoleh setelah menghadapi suatu situasi.
Kalah biasa dipahami dalam situasi persaingan, peperangan, atau ujian.
Dalam KBBI,
kalah berarti tidak menang, kehilangan atau merugi karena tidak menang, tidak
lulus dalam ujian, tidak menyamai, kurang dari. Kalah bisa diartikan kebalikan
dari menang. Dari semua arti itu, kalah bisa juga berarti gagal atau tidak
memperoleh apa-apa.
Saya yakin
tidak ada seorang pun ingin kalah. Tim sepakbola berlatih dengan serius untuk
menang, bukan untuk kalah. Seorang pelajar giat belajar agar lulus, bukan agar
tidak lulus. Pebisnis tidak ingin kalah dari pesaingnya. Semua tidak ingin kalah.
Mengapa orang
tidak mau kalah? Menurutku ada beberapa alasan. Pertama, ingin menjadi yang
utama. Motivasi tertinggi manusia melakukan sesuatu adalah aktualisasi diri;
ingin menunjukkan diri kepada dunia - inilah aku, aku hebat, aku mampu, aku
kaya, dan seterusnya. Semua tentang kebanggaan diri. Bayangkan bila dalam
kondisi kalah, seketika kebanggaan diri tadi lenyap. Sebab itu setiap orang
menghindari kekalahan.
Kedua, tidak
ingin diremehkan. Terkadang ada orang berusaha keras untuk mencapai sesuatu,
misalnya kekuasaan atau kekayaan, hanya karena dia tidak ingin diremehkan oleh
orang lain. Segala usaha dikerjakan dengan sungguh-sungguh hingga mencapai apa
yang diinginkan. Oleh karena itu, pantang baginya untuk kalah.
Ketiga,
tidak ingin merugi. Alasan ketiga ini biasanya terjadi pada persaingan dengan
mempertaruhkan sesuatu. Artinya, jika kalah maka akan kehilangan sesuatu
tersebut. Apalagi jika sudah mempertaruhkan semua yang dimiliki. Jadi sebisa
mungkin menang dan jangan sampai kalah.
Mungkin masih
terdapat alasan lain mengapa kita tidak ingin kalah. Tetapi, intinya menurutku
adalah tentang harga diri kita. Kekalahan membuat kita terlihat bodoh, tidak
berdaya, kurang perjuangan, dan seterusnya.
Masalahnya,
di setiap pertandingan selalu ada pihak yang menang dan kalah. Tidak mungkin
keduanya menang. Kita menyaksikan sendiri kemeriahan dunia sepak bola. Ketika
tim idola kita mencapai final, maka betapa kita ikut terhanyut dalam
kegembiraan. Kemudian pada partai final tersebut tim idola kita ternyata
dikalahkan oleh pihak lawan. Kita pun ikutan sedih.
Selanjutnya....
Kehidupan kita
tidak melulu soal pertandingan atau persaingan. Tetapi tanpa sadar kita
membuatnya seperti itu. Kita melihat tetangga yang kelihatannya memiliki hidup
enak, sedangkan kita penuh kekurangan. Kita pun menjadi iri dan merasa kurang
dari mereka. Sementara tetangga tersebut tidak pernah merasa seperti itu.
Tanpa sadar kita
melihat keberhasilan atau kesuksesan rekan-rekan kita, lalu membandingkan
keberadaan kita dengan mereka. Kita akhirnya berkata aku gagal, aku kalah. Padahal
sesungguhnya mereka juga memiliki pergumulan sendiri yang membuat mereka kadang
menyerah. Hal tersebut luput dari pengamatan kita. Kita tidak melihat bagaimana
mereka berjuang.
Ketika seorang
teman lama menelpon dan ia bercerita tentang tempat kerjanya, penghasilannya,
dan segala sesuatu. Semuanya terdengar ‘wah’ menurut kita. Saat giliran diminta
bercerita, kita dengan enggan, kadang malu, menceritakan semuanya. Tidak
percaya diri dengan pekerjaan sendiri.
Ini bisa
terjadi juga saat kita mendengarkan seorang rekan studi lanjut, bisnisnya
berkembang, anaknya semakin tumbuh besar, dan sebagainya, dan sebagainya. Intinya,
kita berpikir bahwa kita kurang dari mereka. Dengan kata lain, kalah.
Manusia memang
begitu. Begitu jernih melihat orang lain daripada melihat diri sendiri.
Ada sebuah
kutipan begini, “penulis drama yang dramanya tidak pernah sukses harus dengan
legowo berhipotesis bahwa semua karyanya adalah drama yang buruk”. Kalimat itu
berasal dari Bertrand Russel yang dikutip dari sebuah buku yang sedang kubaca
saat menuliskan tulisan ini.
Kutipan di
atas, menurutku, dapat ditujukan kepada siapa saja yang sedang merasa kalah. Kekalahan
bukanlah kenyataan yang kita sukai. Tetapi itu sangat mungkin terjadi pada
kita. Oleh karena itu, ada beberapa saran dariku tentang cara menghadapi
kekalahan.
Pertama,
kita harus rendah hati. Sikap rendah hati membuat hati kita siap menerima
kenyataan; bahwa kita bukanlah orang yang istimewa. Sering terjadi bahwa kita
menganggap diri istimewa sehingga kita lupa kita bukanlah siapa-siapa.
Kedua,
koreksi diri. Untuk mengoreksi diri, kita memerlukan pandangan seorang teman,
sahabat, atau rekan. Dan, ini penting, kita harus siap menerima fakta dan
kebenaran tentang kita. Mengapa butuh orang lain? Ingat, kita sering melihat
diri sendiri dengan tidak jernih. Jadi, untuk membuatnya jernih dan jelas, kita
butuh orang lain. Ini berlaku juga untuk sebuah tim.
Coba bayangkan:
sebutkan apa yang Anda lihat di depan Anda saat ini. Mungkin saja smartpon,
dinding kamar, atau hal lainnya. Kita bisa menyebutkannya dengan tepat. Tetapi coba
sebutkan apa yang sedang Anda rasakan saat ini. Sedih, bahagia, bingung, atau
galau? Sepertinya sulit menentukan dengan tepat apa yang kita rasakan saat ini.
Sebab perasaan kita mudah sekali berubah. Oleh sebab itu, kita membutuhkan
orang lain untuk menunjukkan kesalahan kita.
Ketiga,
sadari bahwa hidup ini tidak selalu tentang persaingan. Bahkan di era disrupsi
ini yang diperlukan adalah kolaborasi, bukan persaingan. Dengan kehidupan
pribadi kita pun demikian. Turut bahagia mendengar rekan sukses, turut sedih
ketika orang lain sedih. Sulit ya? Hehehe
Jadi, yang keempat, bersyukurlah selalu. Ingatlah bahwa
keadaan kita saat ini merupakan anugerah yang tiada tara dari Tuhan. Tidak perlu
membandingkan diri dengan orang lain. (O,
Tuhan, mampukan aku mengalami ini!)
Belum lama ini aku bertemu dengan seorang sahabat
(anggaplah sahabat hahaha). Kami saling bertukar cerita. Kadang jalan cerita
kami hampir sama, tetapi lebih sering berbeda. Ada yang menarik dari ceritanya.
Ternyata dia
mengalami ketidakpercayaan diri, dan berusaha keluar dari kondisi tersebut,
ketika ia membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Namun, ia sejenak
merenungkan bahwa keadaannya saat ini pun merupakan anugerah Tuhan yang begitu
besar, jika ia melihat kehidupannya dulu. Mengapa harus membandingkan diri
dengan orang lain.
Setelah membaca
ulang tulisan ini, rasanya semuanya tertuju ke wajahku hahaha. Sekian dulu
sampai di sini. Dibaca syukur, tidak dibaca gak mungkin. Karena kalau sudah
baca kalimat terakhir hampir pasti sudah dibaca hehehe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar