Senin, 11 November 2019

KALAH

Hasil gambar untuk kalah
sumber: republika



Apa yang terpikirkan olehmu ketika mendengar kata 'kalah'?



Kalah merupakan akibat atau hasil yang diperoleh setelah menghadapi suatu situasi. Kalah biasa dipahami dalam situasi persaingan, peperangan, atau ujian.



Dalam KBBI, kalah berarti tidak menang, kehilangan atau merugi karena tidak menang, tidak lulus dalam ujian, tidak menyamai, kurang dari. Kalah bisa diartikan kebalikan dari menang. Dari semua arti itu, kalah bisa juga berarti gagal atau tidak memperoleh apa-apa.



Saya yakin tidak ada seorang pun ingin kalah. Tim sepakbola berlatih dengan serius untuk menang, bukan untuk kalah. Seorang pelajar giat belajar agar lulus, bukan agar tidak lulus. Pebisnis tidak ingin kalah dari pesaingnya. Semua tidak ingin kalah.



Mengapa orang tidak mau kalah? Menurutku ada beberapa alasan. Pertama, ingin menjadi yang utama. Motivasi tertinggi manusia melakukan sesuatu adalah aktualisasi diri; ingin menunjukkan diri kepada dunia - inilah aku, aku hebat, aku mampu, aku kaya, dan seterusnya. Semua tentang kebanggaan diri. Bayangkan bila dalam kondisi kalah, seketika kebanggaan diri tadi lenyap. Sebab itu setiap orang menghindari kekalahan.



Kedua, tidak ingin diremehkan. Terkadang ada orang berusaha keras untuk mencapai sesuatu, misalnya kekuasaan atau kekayaan, hanya karena dia tidak ingin diremehkan oleh orang lain. Segala usaha dikerjakan dengan sungguh-sungguh hingga mencapai apa yang diinginkan. Oleh karena itu, pantang baginya untuk kalah.



Ketiga, tidak ingin merugi. Alasan ketiga ini biasanya terjadi pada persaingan dengan mempertaruhkan sesuatu. Artinya, jika kalah maka akan kehilangan sesuatu tersebut. Apalagi jika sudah mempertaruhkan semua yang dimiliki. Jadi sebisa mungkin menang dan jangan sampai kalah.



Mungkin masih terdapat alasan lain mengapa kita tidak ingin kalah. Tetapi, intinya menurutku adalah tentang harga diri kita. Kekalahan membuat kita terlihat bodoh, tidak berdaya, kurang perjuangan, dan seterusnya.



Masalahnya, di setiap pertandingan selalu ada pihak yang menang dan kalah. Tidak mungkin keduanya menang. Kita menyaksikan sendiri kemeriahan dunia sepak bola. Ketika tim idola kita mencapai final, maka betapa kita ikut terhanyut dalam kegembiraan. Kemudian pada partai final tersebut tim idola kita ternyata dikalahkan oleh pihak lawan. Kita pun ikutan sedih.



Selanjutnya....



Kehidupan kita tidak melulu soal pertandingan atau persaingan. Tetapi tanpa sadar kita membuatnya seperti itu. Kita melihat tetangga yang kelihatannya memiliki hidup enak, sedangkan kita penuh kekurangan. Kita pun menjadi iri dan merasa kurang dari mereka. Sementara tetangga tersebut tidak pernah merasa seperti itu.



Tanpa sadar kita melihat keberhasilan atau kesuksesan rekan-rekan kita, lalu membandingkan keberadaan kita dengan mereka. Kita akhirnya berkata aku gagal, aku kalah. Padahal sesungguhnya mereka juga memiliki pergumulan sendiri yang membuat mereka kadang menyerah. Hal tersebut luput dari pengamatan kita. Kita tidak melihat bagaimana mereka berjuang.



Ketika seorang teman lama menelpon dan ia bercerita tentang tempat kerjanya, penghasilannya, dan segala sesuatu. Semuanya terdengar ‘wah’ menurut kita. Saat giliran diminta bercerita, kita dengan enggan, kadang malu, menceritakan semuanya. Tidak percaya diri dengan pekerjaan sendiri.



Ini bisa terjadi juga saat kita mendengarkan seorang rekan studi lanjut, bisnisnya berkembang, anaknya semakin tumbuh besar, dan sebagainya, dan sebagainya. Intinya, kita berpikir bahwa kita kurang dari mereka. Dengan kata lain, kalah.



Manusia memang begitu. Begitu jernih melihat orang lain daripada melihat diri sendiri.



Ada sebuah kutipan begini, “penulis drama yang dramanya tidak pernah sukses harus dengan legowo berhipotesis bahwa semua karyanya adalah drama yang buruk”. Kalimat itu berasal dari Bertrand Russel yang dikutip dari sebuah buku yang sedang kubaca saat menuliskan tulisan ini.



Kutipan di atas, menurutku, dapat ditujukan kepada siapa saja yang sedang merasa kalah. Kekalahan bukanlah kenyataan yang kita sukai. Tetapi itu sangat mungkin terjadi pada kita. Oleh karena itu, ada beberapa saran dariku tentang cara menghadapi kekalahan.



Pertama, kita harus rendah hati. Sikap rendah hati membuat hati kita siap menerima kenyataan; bahwa kita bukanlah orang yang istimewa. Sering terjadi bahwa kita menganggap diri istimewa sehingga kita lupa kita bukanlah siapa-siapa.



Kedua, koreksi diri. Untuk mengoreksi diri, kita memerlukan pandangan seorang teman, sahabat, atau rekan. Dan, ini penting, kita harus siap menerima fakta dan kebenaran tentang kita. Mengapa butuh orang lain? Ingat, kita sering melihat diri sendiri dengan tidak jernih. Jadi, untuk membuatnya jernih dan jelas, kita butuh orang lain. Ini berlaku juga untuk sebuah tim.



Coba bayangkan: sebutkan apa yang Anda lihat di depan Anda saat ini. Mungkin saja smartpon, dinding kamar, atau hal lainnya. Kita bisa menyebutkannya dengan tepat. Tetapi coba sebutkan apa yang sedang Anda rasakan saat ini. Sedih, bahagia, bingung, atau galau? Sepertinya sulit menentukan dengan tepat apa yang kita rasakan saat ini. Sebab perasaan kita mudah sekali berubah. Oleh sebab itu, kita membutuhkan orang lain untuk menunjukkan kesalahan kita.



Ketiga, sadari bahwa hidup ini tidak selalu tentang persaingan. Bahkan di era disrupsi ini yang diperlukan adalah kolaborasi, bukan persaingan. Dengan kehidupan pribadi kita pun demikian. Turut bahagia mendengar rekan sukses, turut sedih ketika orang lain sedih. Sulit ya? Hehehe


Belum  lama ini aku bertemu dengan seorang sahabat (anggaplah sahabat hahaha). Kami saling bertukar cerita. Kadang jalan cerita kami hampir sama, tetapi lebih sering berbeda. Ada yang menarik dari ceritanya.

Ternyata dia mengalami ketidakpercayaan diri, dan berusaha keluar dari kondisi tersebut, ketika ia membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Namun, ia sejenak merenungkan bahwa keadaannya saat ini pun merupakan anugerah Tuhan yang begitu besar, jika ia melihat kehidupannya dulu. Mengapa harus membandingkan diri dengan orang lain.

Jadi, yang keempat, bersyukurlah selalu. Ingatlah bahwa keadaan kita saat ini merupakan anugerah yang tiada tara dari Tuhan. Tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain. (O, Tuhan, mampukan aku mengalami ini!)



Setelah membaca ulang tulisan ini, rasanya semuanya tertuju ke wajahku hahaha. Sekian dulu sampai di sini. Dibaca syukur, tidak dibaca gak mungkin. Karena kalau sudah baca kalimat terakhir hampir pasti sudah dibaca hehehe
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar