Kamis, 13 Maret 2014

Cerita yang tidak penting (2)

Aku bertemu dengan seorang anak yang akan kuajari. Anak yang diasuh pembantu dan bukan ibunya. Ceritaku ini masih lanjutan cerita sebelumnya. Ya, cerita yang tidak penting. Kupikir anak yang kutemui berbadan sehat karena menurut pengamatanku, dengan rumah sebesar istana raja, tidak mungkin anak ini kelaparan. Bahkan terkena cahaya matahari yang membakar kulit pun tidak. Dugaanku salah. Si anak berbadan gemuk terlihat lemas dan berkacamata tebal. Dengan ramah kami berkenalan. Namanya Frans. Dia duduk di kelas 8 SMP. Pendiam. Kalau aku tidak menanyakan apa pun, dia akan diam. Mencoba mengenalnya lebih dekat, aku terus mengajaknya bicara. Tentunya dengan bertanya. Mulai dari hobinya, kegiatannya sehari-hari, keluarganya dan lain-lain. Ada rasa kesepian dari dalam dirinya. Dan yang membuatku kaget, dia merindukan ibunya yang sering tidak berada di rumah. Dia hanya berbicara dengan pengasuh, si Sus, itu pun kalau ada yang diperlukan. Frans tidak terlalu menyukai Sus, pengasuhnya, meskipun ia memanggilnya 'ibu'. Ia tahu Sus bukan ibunya. Sehari-hari Frans hanya sendirian di kamar, mengerjakan pe-er yang banyak, kadang-kadang ia berenang di kolam yang berada di halaman belakang, atau bermain game. Jadi boleh dibilang Frans kurang bergaul dengan dunia luar. Frans tidak mempunyai kelainan atau mengidap autis. Tidak. Menurutku, ia hanya terlalu sering menyendiri. Dunianya sudah dibatasi oleh kemegahan rumah. Padahal di luar, terbentang dunia yang lebih luas. Ketika kutanyakan pengasuhnya, ternyata orang tuanyalah yang memaksanya begitu. Dilarang melakukan berbagai hal, apalagi kalau ke luar rumah harus ditemani sopir dan pengasuh. 

Kalau melihat hal seperti ini, aku jadi bersyukur dengan masa kecilku. Walau tidak kaya, perhatian dari orang tua selalu kudapatkan. Aku bisa menikmati udara pedesaan yang sejuk, bekerja di sawah atau di ladang, pernah juga jualan sayur berkeliling komplek perumahan, punya teman bermain, hingga aku merantau sejak lulus SMA. Pernah hidup susah, namun kesusahan itu yang membentukku menjadi lebih mandiri. 

Kembali kepada Frans. Sejak kehadiranku, ia mulai banyak bicara. Malahan ia memintaku menemaninya bermain, sebab ia sudah bosan belajar dari buku. Kepalanya hampir pecah dengan tugas-tugas yang sangat banyak, katanya. Tapi yang membuatku tidak nyaman di rumah itu adalah pengasuhnya, yang kujuluki manusia ganda-tunggal. Aku sulit membedakan apakah dia laki-laki atau perempuan. Sehingga kadang kupanggil dia 'mbak' kadang 'mas', tapi dia bilang panggil aja "Sus'.hahaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar