Rabu, 12 Maret 2014

Cerita yang tidak penting

Aku pernah mengajar les privat di salah satu perumahan elit di ibukota. Pertama kali masuk ke sana, aku sedikit bingung. Rumahnya bagus-bagus tersembunyi di balik pagar beton yang besar-besar. Sepi. Kebingunganku adalah aku tidak tahu bagaimana bisa masuk ke dalam rumah yang kutuju. Dan ternyata, setelah memberanikan diri, maklum baru masuk wilayah orang kaya, aku melihat dari celah gerbang ada pos satpam di balik pagar beton itu. Segera kutekan bel yang memaksaku meninggikan kakiku karena belnya cukup tinggi menempel di sisi gerbang. Pak satpam pun bergerak mendekat. Menanyakan maksud kedatanganku. Tidak lama aku disuruh menunggu. Ada seseorang muncul dari dalam rumah. Dari gayanya berjalan kupikir perempuan, ternyata laki-laki. Ah, nada suaranya pun seperti perempuan. Dia mengenalkan diri sebagai pengasuh anak yang akan kuajari.

Aku pun masuk ke dalam rumah. Tidak melewati pintu depan, melainkan lewat samping, sebuah garasi mobil, dan ketika masuk, astaga garasinya indah sekali. Dua mobil mewah diam di sana. Belum lagi satu mobil di luar yang sempat kulihat pada waktu kupikir aku masuk lewat pintu depan. Si pengasuh anak, yang kupanggil 'Sus', dia yang bilang begitu, mengoceh panjang lebar saat kami masuk. Katanya tuan besar dan nyonya besar (pemilik rumah) sedang tidak di rumah. Juga si nyonya paling besar (sang nenek) sedang menjalankan bisnis di luar. "Lalu kenapa ada tiga mobil di rumah?" aku bertanya. "Itu mobil yang tidak dipakai hari ini," jawab si Sus. "Astaga, berarti ada enam mobil, mewah pula." "Tidak, sebenarnya ada tujuh mobil, satunya lagi dipakai bos besar (anak tertua)," lanjut si Sus. Aku terkaget-kaget.

Ceritaku di atas tidak terlalu penting. Itu hanya sepenggal cerita bagaimana aku mencari uang di awal masaku sebagai lulusan perguruan tinggi. Aku hanya membayangkan berapa jiwa yang tercukupi kebutuhannya seandainya mobil-mobil di rumah si kaya tadi dijual lalu uangnya dipakai untuk membantu orang miskin? Daripada didiamkan di garasi? Dan aku membayangkan jalanan di ibukota, Jakarta, bebas macet kalau saja orang-orang cukup rendah hati naik transportasi umum?

Ah, itulah hidup, kata orang dewasa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar