Nila seorang mahasiswi di salah satu kampus di sebuah kota kecil nan indah. Seorang mahasiswi jurusan biologi. Sederhana penampilannya, namun menarik. Dia punya banyak teman di kampus. Selain disibukkan oleh aktivitas kuliah, dia juga kadang-kadang membantu ibunya di rumah. Kakaknya adalah tempat ia mencurahkan hati bila sedang dalam masalah, apapun. Namun, kadang-kadang kakaknya terlalu sibuk bekerja.
Siapa yang pernah menjalani masa-masa indah selama kuliah? Tentu semua yang pernah kuliah. Tak terkecuali Nila. Selain kebersamaan dengan teman-teman, yang selalu memberikan semangat, Nila juga mengalami masa yang indah, yang spesial, yaitu jatuh cinta. Ah, siapa yang tidak pernah jatuh cinta.
Kisah ini dimulai sejak ia mengenal seorang pria. Edo namanya. Entah apa yang membuatnya jatuh cinta. Cinta memang tak butuh alasan. Singkat cerita Nila dan Edo berpacaran. Mereka menjalin hubungan dengan didasari kesetiaan. Setia... itu kata yang mereka pilih untuk perjalanan cinta mereka. Alangkah indahnya sebuah kisah cinta bila kesetiaan menjadi kata yang mengiringi tiap-tiap langkah. Kata itu menjadi penjaga sebuah hubungan. Itulah yang diyakini oleh Nila.
Suatu ketika, dalam hitungan detik, seperti disambar petir, Nila harus menerima kenyataan bahwa Edo kini berjalan dengan gadis lain. Saat itu Edo sedang praktek di suatu tempat, lalu berkenalan dengan seorang gadis, Ani namanya. Edo sering pulang dengan Ani. Mungkin karena sering bersama, tumbuhlah cinta di antara mereka. Cinta yang salah. Sebab Edo sudah punya kekasih. Kini Edo bersama Ani. Bertelfon-telfonan, berbalasan sms, dan jalan bersama. Hingga suatu hari Nila mengetahui segalanya.
"Aku menyesal, ternyata kesetiaan itu tak ada padamu," bisik Nila dalam hati sambil menangis. Sakit sekali. Cinta yang ia titipkan, mudah saja dikhianati oleh Edo. Rasa sakit, cemburu, hancur berkeping-keping, itulah yang dirasakan Nila tiap kali ia membayangkan Edo bersama Ani. Entah kenapa bayang-bayang itu selalu mendatanginya.
Bukan perkara mudah bagi Nila untuk melupakan Edo. Nila masih mencinta pria itu, namun ia juga tak mengharapkannya lagi. Nila takut kecewa. Seiring waktu bergulir, Edo pun perlahan menjauh. Yang tersisa kini hanyalah perih dan luka di hati Nila. Semakin jauh ia biarkan Edo pergi, semakin sedih hatinya.
Serpihan-serpihan kenangan bersama Edo memang masih menghiasi malam-malamnya. Namun, satu hal yang ia pahami bahwa ketika ia menangis, itu berarti hatinya masih utuh walau menderita. Suatu hari kelak, hati yang ia jaga ini akan menemukan cinta sejatinya.
"Selamat berbahagia untukmu, Edo. Kuikhlaskan kau bersamanya," bisik Nila dengan sisa tenaga yang ia miliki.
Nila masih melanjutkan kuliahnya walau tanpa Edo kini. Tugas akhir menanti. Ia harus fokus. Masa depannya jauh lebih berarti.
Rabu, 30 Juli 2014
Senin, 28 Juli 2014
Hidup
Hidup lebih penting dari apa pun; lebih penting dari fasilitas hidup, lebih penting dari kegagalan hidup, kebanggaan hidup, keberhasilan hidup.
Marilah kita menjaga hidup kita. Hidup adalah anugerah Tuhan. Bayangkan saja Anda tidur malam hari dan paginya tidak pernah bangun lagi. Aku pernah membayangkannya dan itu membuatku takut tidur.hehehe Cukup mengerikan rasanya.
Aku pernah mendengar bahwa kematian berarti kita kehilangan diri kita sendiri. Kita tidak merasakan kaki, tangan, dan badan kita lagi. Kita tidak melihat dunia sekeliling kita. Tidak merasakan apapun.
Kalau kita bangun pagi, mendengar kicau burung (dari kandang burung tetangga sekalipun), merasakan matahari pagi, itu berarti kita masih hidup. Bersyukurlah.
Marilah kita menjaga hidup kita. Hidup adalah anugerah Tuhan. Bayangkan saja Anda tidur malam hari dan paginya tidak pernah bangun lagi. Aku pernah membayangkannya dan itu membuatku takut tidur.hehehe Cukup mengerikan rasanya.
Aku pernah mendengar bahwa kematian berarti kita kehilangan diri kita sendiri. Kita tidak merasakan kaki, tangan, dan badan kita lagi. Kita tidak melihat dunia sekeliling kita. Tidak merasakan apapun.
Kalau kita bangun pagi, mendengar kicau burung (dari kandang burung tetangga sekalipun), merasakan matahari pagi, itu berarti kita masih hidup. Bersyukurlah.
Kamis, 24 Juli 2014
Mau Sukses?
Belajar delapan jam sehari di luar jam kuliah. Itu adalah pesan wali kelasku dulu saat aku lulus SMA. Waktu itu aku sedang mengurus surat keterangan kelulusan karena ijazah belum keluar, sementara aku harus berangkat ke luar pulau esok harinya. Pesan itu masih kuingat sampai sekarang. Belajar dan belajar kalau ingin berhasil. Pada kenyataannya memang aku tidak mampu melakukan pesan itu hingga aku lulus sarjana.
Kemarin aku membaca satu buku tentang mendidik anak. Salah satu babnya berisi tulisan Prof. Yohanes Surya. Siapa yang tidak kenal dengan Prof Yohanes Surya? Kalau tidak kenal, keterlaluan.
Judul bab itu 'Memotivasi Anak Gemar Belajar dan Membaca'. Dimulai dengan penjelasan salah satu percobaan fisika. Pasir yang dituang ke atas bidang datar akan membentuk gunung dengan kemiringan tertentu. Bila pasir ditambah terus, gunungnya juga makin besar dengan kemiringan yang tetap. Gunung pasir tersebut mengatur dirinya sendiri (self organizing), seberapa banyak pun kita tuang. Betul juga ya. Aku tidak pernah memikirkan itu sebelumnya.
Selanjutnya dijelaskan, ternyata mengatur diri sendiri berlaku di semua bidang kehidupan. Ini dinamakan berada pada kondisi kritis. Tidak ada pilihan lain. Seperti pasir tadi tidak punya pilihan, mereka harus mengatur diri sendiri agar bisa bertahan.
Inilah yang diterapkan oleh Prof. Yohanes Surya kepada anak-anaknya. Ia memberikan satu pilihan saja: membaca buku. Tidak ada pilihan lain. Ia juga menerapkan ilmu ini kepada siswa-siswa peserta olimpiade. Tidak ada pilihan lain selain belajar fisika. Dilarang nonton tv. Inilah yang disebut kondisi kritis. Pilihannya hanya belajar kalau mau berhasil. Ada lagi yang berkesan yaitu proses belajar para sang juara olimpiade. Mereka belajar sampai 16 jam sehari selama dua bulan penuh sebelum lomba. (Wow... luuar biasa!). Itu pun di awal-awal Indonesia ikut olimpiade fisika dan baru mampu meraih medali perak. Baru tahun-tahun berikutnya, demi medali emas, waktu persiapan selama satu tahun. Kalau aku di posisi mereka, aku pasti tidak sanggup. Tapi, kalau mereka bisa, mengapa aku tidak?
Bagaimana agar anak gemar belajar? Tempatkan mereka pada kondisi kritis. Itu pesan Prof. Yohanes Surya.
Terkait menonton tv, ternyata bisa mengurangi konsentrasi. Perhatikan saja, kita sedang menonton sebuah acara, lalu tiba-tiba terpotong oleh iklan. Begitu terus. Konsentrasi kita diaduk-aduk. Akibatnya kita menjadi mudah bosan. Baru lima menit membaca, sudah capek. Itulah alasan Prof. Yohanes Surya melarang peserta olimpiade fisika menonton tv.
Namun, sekarang bukan hanya televisi yang menjadi media hiburan. Malah makin bertambah. Misalnya gadget, smartfon, playstation, media sosial dan lain-lain. Dan sedihnya, hampir semua anak sekolah telah terikat akan peralatan-peralatan ini; bukannya belajar dengan sungguh-sungguh. Masalahnya, anak-anak sekarang tidak diletakkan di kondisi kritis. Mereka punya banyak pilihan. Tentu mereka akan memilih hal yang menyenangkan. Parahnya justru hal yang menyenangkan itulah yang membuat anak-anak menggunakan otaknya untuk hal yang mudah-mudah; bukannya berpikir kritis.
Pesan wali kelasku di atas memang benar, meski masih jauh dari standar peserta olimpiade. Itupun tidak kulakukan. Ternyata banyak waktu yang kubuang sia-sia. Harus tobat nih. Melatih diri berada pada kondisi kritis. Tidak ada pilihan selain belajar. Pilih yang lain berarti gagal.
Kemarin aku membaca satu buku tentang mendidik anak. Salah satu babnya berisi tulisan Prof. Yohanes Surya. Siapa yang tidak kenal dengan Prof Yohanes Surya? Kalau tidak kenal, keterlaluan.
Judul bab itu 'Memotivasi Anak Gemar Belajar dan Membaca'. Dimulai dengan penjelasan salah satu percobaan fisika. Pasir yang dituang ke atas bidang datar akan membentuk gunung dengan kemiringan tertentu. Bila pasir ditambah terus, gunungnya juga makin besar dengan kemiringan yang tetap. Gunung pasir tersebut mengatur dirinya sendiri (self organizing), seberapa banyak pun kita tuang. Betul juga ya. Aku tidak pernah memikirkan itu sebelumnya.
Selanjutnya dijelaskan, ternyata mengatur diri sendiri berlaku di semua bidang kehidupan. Ini dinamakan berada pada kondisi kritis. Tidak ada pilihan lain. Seperti pasir tadi tidak punya pilihan, mereka harus mengatur diri sendiri agar bisa bertahan.
Inilah yang diterapkan oleh Prof. Yohanes Surya kepada anak-anaknya. Ia memberikan satu pilihan saja: membaca buku. Tidak ada pilihan lain. Ia juga menerapkan ilmu ini kepada siswa-siswa peserta olimpiade. Tidak ada pilihan lain selain belajar fisika. Dilarang nonton tv. Inilah yang disebut kondisi kritis. Pilihannya hanya belajar kalau mau berhasil. Ada lagi yang berkesan yaitu proses belajar para sang juara olimpiade. Mereka belajar sampai 16 jam sehari selama dua bulan penuh sebelum lomba. (Wow... luuar biasa!). Itu pun di awal-awal Indonesia ikut olimpiade fisika dan baru mampu meraih medali perak. Baru tahun-tahun berikutnya, demi medali emas, waktu persiapan selama satu tahun. Kalau aku di posisi mereka, aku pasti tidak sanggup. Tapi, kalau mereka bisa, mengapa aku tidak?
Bagaimana agar anak gemar belajar? Tempatkan mereka pada kondisi kritis. Itu pesan Prof. Yohanes Surya.
Terkait menonton tv, ternyata bisa mengurangi konsentrasi. Perhatikan saja, kita sedang menonton sebuah acara, lalu tiba-tiba terpotong oleh iklan. Begitu terus. Konsentrasi kita diaduk-aduk. Akibatnya kita menjadi mudah bosan. Baru lima menit membaca, sudah capek. Itulah alasan Prof. Yohanes Surya melarang peserta olimpiade fisika menonton tv.
Namun, sekarang bukan hanya televisi yang menjadi media hiburan. Malah makin bertambah. Misalnya gadget, smartfon, playstation, media sosial dan lain-lain. Dan sedihnya, hampir semua anak sekolah telah terikat akan peralatan-peralatan ini; bukannya belajar dengan sungguh-sungguh. Masalahnya, anak-anak sekarang tidak diletakkan di kondisi kritis. Mereka punya banyak pilihan. Tentu mereka akan memilih hal yang menyenangkan. Parahnya justru hal yang menyenangkan itulah yang membuat anak-anak menggunakan otaknya untuk hal yang mudah-mudah; bukannya berpikir kritis.
Pesan wali kelasku di atas memang benar, meski masih jauh dari standar peserta olimpiade. Itupun tidak kulakukan. Ternyata banyak waktu yang kubuang sia-sia. Harus tobat nih. Melatih diri berada pada kondisi kritis. Tidak ada pilihan selain belajar. Pilih yang lain berarti gagal.
Apa yang kita kejar?
Cepat. Dunia semakin cepat. Perkembangan teknologi, perubahan masyarakat, pekerjaan, dan lain sebagainya terasa cepat. Siapa yang tidak merasakan kecepatan ini? Barangkali mereka yang tinggal di pedesaan.
Aku dari desa. Beda rasanya tinggal di kota dan di desa. Di desa tenang, tentram, jalanan sepi. Apalagi kalau sudah malam. Yang terdengar suara-suara serangga malam, bunyi kodok, atau suara burung hantu. Kalau di kota? O...jangan tanya. Kita mesti buru-buru. Takut telat. Sudah begitu, jalanan macet.
Bicara soal kecepatan di dunia kerja, tentu seorang pekerja sangat paham hal ini. Dimulai dari pagi hari. Bangun. Mandi. Bersiap-siap. Lalu berangkat. Pulang malam. Semua dilakukan sering dengan buru-buru. Belum lagi tuntutan dari kantor. Target harus tercapai, program harus berhasil, pesaing-pesaing harus dikalahkan, harus ada inovasi baru, dan lain sebagainya. Sungguh menguras tenaga dan emosi. Dengan kata lain melelahkan. Belum habis masalah kemarin, muncul masalah baru. Begitu terus setiap hari. Bayangkan kalau kita berpikir lambat, apalagi bertindak lambat. Bisa-bisa kita langsung kehilangan pekerjaan. Dibutuhkan berpikir cepat dan bertindak cepat.
Lihat sekitar kita. Apa yang terlihat? Orang-orang bergerak cepat. Kita bertemu orang yang berbeda di jalan. Selain rekan kerja, kita bertemu orang yang berbeda setiap hari. Cara-cara bertingkah setiap oang juga berbeda. Semua berubah dengan cepat. Nilai-nilai dalam masyarakat juga berubah. Misalnya dalam hal berkomunikasi. Tegur sapa mulai berkurang. Senyuman juga memudar. Semua berkutat dengan smarfon, deadline yang mendesak, dan pekerjaan. Lingkungan sekitar jadi terabaikan. Termasuk orang lain.
Kalau yang satu ini yaitu perkembangan teknologi, semua pasti sudah tahu. Dalam waktu cepat teknologi berubah. Generasi tua sangat merasakan ini. Biasanya anak-anak lebih menguasai teknologi baru ketimbang orang tuanya. Peralatan canggih selalu muncul. Alasannya sih bagus yaitu untuk memudahkan pekerjaan manusia. Tapi seiring perkembangan teknologi, terjadi hal yang memprihatinkan yaitu hilangnya kesadaran masyarakat akan dunia nyata. Karena sudah dimanjakan oleh teknologi terbaru, kita mengabaikan orang lain, alam sekitar, dan diri kita sebagai manusia.
Masih banyak lagi hal yang berubah dengan cepat. Misalnya fashion. Aku tidak paham tentang hal ini. Yang aku tahu setiap waktu selalu muncul mode-mode terbaru. Orang-orang berebut memiliki pakaian yang sedang trendi. Atau apalah.
Kalau kita berpikir kritis, untuk apa semua itu? Apa arti perkembangan zaman? Kepada siapa kita ingin membuktikan pencapaian kita? Kita maju ke arah mana? Apa artinya berkembang dengan cepat? Apa manfaatnya? Apa yang kita cari? Apa yang kita inginkan? Masih banyak pertanyaan lain. Ini saja belum dijawab. Namun, silakan tambahkan pertanyaan sendiri (kalau ada).
Aku pernah mengikuti kamp tahunan alumni. Di salah satu sesi acaranya, seorang pembicara mengatakan, "kita tidak perlu membuktikan kepada siapapun semua pencapaian kita." Kalimatnya berkesan buatku. Sangat mendalam. Untuk apa bekerja keras, belajar mati-matian, untuk apa mengejar hal tertentu, kalau untuk 'dipamerkan' kepada orang lain, buat apa? Sia-sia. Kalau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apakah perlu bekerja sampai larut malam? Apa sih yang kita harapkan? Kebahagiaan.
Inilah jebakan dunia. Dunia menawarkan kebahagiaan versinya. Dunia menawarkan, kalau kita mencapai ini-itu, kita akan bahagia. Padahal saat mencapainya justru kita makin susah.
Di salah satu buku yang kubaca, bahagia itu sederhana. Menghirup udara pagi, menikmati cahaya matahari pagi, menikmati pekerjaan sebagai panggilan hidup, menikmati tidur nyenyak malam hari. Cukup. Kalau orang berpikir seperti ini, maka mereka akan menikmati hidup. Mengatur jadwal dengan pas. Tidak lagi terburu-buru. Irama hidup juga melambat.
Masih mau berpikir untuk maju? Silakan saja asal jangan salah memaknai kemajuan itu. Nanti yang didapat cuma: lelah.
Aku dari desa. Beda rasanya tinggal di kota dan di desa. Di desa tenang, tentram, jalanan sepi. Apalagi kalau sudah malam. Yang terdengar suara-suara serangga malam, bunyi kodok, atau suara burung hantu. Kalau di kota? O...jangan tanya. Kita mesti buru-buru. Takut telat. Sudah begitu, jalanan macet.
Bicara soal kecepatan di dunia kerja, tentu seorang pekerja sangat paham hal ini. Dimulai dari pagi hari. Bangun. Mandi. Bersiap-siap. Lalu berangkat. Pulang malam. Semua dilakukan sering dengan buru-buru. Belum lagi tuntutan dari kantor. Target harus tercapai, program harus berhasil, pesaing-pesaing harus dikalahkan, harus ada inovasi baru, dan lain sebagainya. Sungguh menguras tenaga dan emosi. Dengan kata lain melelahkan. Belum habis masalah kemarin, muncul masalah baru. Begitu terus setiap hari. Bayangkan kalau kita berpikir lambat, apalagi bertindak lambat. Bisa-bisa kita langsung kehilangan pekerjaan. Dibutuhkan berpikir cepat dan bertindak cepat.
Lihat sekitar kita. Apa yang terlihat? Orang-orang bergerak cepat. Kita bertemu orang yang berbeda di jalan. Selain rekan kerja, kita bertemu orang yang berbeda setiap hari. Cara-cara bertingkah setiap oang juga berbeda. Semua berubah dengan cepat. Nilai-nilai dalam masyarakat juga berubah. Misalnya dalam hal berkomunikasi. Tegur sapa mulai berkurang. Senyuman juga memudar. Semua berkutat dengan smarfon, deadline yang mendesak, dan pekerjaan. Lingkungan sekitar jadi terabaikan. Termasuk orang lain.
Kalau yang satu ini yaitu perkembangan teknologi, semua pasti sudah tahu. Dalam waktu cepat teknologi berubah. Generasi tua sangat merasakan ini. Biasanya anak-anak lebih menguasai teknologi baru ketimbang orang tuanya. Peralatan canggih selalu muncul. Alasannya sih bagus yaitu untuk memudahkan pekerjaan manusia. Tapi seiring perkembangan teknologi, terjadi hal yang memprihatinkan yaitu hilangnya kesadaran masyarakat akan dunia nyata. Karena sudah dimanjakan oleh teknologi terbaru, kita mengabaikan orang lain, alam sekitar, dan diri kita sebagai manusia.
Masih banyak lagi hal yang berubah dengan cepat. Misalnya fashion. Aku tidak paham tentang hal ini. Yang aku tahu setiap waktu selalu muncul mode-mode terbaru. Orang-orang berebut memiliki pakaian yang sedang trendi. Atau apalah.
Kalau kita berpikir kritis, untuk apa semua itu? Apa arti perkembangan zaman? Kepada siapa kita ingin membuktikan pencapaian kita? Kita maju ke arah mana? Apa artinya berkembang dengan cepat? Apa manfaatnya? Apa yang kita cari? Apa yang kita inginkan? Masih banyak pertanyaan lain. Ini saja belum dijawab. Namun, silakan tambahkan pertanyaan sendiri (kalau ada).
Aku pernah mengikuti kamp tahunan alumni. Di salah satu sesi acaranya, seorang pembicara mengatakan, "kita tidak perlu membuktikan kepada siapapun semua pencapaian kita." Kalimatnya berkesan buatku. Sangat mendalam. Untuk apa bekerja keras, belajar mati-matian, untuk apa mengejar hal tertentu, kalau untuk 'dipamerkan' kepada orang lain, buat apa? Sia-sia. Kalau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apakah perlu bekerja sampai larut malam? Apa sih yang kita harapkan? Kebahagiaan.
Inilah jebakan dunia. Dunia menawarkan kebahagiaan versinya. Dunia menawarkan, kalau kita mencapai ini-itu, kita akan bahagia. Padahal saat mencapainya justru kita makin susah.
Di salah satu buku yang kubaca, bahagia itu sederhana. Menghirup udara pagi, menikmati cahaya matahari pagi, menikmati pekerjaan sebagai panggilan hidup, menikmati tidur nyenyak malam hari. Cukup. Kalau orang berpikir seperti ini, maka mereka akan menikmati hidup. Mengatur jadwal dengan pas. Tidak lagi terburu-buru. Irama hidup juga melambat.
Masih mau berpikir untuk maju? Silakan saja asal jangan salah memaknai kemajuan itu. Nanti yang didapat cuma: lelah.
Jumat, 18 Juli 2014
Gengsi
Apa yang ada di benakmu saat mendengar kata 'gengsi'? Kata orang, entah orang mana aku tidak tahu, orang Indonesia terkenal dengan gengsinya. Lihat teman punya henpon terbaru rasanya gimana gitu. Merasa malu kalau henpon sendiri masih jadul. Biasanya di tempat umum malu ngeluarin henpon jadul. Soal pakaian juga begitu. Saat ada undangan ke pesta hal yang paling dikuatirkan salah satunya pakaian. Belum afdol rasanya bila tidak punya baju baru. Bagaimana dengan rumah, mobil, dan gelar? Apalagi yang ini. Semua hal tadi dijadikan patokan sukses dalam masyarakat. Sukses bila sudah punya rumah, mewah lagi, punya mobil, punya gelar yang mantap, punya harta melimpah.
Apa salah kalau punya harta, gelar, atau hal lain? Tidak salah sih, malah bagus. Terus kenapa merasa risih? Karena kau miskin?hahaha *ketawa orang kaya*. Yang salah adalah cara pandang terhadap harta, dan lain sebagainya itu. Menurutku, rasa gengsi dimulai dari cara pandang yang salah tentang hidup. Ini dimulai dari keluarga sejak kita kecil. Selalu ditanamkan bahwa sukses itu juara 1 di sekolah. Beranjak remaja, kita diberitahu bahwa sukses itu seperti saudara kita yang punya rumah mewah, mobil mewah dan gaji yang besar. "Lihat tuh si Anu, sukses: kaya, hebat, punya jabatan". Biasanya kalimatnya begitu. Terus dilanjutkan dengan "kamu harus begitu kalau sudah besar nanti". Bagaimana kalau kita tidak capai? Malu. Tidak percaya diri. Gengsi.
Gengsi juga mengurangi kesadaran kita akan kebutuhan dan keinginan. Banyak orang belanja ini-itu karena ingin. Bukan karena butuh. Misalnya punya gadget terbaru. Apa itu karena butuh? Belum tentu. Memiliki gadget terbaru dimotivasi oleh hati yang ingin mencitrakan diri dengan gadget itu sendiri. Gadget terbaru menjadi citra diri. Terlihat 'wah' di mata orang. Terlihat 'sukses' di mata orang. Harga atau nilai diri menjadi turun sebatas gadget terbaru. Padahal nilai diri jauh lebih berarti dibanding sebuah benda. Bahkan tidak bisa dibandingkan. Ini juga berlaku pada harta, gelar, jabatan, atau pekerjaan.
Bagaimana cara mengatasi rasa gengsi? Menurutku adalah hidup sederhana. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. Itu kata Paulus. Ya kupikir begitu. Mencukupkan diri dengan yang ada adalah ucapan syukur paling baik. Kalau kita diberi rejeki oleh Tuhan, seperti kekayaan, kepintaran, dan lain sebagainya yang melebihi orang lain, itu adalah anugerah buat kita yang perlu disyukuri. Dan bila perlu, dan ini harus, kita berbagi dengan sesama. Harta, kekayaan, pekerjaan bagus, dan kepintaran bukanlah kesuksesan atau simbol kesuksesan.
Hiduplah sederhana. Tidak perlu gengsi. Percaya diri saja dengan apa yang kita miliki. Apapun kata orang, aku ya aku, bukan hartaku.
Apa salah kalau punya harta, gelar, atau hal lain? Tidak salah sih, malah bagus. Terus kenapa merasa risih? Karena kau miskin?hahaha *ketawa orang kaya*. Yang salah adalah cara pandang terhadap harta, dan lain sebagainya itu. Menurutku, rasa gengsi dimulai dari cara pandang yang salah tentang hidup. Ini dimulai dari keluarga sejak kita kecil. Selalu ditanamkan bahwa sukses itu juara 1 di sekolah. Beranjak remaja, kita diberitahu bahwa sukses itu seperti saudara kita yang punya rumah mewah, mobil mewah dan gaji yang besar. "Lihat tuh si Anu, sukses: kaya, hebat, punya jabatan". Biasanya kalimatnya begitu. Terus dilanjutkan dengan "kamu harus begitu kalau sudah besar nanti". Bagaimana kalau kita tidak capai? Malu. Tidak percaya diri. Gengsi.
Gengsi juga mengurangi kesadaran kita akan kebutuhan dan keinginan. Banyak orang belanja ini-itu karena ingin. Bukan karena butuh. Misalnya punya gadget terbaru. Apa itu karena butuh? Belum tentu. Memiliki gadget terbaru dimotivasi oleh hati yang ingin mencitrakan diri dengan gadget itu sendiri. Gadget terbaru menjadi citra diri. Terlihat 'wah' di mata orang. Terlihat 'sukses' di mata orang. Harga atau nilai diri menjadi turun sebatas gadget terbaru. Padahal nilai diri jauh lebih berarti dibanding sebuah benda. Bahkan tidak bisa dibandingkan. Ini juga berlaku pada harta, gelar, jabatan, atau pekerjaan.
Bagaimana cara mengatasi rasa gengsi? Menurutku adalah hidup sederhana. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. Itu kata Paulus. Ya kupikir begitu. Mencukupkan diri dengan yang ada adalah ucapan syukur paling baik. Kalau kita diberi rejeki oleh Tuhan, seperti kekayaan, kepintaran, dan lain sebagainya yang melebihi orang lain, itu adalah anugerah buat kita yang perlu disyukuri. Dan bila perlu, dan ini harus, kita berbagi dengan sesama. Harta, kekayaan, pekerjaan bagus, dan kepintaran bukanlah kesuksesan atau simbol kesuksesan.
Hiduplah sederhana. Tidak perlu gengsi. Percaya diri saja dengan apa yang kita miliki. Apapun kata orang, aku ya aku, bukan hartaku.
Jalan yang salah
Jalan yang salah
kita tentang
tapi jalan itu satu-satunya
dan kita pun lewati.
Jalan yang rusak
kita ingin hindari
tapi jalan itu satu-satunya
akhirnya kita lewat juga.
Siapa yang ciptakan jalan itu?
Kalau bukan kita
siapa ya?
Jangan-jangan orang tua kita?
kita tentang
tapi jalan itu satu-satunya
dan kita pun lewati.
Jalan yang rusak
kita ingin hindari
tapi jalan itu satu-satunya
akhirnya kita lewat juga.
Siapa yang ciptakan jalan itu?
Kalau bukan kita
siapa ya?
Jangan-jangan orang tua kita?
Selasa, 08 Juli 2014
Kesombongan di tempat kerja
Aku sedang membaca buku 'bawa jiwa anda ke tempat kerja' atau judul aslinya 'taking your soul to work'. Buku ini ditulis oleh dua orang dari negara yang berbeda: Paul Stevens (PS) dan Alvin Ung (AU).
Awalnya aku tidak mau beli buku ini. Karena masih banyak buku yang belum selesai kubaca. Termasuk salah satu buku yang berhubungan dengan dunia kerja. Tapi waktu aku menghadiri suatu acara persekutuan alumni, ada stan penjualan buku. Dan kakak yang menjaga stan tersebut menawarkanku untuk membeli buku. Saat itu aku hanya berdiri melihat-lihat buku apa saja yang dijual di situ. Banyak juga buku yang dijual. Sebagian sudah kumiliki. Bahkan sudah selesai kubaca. Akupun ditawari untuk membeli satu buku. Alhasil aku berhasil dibujuk membeli satu. Karena pada dasarnya aku memang suka membaca.
Semua isi buku ini menarik. Terutama buat yang sedang bekerja dan mengalami pergumulan, seperti aku. Karena menyinggung pergumulan-pergumulan yang menghambat kita untuk merasa hidup ketika bekerja. Berbagai pergumulan itu adalah kesombongan, keserakahan, kemalasan, nafsu birahi, iri hati, amarah, keresahan, dan kebosanan. Dan membimbing kita bekerja dengan pimpinan Tuhan. Buku ini ditulis dalam perspektif Kristiani.
"Pekerjaan saya membuat saya hampir mati". Itu kalimat pembuka di pengantar buku ini. Kalimat tersebut merupakan penggalan dari percakapan kedua penulis.
"Ketika pekerjaan dilakukan tanpa jiwa, hidup menjadi lumpuh dan mati," kata filsuf eksistensialis Albert Camus.
Kesombongan.
Ini salah satu dari sembilan dosa yang sering dilakukan di tempat kerja. Mudah mengenali kesombongan dalam diri orang lain, tetapi lebih sulit mengenali gejala-gejala ini dalam diri kita sendiri (PS).
Ada dua jenis orang sombong. Si Pemain Tunggal, mengambil semua penghargaan dari semua pencapaiannya. Dan Si Mana Tahan, yang memancarkan keangkuhan, memperlakukan orang lain dengan meremehkan. Kedua jenis orang sombong ini menganggap diri 'lebih unggul' dari semua orang.
Kesombongan merampas pengenalan diri kita sendiri.
Kebalikan dari kesombongan adalah rendah hati: nilai di mana seseorang mengenali ketidaklayakannya sendiri karena ia benar-benar mengenal dirinya.
Untuk mengatasi kesombongan bisa dengan melakukan: batasi perkataan. Berhentilah bergosip atau berbicara tanpa guna. Menjadi seorang pelayan. Di sini Yesus adalah teladan agung. Praktekkan kejujuran diri yang radikal. Curahkan isi hati kepada sahabat dekat lalu berdoalah bersama meminta pertolongan dan kemurahan Tuhan.
Awalnya aku tidak mau beli buku ini. Karena masih banyak buku yang belum selesai kubaca. Termasuk salah satu buku yang berhubungan dengan dunia kerja. Tapi waktu aku menghadiri suatu acara persekutuan alumni, ada stan penjualan buku. Dan kakak yang menjaga stan tersebut menawarkanku untuk membeli buku. Saat itu aku hanya berdiri melihat-lihat buku apa saja yang dijual di situ. Banyak juga buku yang dijual. Sebagian sudah kumiliki. Bahkan sudah selesai kubaca. Akupun ditawari untuk membeli satu buku. Alhasil aku berhasil dibujuk membeli satu. Karena pada dasarnya aku memang suka membaca.
Semua isi buku ini menarik. Terutama buat yang sedang bekerja dan mengalami pergumulan, seperti aku. Karena menyinggung pergumulan-pergumulan yang menghambat kita untuk merasa hidup ketika bekerja. Berbagai pergumulan itu adalah kesombongan, keserakahan, kemalasan, nafsu birahi, iri hati, amarah, keresahan, dan kebosanan. Dan membimbing kita bekerja dengan pimpinan Tuhan. Buku ini ditulis dalam perspektif Kristiani.
"Pekerjaan saya membuat saya hampir mati". Itu kalimat pembuka di pengantar buku ini. Kalimat tersebut merupakan penggalan dari percakapan kedua penulis.
"Ketika pekerjaan dilakukan tanpa jiwa, hidup menjadi lumpuh dan mati," kata filsuf eksistensialis Albert Camus.
Kesombongan.
Ini salah satu dari sembilan dosa yang sering dilakukan di tempat kerja. Mudah mengenali kesombongan dalam diri orang lain, tetapi lebih sulit mengenali gejala-gejala ini dalam diri kita sendiri (PS).
Ada dua jenis orang sombong. Si Pemain Tunggal, mengambil semua penghargaan dari semua pencapaiannya. Dan Si Mana Tahan, yang memancarkan keangkuhan, memperlakukan orang lain dengan meremehkan. Kedua jenis orang sombong ini menganggap diri 'lebih unggul' dari semua orang.
Kesombongan merampas pengenalan diri kita sendiri.
Kebalikan dari kesombongan adalah rendah hati: nilai di mana seseorang mengenali ketidaklayakannya sendiri karena ia benar-benar mengenal dirinya.
Untuk mengatasi kesombongan bisa dengan melakukan: batasi perkataan. Berhentilah bergosip atau berbicara tanpa guna. Menjadi seorang pelayan. Di sini Yesus adalah teladan agung. Praktekkan kejujuran diri yang radikal. Curahkan isi hati kepada sahabat dekat lalu berdoalah bersama meminta pertolongan dan kemurahan Tuhan.
Kamis, 03 Juli 2014
Sedikit Tentangku
Bulan Juli sudah datang.
O... bulan kelahiranku.
Bulan Juli tiba artinya libur berakhir. Masuk sekolah lagi. Di sekolahku para guru sudah mulai bekerja sejak tanggal 2 kemarin untuk rapat bersama yayasan. Hari ini dan besok rapat kerja. Masa-masa sibuk pembuatan program untuk satu semester ke depan.
Biasanya saat pembuatan program, entah tahunan, semester atau rencana pelaksanaan pembelajaran, aku paling tidak suka. Bukan karena ini tidak penting, tapi karena kadang-kadang guru sudah membuat program tiba-tiba ada perubahan jadwal. Satu jadwal berubah bisa mengubah semua program yang sudah selesai.
Aku tidak mau cerita banyak soal pekerjaanku lagi. Karena sudah cukup bikin pusing.
Bulan Juli ini merupakan bulan kelahiranku. Jangan tanya umurku berapa. Aku lahir antara 1986 - 1995. Sebenarnya aku ingin menuliskan 100 hal yang menggambarkan tentang aku. Biar kayak punya orang gitu. Tapi belum juga kesampaian.
Sedikit tentangku:
Agak pendiam dan menyendiri kalau di keramaian.
Cuek, kata teman-temanku.
Senang berpikir dan menganalisa sesuatu.
Suka baca. Buatku, buku adalah teman; teman setia.
Suka menulis apa saja. Tapi ingin sih menulis ilmiah biar kayak peneliti gitu.
Suka berencana.
Tampak tenang di wajah, namun dalam hati kacau galau.
Senang dengan puisi, cerpen, novel (apalagi novel historis, kisah nyata, romantis). Tapi tidak suka yang berbau detektif.
Kira-kira begitu. Ada delapan ya, itu pun mikirnya lama. Apalagi kalau 100 hal, mungkin baru selesai setahun lagi.hehehe
Dua baris kalimat di atas merupakan puisi yang kubuat untuk bulan kelahiranku. Ada lanjutannya, tapi belum selesai.
O... bulan kelahiranku.
Bulan Juli tiba artinya libur berakhir. Masuk sekolah lagi. Di sekolahku para guru sudah mulai bekerja sejak tanggal 2 kemarin untuk rapat bersama yayasan. Hari ini dan besok rapat kerja. Masa-masa sibuk pembuatan program untuk satu semester ke depan.
Biasanya saat pembuatan program, entah tahunan, semester atau rencana pelaksanaan pembelajaran, aku paling tidak suka. Bukan karena ini tidak penting, tapi karena kadang-kadang guru sudah membuat program tiba-tiba ada perubahan jadwal. Satu jadwal berubah bisa mengubah semua program yang sudah selesai.
Aku tidak mau cerita banyak soal pekerjaanku lagi. Karena sudah cukup bikin pusing.
Bulan Juli ini merupakan bulan kelahiranku. Jangan tanya umurku berapa. Aku lahir antara 1986 - 1995. Sebenarnya aku ingin menuliskan 100 hal yang menggambarkan tentang aku. Biar kayak punya orang gitu. Tapi belum juga kesampaian.
Sedikit tentangku:
Agak pendiam dan menyendiri kalau di keramaian.
Cuek, kata teman-temanku.
Senang berpikir dan menganalisa sesuatu.
Suka baca. Buatku, buku adalah teman; teman setia.
Suka menulis apa saja. Tapi ingin sih menulis ilmiah biar kayak peneliti gitu.
Suka berencana.
Tampak tenang di wajah, namun dalam hati kacau galau.
Senang dengan puisi, cerpen, novel (apalagi novel historis, kisah nyata, romantis). Tapi tidak suka yang berbau detektif.
Kira-kira begitu. Ada delapan ya, itu pun mikirnya lama. Apalagi kalau 100 hal, mungkin baru selesai setahun lagi.hehehe
Dua baris kalimat di atas merupakan puisi yang kubuat untuk bulan kelahiranku. Ada lanjutannya, tapi belum selesai.
Langganan:
Postingan (Atom)