Belajar delapan jam sehari di luar jam kuliah. Itu adalah pesan wali kelasku dulu saat aku lulus SMA. Waktu itu aku sedang mengurus surat keterangan kelulusan karena ijazah belum keluar, sementara aku harus berangkat ke luar pulau esok harinya. Pesan itu masih kuingat sampai sekarang. Belajar dan belajar kalau ingin berhasil. Pada kenyataannya memang aku tidak mampu melakukan pesan itu hingga aku lulus sarjana.
Kemarin aku membaca satu buku tentang mendidik anak. Salah satu babnya berisi tulisan Prof. Yohanes Surya. Siapa yang tidak kenal dengan Prof Yohanes Surya? Kalau tidak kenal, keterlaluan.
Judul bab itu 'Memotivasi Anak Gemar Belajar dan Membaca'. Dimulai dengan penjelasan salah satu percobaan fisika. Pasir yang dituang ke atas bidang datar akan membentuk gunung dengan kemiringan tertentu. Bila pasir ditambah terus, gunungnya juga makin besar dengan kemiringan yang tetap. Gunung pasir tersebut mengatur dirinya sendiri (self organizing), seberapa banyak pun kita tuang. Betul juga ya. Aku tidak pernah memikirkan itu sebelumnya.
Selanjutnya dijelaskan, ternyata mengatur diri sendiri berlaku di semua bidang kehidupan. Ini dinamakan berada pada kondisi kritis. Tidak ada pilihan lain. Seperti pasir tadi tidak punya pilihan, mereka harus mengatur diri sendiri agar bisa bertahan.
Inilah yang diterapkan oleh Prof. Yohanes Surya kepada anak-anaknya. Ia memberikan satu pilihan saja: membaca buku. Tidak ada pilihan lain. Ia juga menerapkan ilmu ini kepada siswa-siswa peserta olimpiade. Tidak ada pilihan lain selain belajar fisika. Dilarang nonton tv. Inilah yang disebut kondisi kritis. Pilihannya hanya belajar kalau mau berhasil. Ada lagi yang berkesan yaitu proses belajar para sang juara olimpiade. Mereka belajar sampai 16 jam sehari selama dua bulan penuh sebelum lomba. (Wow... luuar biasa!). Itu pun di awal-awal Indonesia ikut olimpiade fisika dan baru mampu meraih medali perak. Baru tahun-tahun berikutnya, demi medali emas, waktu persiapan selama satu tahun. Kalau aku di posisi mereka, aku pasti tidak sanggup. Tapi, kalau mereka bisa, mengapa aku tidak?
Bagaimana agar anak gemar belajar? Tempatkan mereka pada kondisi kritis. Itu pesan Prof. Yohanes Surya.
Terkait menonton tv, ternyata bisa mengurangi konsentrasi. Perhatikan saja, kita sedang menonton sebuah acara, lalu tiba-tiba terpotong oleh iklan. Begitu terus. Konsentrasi kita diaduk-aduk. Akibatnya kita menjadi mudah bosan. Baru lima menit membaca, sudah capek. Itulah alasan Prof. Yohanes Surya melarang peserta olimpiade fisika menonton tv.
Namun, sekarang bukan hanya televisi yang menjadi media hiburan. Malah makin bertambah. Misalnya gadget, smartfon, playstation, media sosial dan lain-lain. Dan sedihnya, hampir semua anak sekolah telah terikat akan peralatan-peralatan ini; bukannya belajar dengan sungguh-sungguh. Masalahnya, anak-anak sekarang tidak diletakkan di kondisi kritis. Mereka punya banyak pilihan. Tentu mereka akan memilih hal yang menyenangkan. Parahnya justru hal yang menyenangkan itulah yang membuat anak-anak menggunakan otaknya untuk hal yang mudah-mudah; bukannya berpikir kritis.
Pesan wali kelasku di atas memang benar, meski masih jauh dari standar peserta olimpiade. Itupun tidak kulakukan. Ternyata banyak waktu yang kubuang sia-sia. Harus tobat nih. Melatih diri berada pada kondisi kritis. Tidak ada pilihan selain belajar. Pilih yang lain berarti gagal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar