BAB 3
ANALISIS
3.1.
Agama
dan Ilmu Pengetahuan
Agama dan ilmu (pengetahuan) dalam berberapa hal berbeda, namun pada sisi tertentu memiliki kesamaan. Agama lebih
mengedepankan moralitas
dan menjaga tradisi yang sudah mapan (ritual), cenderung eksklusif, dan
subjektif. Sementara ilmu (pengetahuan) selalu mencari yang baru, tidak terlalu terikat dengan
etika, progresif, bersifat inklusif, dan objekif.
Agama memberikan ketenangan dari segi batin karena ada
janji kehidupan setelah mati, Sedangkan ilmu memberi ketenangan dan sekaligus kemudahan
bagi kehidupan di dunia.
Agama mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, hampir semua
kitab suci menganjurkan umatnya untuk mencari ilmu sebanyak mugkin. Agama dan
ilmu sama–sama memberikan penjelasan ketika terjadi bencana alam, seperti banjir dan gempa bumi. Gempa bumi dalam konteks agama
adalah cobaan Tuhan dan sekaligus rancangannya tentang alam secara keseluruhan.
Oleh karena itu, manusia harus bersabar tentang percobaan tersebut dan mencari
hikmah yang terkandung di balik setiap bencana.
Karakteristik agama dan ilmu tidak selalu harus dilihat
dalam konteks yang berseberangan,
tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduannya bersinergi dalam membantu
kehidupan manusia yang lebih layak. Contohnya ilmu dan teknologi mampu
mengantarkan manusia hidup dalam tataran yang global, yang juga sering disebut
dengan era informasi, tetapi kehidupan yang global itu pula yang menyengsarakan sebagian besar penduduk di bumi ini.
3.2.
Teknologi
Di sisi lain, manusia semakin tergantung pada teknologi, seperti teknologi
informasi, sehingga tidak mampu lagi membedakan antara yang benar–benar nyata
dan hasil rekayasa, termasuk rekayasa
informasi. Katakanlah informasi yang cepat tentang tsunami di Aceh, begitu cepat
menyebar ke seluruh
dunia, sehingga dengan spontan
terjadi solidaritas global. Solidaritas global ini sebenarnya buah dari
rekayasa informasi yang begitu dahsyat. Sebab, dalam waktu yang bersamaan, semua televisi menayangkan kejadian yang amat mengerikan dan menyentuh rasa kemanusiaan.
Padahal, wilayah Aceh yang tidak kena musibah ada jauh lebih menderita daripada
yang berada di wilayah tsunami. Persoalannya, mereka tidak diinput oleh media
informasi, sehingga tidak ada solidaritas untuk membantu penderitaan mereka.
Inilah contoh betapa dahsyatnya kekuatan sebuah rekayasa informasi.
Teknologi ternyata didasari atau tidak menciptakan
sesuatu yang tidak diprediksi sebelumnya. Ilmu dan teknologi mengalami
degradasi nilai dan akhirnya dapat memenjara ilmu dan teknologi itu dalam satu
kerangkeng tertentu. Contohnya, televisi adalah bentuk dari kerangkeng
teknologi informasi karena ketika informasi masuk dalam kotak yang bernama
televisi, maka pada
waktu itu teknologi informasi menjadi budak bagi kepentingan kotak tersebut.
Jika teknologi dijadikan tujuan dan cita-cita, maka pada
gilirannya peradaban teknologi akhirnya berubah menjadi kekuasaan yang
membelenggu manusia sendiri. Nicolas Berdyev dalam bukunya The Destiny
of Man berucap:
“Technical progress
testifies not only to man’s strength and power over nature; it not only
liberales men but also weakens and enslaves him; it mechanizes human life and
give man the image and semblance of machine.”
“Kemajuan teknik tidak saja membuktikan kekuatan serta
daya manusia untuk menguasai alam, kemudian teknik itu tidak saja membebaskan
manusia, tetapi juga memperlemah serta memperbudaknya, kemajuan itu
memekanisasikan manusia dan
menimbulkan gambaran serta persamaan manusia dengan mesin.”
Jelas bahwa di satu sisi teknologi menjadi penjara bagi manusia,
namun pada sisi lain teknologi itu pun dipenjara oleh kepenting manusia.
Teknologi layar seakan-akan telah memenjarakan manusia karena dia tidak bekerja
kalau tidak ada komputer atau handphone.
Namun, pada saat yang bersamaan manusia memanfaatkan layar untuk ambisinya.
Maka tidak ada heran, bila
kemudian layar televisi yang luasnya beberapa puluh inci disesaki oleh berbagai
program. Ibarat tong sampah semuanya ada di situ; pasar, politik, ekonomi, masjid, geeja, pura, dokter,
dukun, gajah, dan semut semua masuk televisi. Para penguasa televisi
memanfaatkan benar kebutuhan itu untuk menccari untung sebanyak-banyaknya.
1.3. Agama, Ilmu Pengetahuan, dan Masa Depan
Manusia
Sebagaimana ilmu dan teknologi, agama mendapat tantangan
dari rasionalitas manusia yang telah membuktikan diri mampu mengubah penampilan
dunia fisik. Perwujudan dari kearifan religius yang unspeakable dikalahkan
oleh rasionalitas yang senantiasa melihat persoalan secara teknis sebatas alam
fisik. Pada tingkat praktis, “agama kuno” memiliki apresiasi terhadap kehidupan yang lebih dan ini
mengacu kepada jiwa yang lebih ksatria dan mulia; sedangkan “agama modern"
mewakili sikap egoistis manusia terhadap lingkungannya, jika bukan memamerkan
cara mengesahkan keserakahan, sekadar untuk tidak dianggap kuno.
Semangat yang berlebihan dalam beragama justru akan
merugikan dan merusak makna agama itu sendiri. Di satu pihak, penerapan rasionalitas dalam
agama yang dilakukan oleh mereka yang ingin memodernisasi agama agar sesuai
dengan kemajuan zaman, atau berpretensi untuk membersihkan agama dari berbagai bid’ah akan
memiskinkan agama sekadar pelayan materialisme, karena rasionalitas hanya dapat
bekerja pada wilayah logis yang speakable
dan bukan wilayah reflektif dari pengetahuan manusia di mana wilayah rasionalitas
harus bekerja dua kali dan dengan demikian mengingkari dirinya. Di pihak lain,
religiusitas tidak dapat direalisasi secara paksa karena hanya akan memuaskan
perasaan manusia belaka. Visualisasi yang bagaimanapun tentang Tuhan hanya
menghasilkan patung Tuhan.
Agama sendiri merupakan faktor utama dalam mewujudkan
pola-pola persepsi dunia bagi manusia. Persepsi-persepsi itu turut mempengaruhi
perkembangan dunia itu sendiri, dan dengan cara demikian juga mempengaruhi
jalannya sejarah. Persepsi-persepsi itu menentukan pula cara manusia
menundukkan dirinya di dunia ini. Sebaliknya sejarah juga memaksakan perubahan
dan penyesuaian terus-menerus pola-pola persepsi itu tadi, terutama pada
masyarakat yang sedang berubah dengan pesat.
Manusia merupakan makhluk yang “future-oriented”,
tindakan dan pertimbangan pada saat ini penting untuk memprediksi
persoalan-persoalan masa depan. Bahkan sejarah penuh dengan contoh-contoh, baik
tentang kekejaman manusia maupun tentang pengorbanannya yang telah dilakukannya
dengan maksud untuk menjamin terjadinya suatu hari depan yang lebih baik. Dalam
setiap agama ada pengorbanan yang jauh lebih mulia jika dilakukan demi mencapai
masa depan yang lebih baik. Mati syahid dalam Islam adalah bentuk dari suatu
kematian yang diharapkan karena seseorang yang mati syahid akan langsung masuk surga tanpa melalui hisab. Dalam beberapa sekte agama
Kristen ekstrem kematian yang dipercepat mampu mengantarkan seseorang langsung
menuju surga.
Dalam agama-agama pandangan mengenai hari depan tidak seragam.
Ada yang berpandangan bahwa tujuan akhir kehidupan ini adalah nirwana, yakni ketiadaan dan dalam ketiadaan itu sifat dan
keinginan kemanusiaannya hilang. Ketika manusia masih memiliki keinginan, dia
akan kembali ke dunia dalam bentuk lain. Namun, jika dia mampu menghilangkan
semua sifat dan keinginannya, saat itulah tujuan dan kesempurnaan hidup tercapai. Ada juga yang berpandangan bahwa ada kehidupan
yang lebih abadi dan tenang di alam sana (disebut surga) sehingga bagi orang yang sudah membekali dirinya untuk
berangkat ke alam sana tidak akan takut menghadapi mati. Ibarat prajurit yang
akan pergi perang, semua persiapan sudah lengkap sehingga dia amat pecaya diri
menghadapi musuh.
Dalam kerangka itu, agama dan ilmu memiliki kesamaan,
yakni sama-sama mendesain masa depan manusia. Desain agama lebih jauh dan
abstrak, sedangkan ilmu dan teknologi lebih pendek dan konkret. Desain agama
untuk memberikan ketenangan hidup setelah hidup, sedangkan desain ilmu dan
teknologi untuk hidup masa depan di dunia ini. Penemuan uap dan listrik adalah
bagian dari persiapan untuk anak cucu James Watt dan Thomas Alfa Edison. Mereka
sendiri tidak lama menikmati hasil karyanya, kalaupun dinikmati tidak maksimal
dan tidak sama dengan apa yang kita nikmati sekarang.
Dalam pandangan agama, ilmu, dan teknologi bukan
merupakan aspek kehidupan umat manusia yang tertinggi. Tidak juga merupakan
puncak kebudayaan dan peradaban umat manusia di dalam evolusinya mencapai
kesempurnaan hidup (perfection of existence). Banyak kaum rasionalis
yang materialistis menganggap bahwa abad modern, abad ilmu pengetahuan dan
teknologi sekarang adalah puncak dari peradaban dan kebudayaan manusia. Karena
dengan akalnya yang tajam manusia modern dapat menghasilkan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang sangat mengagumkan, dan menganggap manusia zaman dahulu
adalah lebih rendah peradaban dan kebudayaannya karena terlalu diliputi oleh
kehidupan yang tidak rasional, takhayul, dan terbelenggu oleh kepercayaan agama
yang dogmatis.
Ilmu pengetahuan dan teknologi memakai rasio (akal) yang
tajam. Kerohanian, kejiwaan agama memakai “intuisi” (wahyu) sebagai sarana
masing-masing untuk membuktikan kebenarannya dan menghayati hakikatnya. Ilmu
pengetahuan hingga kini dianggap sebagai pengawal kemajuan umat manusia yang
akhir-akhir ini secara umum banyak diserang sebagai pembawa berbagai macam
ketimpangan dan pencemaranfisik, biologi, sosial, dan budaya.
Dalam memanfaatkan ilmu dan teknologi untuk pembangunan
dan demi menjaga keseimbangan antara
teknologi, pembangunan, dan lingkungan, maka kita tidak boleh dihinggapi penyakit rabun dekat dan
mengikuti naluri untuk hanya memikirkan hasil-hasil jangka pendek. Keuntungan
semu jangka pendek tidak mustahil dapat menjadi bumerang yang mengakibatkan kerugian
dalam jangka panjang. Maka, asas keseimbangan harus diterapkan karena memang
dalam gejolak dan derap pembangunan senantiasa kita dihadapkan kepada krisis
nilai-nilai insani dan masalah untuk memanusiakan manusia itu sendiri; problema
manusia tersebut tidak menjadi alat atau korban dari ciptaannya sendiri,
masalah des soushommes dan des super-machines menurut
istilah A. Kaufman dan J. Peze.
Sebagaimana
Negara Amerika Serikat yang maju dan makmur telah terjadi krisis kepribadian
atauu identitas karena derap teknologi lebih banyak mengancam status dan
peranan manusianya daripada pekerjaannya. Ancaman otomasi adalah sebagian dari
krisis identitas tersebut. apabila mesin-mesin itu bukan hanya dapat
menggantikan manusia, tetapi bahkan dapat melakukan pekerjaannya secara lebih baik
dan lebih murah.
Kemajuan
ilmu pengetahuan yang secara global ini, umat manusia senantiasa dihadapkan
pada peperangan. Namun, sejak berakhirnya Perang Dunia II sifat peperangan
telah berubah sedemikian drastisnya sehingga masa depan umat manusia dan masa
depan generasi-generasi yang belum dilahirkan
menghadapi bahaya yang amat gawat. Potensi berbagai senjata nuklir, kimiawi,
biologis, dan bahkan senjata konvensional, dengan berbagai alasan politis dan
komersial, semakin meningkatkan ancaman baru bagi kehancuran global.
Akibat dari penggunaan senjata nuklir, kimiawi, biologis,
dan sebagainya secara besar-besaran akan menimbulkan perubahan-perubahan
ekologis dan genetik tak terpulihkan yang batas-batasnya tidak dapat
diramalkan. Maka, ilmu pengetahuan dan teknologi benar-benar tidak berdaya
untuk mempersembahkan kepada dunia satu pun penangkal yang mujarab. Tidak ada
prospek untuk dapat membuat suatu pertahanan yang cukup berdaya guna untuk
melindungi wilayah pemukiman. Tidak ada prospek untuk mencegah penghancuran
segala dasar budaya, sosial, ekonomi, dan industri dari suatu masyarakat. Juga
tidak ada satu pun sistem medis yang akan dapat menanggulangi akibat
penghancuran massal yang masif itu.
Para ilmuwan dan teknolog diimbau membantu mencegah
penyalahgunaan ilmu pengetahuan yang digunakan sebagai pembinaan massal. Dan
pada hakikatnya, semua orang yang berakal sehat diimbau untuk beri’tikad baik
dalam menghadapi problema bahaya perang nuklir yang senantiasa
mengancam kehidupan kita di dunia. Semua perbedaan pendapat, termasuk perbedaan
di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama, hendaknya
dapat diletakkan dalam perspektif yang serasi dan tepat guna. Sasaran imbauan
adalah segenap manusia-manusia di balik ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
tidak mengembangkan, memproduksikan, dan menggunakan senjata nuklir. Para
penanggung jawab utama keselamatan bangsa dan negara diimbau untuk tidak
melakukan rekayasa sosial (social engineering) dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pemahaman kita tentang genetika telah mengguncang dunia.
Teknologi genetik menghadirkan tantangan terbesar bagi keyakinan agama
tradisional. Penguraian kode genom manusia, serta dukungan filosofis untuk
upaya tersebut, memaksa untuk dilakukannya pengkajian ulang serta mendalam
tentang makna menjadi manusia. Teori determinisme genetika bahwa gen kita
menentukan bukan wujud fisik saja, tetapi juga kecenderungan seksual, tingkat
agresi, dan ada kemungkinan kecenderungan keagamaan kita menyebabkan para
teolog mengkaji pemikiran mereka mengenai kehendak bebas, kebutuhan Tuhan
manusia akan agama,
bahkan keberadaan Tuhan.
Adanya tantangan mendalam terhadap ortodoksi agama dan
adanya konsekuensi kedigdayaan teknologi genetika, maka sangat penting dan
kritis bagi kita untuk mendengar pandangan dan pikiran para teolog dan filosof
dari berbagai agama. Seperti kata biolog W. French Anderson, bahwa “Teknik yang
hebat mempunyai segi buruk yang hebat pula.” Donald Shriver, presiden emeritus
pada Union Theological Seminary di New York dan guru besar Emeritus di bidang
etika di Columbia University, berpendapat bahwa “karena kita tidak memiliki
kearifan untuk mengenai konsekuensinya, tak dapat ditawar lagi, kita harus
waspada manakala konsekuensi itu mulai muncul.” Lebih jauh dia menekankan bahwa
“sebagai manusia, kita tentu tak akan luput dari berbuat kesalahan. Demikian
juga dengan masyarakat. Namun, sifat baik manusia adalah bisa memaafkan
kesalahan dan sekaligus bisa menggunakan kesempatan untuk mencoba lagi untuk
memperbaikinya. Agama sering sekali menyebut ihwal peluang kedua yang tampaknya
dapat diberikan oleh Tuhan kepada kita, manusia.”
Para pemuka agama Kristen, Yahudi, dan Islam menawarkan
konteks untuk direnungkan oleh komunitas ilmiah. Menurut para ilmuwan, laju
inovasi teknologi agak sulit diramalkan. Dalam simposium di UCLA, Mario
Caphecchi-guru besar yang amat menonjol dalam bidang biologi dan genetika
manusia di University of Utah mengatakan, “Biasanya kita cenderung
melebih-lebihkan apa yang dapat kita kerjakan dalam 25 tahun mendatang.” Selain
itu, terdapat kekhawatiran dari sudut etika yang mendalam bahwa berbagai
teknologi ini bisa terpeleset dari terapi menjadi sekedar gaya, sebagaimana
teknologi rekonstruksi yang mula-mula dikembangkan untuk menolong prajurit yang
terluka di medan perang menjadi bedah kecantikan. Di kalangan teolog, ilmuwan,
dan ahli biotika berkembang rasa muak yang meluas terhadap gagasan mengubah
manusia secara genetik hanya dengan dalih “perbaikan” yang bersifat
superfisial, namun tidak ada kesepakatan mengenai apakah dapat ditarik garis
pembatas yang jelas antara penyembuhan penyakit dan perbaikan penampilan.
Menurut Gookin, “Kewajiban moral dan estetika para
seniman untuk menyempurnakan citra tubuh manusia dalam seni kini telah
dialihkan ke bidang ilmu genetika. Dengan genetika, para ilmuwan diberi piranti
yang dapat mereka gunakan untuk menerapkan konsep ‘perbaikan’ estetika dan
moral terhadap organisme manusia itu sendiri.”
Dalam upaya memisahkan kepingan genetik dari DNA (Deoxyribonucleic
Acid) dan merekombinasikannya lagi dengan yang lain dapat mengubah
“instruksi” yang menguasai sel hidup. Maka, dengan menempatkan molekul DNA dari
tubuh kita ke dalam bakteri dapat diproduksikan secara alamiah zat-zat untuk
menanggulangi berbagai penyakit, seperti produksi insulin untuk diabetes, dan
interferon yang mungkin dapat turut memerangi kanker. Masalah perekayasaan
genetik ini bersifat multikompleks, yang untuk beberapa isu dan berbagai tempat
di dunia masih diperdebatkan orang. Namun, dari perpaduan antara biologi dan
teknologi itu kian terbuka wilayah baru bioteknologi. Spektrum yang dicakup
oleh bioteknologi sangat luas, mulai dari yang sederhana hingga yang amat
bersofistikasi atau canggih.
Ilmu dapat dilumpuhkan oleh biasnya sendiri, sebagaimana
juga agama. Di dunia Barat dewasa ini, tujuan ilmu adalah menjelaskan alam
fisik, sementara tujuan agama adalah menjelaskan alam spiritual. Ilmu mengira
bahwa ilmu tidak memiliki filsafat dan sekedar untuk mengkajidan mengukur benda
secara empiris. Padahal sesungguhnya ilmu juga memiliki filsafat: ilmu hanya
menganggap penting benda yang empiris. Dan ilmu tidak akan melatih penganutnya
untuk berfikir secara filosofis. Mereka hanya akan mempelajari
berbagai jenis rumus dan teknologi.
Sinergi agama dan ilmu dalam konteks ini dapat dilakukan
demi terwujudnya keseimbangan peradaban manusia. Sebab, kalau masing-masing
pihak masih tetap mempertahankan ego, maka masa depan umat manusia tidak dapat
diramalkan.
Di sinilah ilmu dan teknologi tidak harus dilihat dari
aspek yang sempit, tetapi harus dilihat dari tujuan jangka panjang dan untuk
kepentingan kehidupan yang lebih abadi. Kalau visi ini yang diyakini oleh para
ilmuwan dan agamawan, maka harapan kehidupan ke depan akan lebih cerah dan
sentosa. Tentu saja pemikiran-pemikiran seperti ini perlu dukungan dari
berbagai pihak untuk terwujudnya masa depan yang cerah dan harmonis.
Benarlah
apa yang dikatakan oleh Albert Einstein dalam pesannya kepada mahasiswa
California Institute of Technology bahwa “ilmu tanpa agama adalah lumpuh, agama
tanpa ilmu adalah buta”. (Jujun S. Suriasumantri, 2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar