Senin, 23 Februari 2015

Agama, Ilmu Pengetahuan, dan Masa Depan Manusia

BAB 3
ANALISIS

3.1. Agama dan  Ilmu Pengetahuan
Agama dan ilmu (pengetahuan) dalam berberapa hal berbeda, namun pada sisi tertentu memiliki kesamaan. Agama lebih mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah mapan (ritual), cenderung eksklusif, dan subjektif. Sementara ilmu (pengetahuan) selalu mencari yang baru, tidak terlalu terikat dengan etika, progresif, bersifat inklusif, dan objekif.
Agama memberikan ketenangan dari segi batin karena ada janji kehidupan setelah mati, Sedangkan ilmu memberi ketenangan dan sekaligus kemudahan bagi kehidupan di dunia. Agama mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, hampir semua kitab suci menganjurkan umatnya untuk mencari ilmu sebanyak mugkin. Agama dan ilmu sama–sama memberikan penjelasan ketika terjadi bencana alam, seperti banjir dan gempa bumi. Gempa bumi dalam konteks agama adalah cobaan Tuhan dan sekaligus rancangannya tentang alam secara keseluruhan. Oleh karena itu, manusia harus bersabar tentang percobaan tersebut dan mencari hikmah yang terkandung di balik setiap bencana.
Karakteristik agama dan ilmu tidak selalu harus dilihat dalam konteks yang berseberangan,
tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduannya bersinergi dalam membantu kehidupan manusia yang lebih layak. Contohnya ilmu dan teknologi mampu mengantarkan manusia hidup dalam tataran yang global, yang juga sering disebut dengan era informasi, tetapi kehidupan yang global itu pula yang menyengsarakan sebagian besar penduduk di bumi ini.

3.2. Teknologi
Di sisi lain, manusia semakin tergantung pada teknologi, seperti teknologi informasi, sehingga tidak mampu lagi membedakan antara yang benar–benar nyata dan hasil rekayasa, termasuk rekayasa informasi. Katakanlah informasi yang cepat tentang tsunami di Aceh, begitu cepat menyebar ke seluruh dunia, sehingga dengan spontan terjadi solidaritas global. Solidaritas global ini sebenarnya buah dari rekayasa informasi yang begitu dahsyat. Sebab, dalam waktu yang bersamaan, semua televisi menayangkan kejadian yang amat mengerikan dan menyentuh rasa kemanusiaan. Padahal, wilayah Aceh yang tidak kena musibah ada jauh lebih menderita daripada yang berada di wilayah tsunami. Persoalannya, mereka tidak diinput oleh media informasi, sehingga tidak ada solidaritas untuk membantu penderitaan mereka. Inilah contoh betapa dahsyatnya kekuatan sebuah rekayasa informasi.
Teknologi ternyata didasari atau tidak menciptakan sesuatu yang tidak diprediksi sebelumnya. Ilmu dan teknologi mengalami degradasi nilai dan akhirnya dapat memenjara ilmu dan teknologi itu dalam satu kerangkeng tertentu. Contohnya, televisi adalah bentuk dari kerangkeng teknologi informasi karena ketika informasi masuk dalam kotak yang bernama televisi, maka pada waktu itu teknologi informasi menjadi budak bagi kepentingan kotak tersebut.
Jika teknologi dijadikan tujuan dan cita-cita, maka pada gilirannya peradaban teknologi akhirnya berubah menjadi kekuasaan yang membelenggu manusia sendiri. Nicolas Berdyev dalam bukunya The Destiny of Man berucap:
Technical progress testifies not only to man’s strength and power over nature; it not only liberales men but also weakens and enslaves him; it mechanizes human life and give man the image and semblance of machine.
“Kemajuan teknik tidak saja membuktikan kekuatan serta daya manusia untuk menguasai alam, kemudian teknik itu tidak saja membebaskan manusia, tetapi juga memperlemah serta memperbudaknya, kemajuan itu memekanisasikan manusia dan menimbulkan gambaran serta persamaan manusia dengan mesin.”
Jelas bahwa di satu sisi teknologi menjadi penjara bagi manusia, namun pada sisi lain teknologi itu pun dipenjara oleh kepenting manusia. Teknologi layar seakan-akan telah memenjarakan manusia karena dia tidak bekerja kalau tidak ada komputer atau handphone. Namun, pada saat yang bersamaan manusia memanfaatkan layar untuk ambisinya. Maka tidak ada heran, bila kemudian layar televisi yang luasnya beberapa puluh inci disesaki oleh berbagai program. Ibarat tong sampah semuanya ada di situ; pasar, politik, ekonomi, masjid, geeja, pura, dokter, dukun, gajah, dan semut semua masuk televisi. Para penguasa televisi memanfaatkan benar kebutuhan itu untuk menccari untung sebanyak-banyaknya.

1.3. Agama, Ilmu Pengetahuan, dan Masa Depan Manusia
Sebagaimana ilmu dan teknologi, agama mendapat tantangan dari rasionalitas manusia yang telah membuktikan diri mampu mengubah penampilan dunia fisik. Perwujudan dari kearifan religius yang unspeakable dikalahkan oleh rasionalitas yang senantiasa melihat persoalan secara teknis sebatas alam fisik. Pada tingkat praktis, “agama kuno” memiliki apresiasi terhadap kehidupan yang lebih dan ini mengacu kepada jiwa yang lebih ksatria dan mulia; sedangkan “agama modern" mewakili sikap egoistis manusia terhadap lingkungannya, jika bukan memamerkan cara mengesahkan keserakahan, sekadar untuk tidak dianggap kuno.
Semangat yang berlebihan dalam beragama justru akan merugikan dan merusak makna agama itu sendiri. Di satu pihak, penerapan rasionalitas dalam agama yang dilakukan oleh mereka yang ingin memodernisasi agama agar sesuai dengan kemajuan zaman, atau berpretensi untuk membersihkan agama dari berbagai bid’ah akan memiskinkan agama sekadar pelayan materialisme, karena rasionalitas hanya dapat bekerja pada wilayah logis yang speakable dan bukan wilayah reflektif dari pengetahuan manusia di mana wilayah rasionalitas harus bekerja dua kali dan dengan demikian mengingkari dirinya. Di pihak lain, religiusitas tidak dapat direalisasi secara paksa karena hanya akan memuaskan perasaan manusia belaka. Visualisasi yang bagaimanapun tentang Tuhan hanya menghasilkan patung Tuhan.
Agama sendiri merupakan faktor utama dalam mewujudkan pola-pola persepsi dunia bagi manusia. Persepsi-persepsi itu turut mempengaruhi perkembangan dunia itu sendiri, dan dengan cara demikian juga mempengaruhi jalannya sejarah. Persepsi-persepsi itu menentukan pula cara manusia menundukkan dirinya di dunia ini. Sebaliknya sejarah juga memaksakan perubahan dan penyesuaian terus-menerus pola-pola persepsi itu tadi, terutama pada masyarakat yang sedang berubah dengan pesat.
Manusia merupakan makhluk yang “future-oriented”, tindakan dan pertimbangan pada saat ini penting untuk memprediksi persoalan-persoalan masa depan. Bahkan sejarah penuh dengan contoh-contoh, baik tentang kekejaman manusia maupun tentang pengorbanannya yang telah dilakukannya dengan maksud untuk menjamin terjadinya suatu hari depan yang lebih baik. Dalam setiap agama ada pengorbanan yang jauh lebih mulia jika dilakukan demi mencapai masa depan yang lebih baik. Mati syahid dalam Islam adalah bentuk dari suatu kematian yang diharapkan karena seseorang yang mati syahid akan langsung masuk surga tanpa melalui hisab. Dalam beberapa sekte agama Kristen ekstrem kematian yang dipercepat mampu mengantarkan seseorang langsung menuju surga.
Dalam agama-agama pandangan mengenai hari depan tidak seragam. Ada yang berpandangan bahwa tujuan akhir kehidupan ini adalah nirwana, yakni ketiadaan dan dalam ketiadaan itu sifat dan keinginan kemanusiaannya hilang. Ketika manusia masih memiliki keinginan, dia akan kembali ke dunia dalam bentuk lain. Namun, jika dia mampu menghilangkan semua sifat dan keinginannya, saat itulah tujuan dan kesempurnaan hidup tercapai. Ada juga yang berpandangan bahwa ada kehidupan yang lebih abadi dan tenang di alam sana (disebut surga) sehingga bagi orang yang sudah membekali dirinya untuk berangkat ke alam sana tidak akan takut menghadapi mati. Ibarat prajurit yang akan pergi perang, semua persiapan sudah lengkap sehingga dia amat pecaya diri menghadapi musuh.
Dalam kerangka itu, agama dan ilmu memiliki kesamaan, yakni sama-sama mendesain masa depan manusia. Desain agama lebih jauh dan abstrak, sedangkan ilmu dan teknologi lebih pendek dan konkret. Desain agama untuk memberikan ketenangan hidup setelah hidup, sedangkan desain ilmu dan teknologi untuk hidup masa depan di dunia ini. Penemuan uap dan listrik adalah bagian dari persiapan untuk anak cucu James Watt dan Thomas Alfa Edison. Mereka sendiri tidak lama menikmati hasil karyanya, kalaupun dinikmati tidak maksimal dan tidak sama dengan apa yang kita nikmati sekarang.
Dalam pandangan agama, ilmu, dan teknologi bukan merupakan aspek kehidupan umat manusia yang tertinggi. Tidak juga merupakan puncak kebudayaan dan peradaban umat manusia di dalam evolusinya mencapai kesempurnaan hidup (perfection of existence). Banyak kaum rasionalis yang materialistis menganggap bahwa abad modern, abad ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang adalah puncak dari peradaban dan kebudayaan manusia. Karena dengan akalnya yang tajam manusia modern dapat menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat mengagumkan, dan menganggap manusia zaman dahulu adalah lebih rendah peradaban dan kebudayaannya karena terlalu diliputi oleh kehidupan yang tidak rasional, takhayul, dan terbelenggu oleh kepercayaan agama yang dogmatis.
Ilmu pengetahuan dan teknologi memakai rasio (akal) yang tajam. Kerohanian, kejiwaan agama memakai “intuisi” (wahyu) sebagai sarana masing-masing untuk membuktikan kebenarannya dan menghayati hakikatnya. Ilmu pengetahuan hingga kini dianggap sebagai pengawal kemajuan umat manusia yang akhir-akhir ini secara umum banyak diserang sebagai pembawa berbagai macam ketimpangan dan pencemaranfisik, biologi, sosial, dan budaya.
Dalam memanfaatkan ilmu dan teknologi untuk pembangunan dan demi menjaga keseimbangan antara teknologi, pembangunan, dan lingkungan, maka kita tidak boleh dihinggapi penyakit rabun dekat dan mengikuti naluri untuk hanya memikirkan hasil-hasil jangka pendek. Keuntungan semu jangka pendek tidak mustahil dapat menjadi bumerang yang mengakibatkan kerugian dalam jangka panjang. Maka, asas keseimbangan harus diterapkan karena memang dalam gejolak dan derap pembangunan senantiasa kita dihadapkan kepada krisis nilai-nilai insani dan masalah untuk memanusiakan manusia itu sendiri; problema manusia tersebut tidak menjadi alat atau korban dari ciptaannya sendiri, masalah des soushommes dan des super-machines menurut istilah A. Kaufman dan J. Peze.
Sebagaimana Negara Amerika Serikat yang maju dan makmur telah terjadi krisis kepribadian atauu identitas karena derap teknologi lebih banyak mengancam status dan peranan manusianya daripada pekerjaannya. Ancaman otomasi adalah sebagian dari krisis identitas tersebut. apabila mesin-mesin itu bukan hanya dapat menggantikan manusia, tetapi bahkan dapat melakukan pekerjaannya secara lebih baik dan lebih murah.
Kemajuan ilmu pengetahuan yang secara global ini, umat manusia senantiasa dihadapkan pada peperangan. Namun, sejak berakhirnya Perang Dunia II sifat peperangan telah berubah sedemikian drastisnya sehingga masa depan umat manusia dan masa depan generasi-generasi yang belum dilahirkan menghadapi bahaya yang amat gawat. Potensi berbagai senjata nuklir, kimiawi, biologis, dan bahkan senjata konvensional, dengan berbagai alasan politis dan komersial, semakin meningkatkan ancaman baru bagi kehancuran global.
Akibat dari penggunaan senjata nuklir, kimiawi, biologis, dan sebagainya secara besar-besaran akan menimbulkan perubahan-perubahan ekologis dan genetik tak terpulihkan yang batas-batasnya tidak dapat diramalkan. Maka, ilmu pengetahuan dan teknologi benar-benar tidak berdaya untuk mempersembahkan kepada dunia satu pun penangkal yang mujarab. Tidak ada prospek untuk dapat membuat suatu pertahanan yang cukup berdaya guna untuk melindungi wilayah pemukiman. Tidak ada prospek untuk mencegah penghancuran segala dasar budaya, sosial, ekonomi, dan industri dari suatu masyarakat. Juga tidak ada satu pun sistem medis yang akan dapat menanggulangi akibat penghancuran massal yang masif itu.
Para ilmuwan dan teknolog diimbau membantu mencegah penyalahgunaan ilmu pengetahuan yang digunakan sebagai pembinaan massal. Dan pada hakikatnya, semua orang yang berakal sehat diimbau untuk beri’tikad baik dalam menghadapi problema bahaya perang nuklir  yang senantiasa mengancam kehidupan kita di dunia. Semua perbedaan pendapat, termasuk perbedaan di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama, hendaknya dapat diletakkan dalam perspektif yang serasi dan tepat guna. Sasaran imbauan adalah segenap manusia-manusia di balik ilmu pengetahuan dan teknologi untuk tidak mengembangkan, memproduksikan, dan menggunakan senjata nuklir. Para penanggung jawab utama keselamatan bangsa dan negara diimbau untuk tidak melakukan rekayasa sosial (social engineering) dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pemahaman kita tentang genetika telah mengguncang dunia. Teknologi genetik menghadirkan tantangan terbesar bagi keyakinan agama tradisional. Penguraian kode genom manusia, serta dukungan filosofis untuk upaya tersebut, memaksa untuk dilakukannya pengkajian ulang serta mendalam tentang makna menjadi manusia. Teori determinisme genetika bahwa gen kita menentukan bukan wujud fisik saja, tetapi juga kecenderungan seksual, tingkat agresi, dan ada kemungkinan kecenderungan keagamaan kita menyebabkan para teolog mengkaji pemikiran mereka mengenai kehendak bebas, kebutuhan Tuhan manusia akan agama, bahkan keberadaan Tuhan.
Adanya tantangan mendalam terhadap ortodoksi agama dan adanya konsekuensi kedigdayaan teknologi genetika, maka sangat penting dan kritis bagi kita untuk mendengar pandangan dan pikiran para teolog dan filosof dari berbagai agama. Seperti kata biolog W. French Anderson, bahwa “Teknik yang hebat mempunyai segi buruk yang hebat pula.” Donald Shriver, presiden emeritus pada Union Theological Seminary di New York dan guru besar Emeritus di bidang etika di Columbia University, berpendapat bahwa “karena kita tidak memiliki kearifan untuk mengenai konsekuensinya, tak dapat ditawar lagi, kita harus waspada manakala konsekuensi itu mulai muncul.” Lebih jauh dia menekankan bahwa “sebagai manusia, kita tentu tak akan luput dari berbuat kesalahan. Demikian juga dengan masyarakat. Namun, sifat baik manusia adalah bisa memaafkan kesalahan dan sekaligus bisa menggunakan kesempatan untuk mencoba lagi untuk memperbaikinya. Agama sering sekali menyebut ihwal peluang kedua yang tampaknya dapat diberikan oleh Tuhan kepada kita, manusia.”
Para pemuka agama Kristen, Yahudi, dan Islam menawarkan konteks untuk direnungkan oleh komunitas ilmiah. Menurut para ilmuwan, laju inovasi teknologi agak sulit diramalkan. Dalam simposium di UCLA, Mario Caphecchi-guru besar yang amat menonjol dalam bidang biologi dan genetika manusia di University of Utah mengatakan, “Biasanya kita cenderung melebih-lebihkan apa yang dapat kita kerjakan dalam 25 tahun mendatang.” Selain itu, terdapat kekhawatiran dari sudut etika yang mendalam bahwa berbagai teknologi ini bisa terpeleset dari terapi menjadi sekedar gaya, sebagaimana teknologi rekonstruksi yang mula-mula dikembangkan untuk menolong prajurit yang terluka di medan perang menjadi bedah kecantikan. Di kalangan teolog, ilmuwan, dan ahli biotika berkembang rasa muak yang meluas terhadap gagasan mengubah manusia secara genetik hanya dengan dalih “perbaikan” yang bersifat superfisial, namun tidak ada kesepakatan mengenai apakah dapat ditarik garis pembatas yang jelas antara penyembuhan penyakit dan perbaikan penampilan.
Menurut Gookin, “Kewajiban moral dan estetika para seniman untuk menyempurnakan citra tubuh manusia dalam seni kini telah dialihkan ke bidang ilmu genetika. Dengan genetika, para ilmuwan diberi piranti yang dapat mereka gunakan untuk menerapkan konsep ‘perbaikan’ estetika dan moral terhadap organisme manusia itu sendiri.”
Dalam upaya memisahkan kepingan genetik dari DNA (Deoxyribonucleic Acid) dan merekombinasikannya lagi dengan yang lain dapat mengubah “instruksi” yang menguasai sel hidup. Maka, dengan menempatkan molekul DNA dari tubuh kita ke dalam bakteri dapat diproduksikan secara alamiah zat-zat untuk menanggulangi berbagai penyakit, seperti produksi insulin untuk diabetes, dan interferon yang mungkin dapat turut memerangi kanker. Masalah perekayasaan genetik ini bersifat multikompleks, yang untuk beberapa isu dan berbagai tempat di dunia masih diperdebatkan orang. Namun, dari perpaduan antara biologi dan teknologi itu kian terbuka wilayah baru bioteknologi. Spektrum yang dicakup oleh bioteknologi sangat luas, mulai dari yang sederhana hingga yang amat bersofistikasi atau canggih.
Ilmu dapat dilumpuhkan oleh biasnya sendiri, sebagaimana juga agama. Di dunia Barat dewasa ini, tujuan ilmu adalah menjelaskan alam fisik, sementara tujuan agama adalah menjelaskan alam spiritual. Ilmu mengira bahwa ilmu tidak memiliki filsafat dan sekedar untuk mengkajidan mengukur benda secara empiris. Padahal sesungguhnya ilmu juga memiliki filsafat: ilmu hanya menganggap penting benda yang empiris. Dan ilmu tidak akan melatih penganutnya untuk berfikir  secara filosofis. Mereka hanya akan mempelajari berbagai jenis rumus dan teknologi.
Sinergi agama dan ilmu dalam konteks ini dapat dilakukan demi terwujudnya keseimbangan peradaban manusia. Sebab, kalau masing-masing pihak masih tetap mempertahankan ego, maka masa depan umat manusia tidak dapat diramalkan.
Di sinilah ilmu dan teknologi tidak harus dilihat dari aspek yang sempit, tetapi harus dilihat dari tujuan jangka panjang dan untuk kepentingan kehidupan yang lebih abadi. Kalau visi ini yang diyakini oleh para ilmuwan dan agamawan, maka harapan kehidupan ke depan akan lebih cerah dan sentosa. Tentu saja pemikiran-pemikiran seperti ini perlu dukungan dari berbagai pihak untuk terwujudnya masa depan yang cerah dan harmonis.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Albert Einstein dalam pesannya kepada mahasiswa California Institute of Technology bahwa “ilmu tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa ilmu adalah buta”. (Jujun S. Suriasumantri, 2007).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar