Pagi hari
jam 6 aku duduk di beranda rumah menikmati sinar matahari yang baru saja
muncul. Secangkir kopi tersedia di meja di sampingku. Kopi hitam sedikit gula
meski tidak terlalu manis, aku yang
menyeduhnya sendiri. Ada suara burung berkicau punya tetangga menambah suasana
meriah. Seperti di kampung halaman, hanya pemandangannya yang beda. Di sini
hanya ada rumah lalu rumah lagi di depanku. Suasana pagi ini sama seperti pagi
sebelumnya −suara burung, sinar matahari, dan secangkir kopi panas.
Beberapa
tahun silam, lebih dari sepuluh tahun, aku masih ingat pas liburan sekolah,
pada pagi hari suasana di rumah ─di
kampung, pasti sibuk. Sibuk menyambut hari yang panjang. Biasanya hari libur
kami habiskan dengan bekerja di kebun atau di sawah. Kami sempat mengolah sawah
saat aku duduk di kelas satu SMP hingga kelas satu SMA. Sebelumnya dan setelahnya
sawah itu kami sewakan ke orang lain. Kesibukan pagi hari mulai dari menyiapkan
sarapan pagi, makanan untuk bekal siang ─karena
kami baru pulang malam harinya, memberi makan ternak. Kami, anak-anak, punya
tugas masing-masing. Aku biasanya yang memasak makanan bersama ibu. Selebihnya
sepanjang hari kami menikmati hari di sawah atau di kebun.
Pagi yang
paling kuingat adalah saat mendekati musim panen. Aku berangkat dari rumah pagi
buta, sebelum matahari muncul, dengan mengayuh sepeda ke sawah. Pada saat-saat
itu semua petani datang lebih awal untuk menjaga sawah dari serbuan ribuan
burung pipit. Terlambat sedikit saja, burung pipit sudah hinggap dan memakan padi-padi
yang sudah menguning. Aku sarapan di sawah kala itu. Nasi putih dan ikan asin
yang dipanaskan kembali adalah menu yang paling sering. Nikmat sekali apalagi
ditambah pemandangan sawah yang masih temaram. Aku sudah tiba di sawah dan
sarapan sebelum matahari terbit. Setelah sarapan pagi, aku berjalan di pematang
sawah, kadang membetulkan orang-orangan yang tertiup angin semalam. Kedua
kakiku yang telanjang terasa dingin, basah terkena embun pagi yang menempel di
dedaunan padi. Matahari terbit, ribuan burung
pipit pun datang. Persawahan terdengar berisik. Ada teriakan para petani,
kaleng-kaleng bekas yang dipukul, dan orang-orangan yang bergerak-gerak.
Pagi yang
lain yaitu saat kuliah. Inilah pagi yang paling suram tapi juga santai. Suram
karena aku jarang menikmati matahari pagi, aku lebih sering bangun siang.
Santai karena tidak sibuk. Jam kuliahku saat itu sore hari hingga malam hari.
Kadang juga pagi hari kuhabiskan dengan mengerjakan tugas-tugas kuliah. Namun,
lebih sering menonton tv bersama teman-teman. Memang kala itu waktu terasa
terbuang sia-sia. Hal ini baru kusadari setelah beberapa tahun sudah lulus
kuliah. Semasa kuliah banyak waktu yang kuhabiskan dengan hal-hal yang tidak
bermanfaat, kecuali saat mendekati tugas akhir menjelang kelulusan.
Setelah
lulus kuliah, kupikir inilah saat-saat aku menikmati pagi dengan sibuk dan juga
terburu-buru. Bangun pagi sering terasa berat karena lelah kemarin belum
hilang, dan paginya harus berangkat kerja lagi. Sering tidak sempat sarapan di
rumah. Apalagi sekarang hidup sendirian di kota, tanpa keluarga. Aku
meninggalkan kampung halaman sejak masuk kuliah delapan tahun lalu.
Dan pagi
ini bukanlah kebetulan. Hari ini hari sabtu jadi tidak masuk kerja. Pagi sabtu
yang selalu kuhabiskan dengan menikmati matahari pagi dan secangkir kopi panas.
Kapan lagi menghabiskan pagi dengan cara begini, pikirku.
Namun, di
antara semua pagi yang sudah kulewati, pagi inilah aku merasa pagiku belum
sempurna. Seperti ada yang kurang di sampingku. Cahaya matahari, suara burung,
bahkan secangkir kopi tidak mampu menutupinya. Adalah dia ─teman hidup. Itulah yang hilang. Lebih tepatnya bukan hilang, tapi
belum ada. Entah bagaimana pagiku ke depan. Sulit membayangkan dengan imajinasi
yang sehat. Imajinasiku terlalu liar, sering berlebihan. Maklum belum punya
kekasih. Semoga saja, pagiku segera sempurna seperti yang kubayangkan.
***
sepenggal pagi
yang masih kuingat
tidak utuh memang ceritanya.
namun, lebih tidak utuh lagi
bila tanpa dirimu, kekasih.