Jumat, 20 September 2013

Rumah (Tua) Kami

Mengingat masa kecil adalah suatu hal yang istimewa bagi orang dewasa. Seperti dalam mimpi saja, ternyata masa itu pernah dilewati.  Kali ini aku mau bercerita tentang masa kecilku, khususnya rumah tua kami. Rumah itu sudah tidak ada sekarang. Rumah itu dibongkar waktu aku duduk di kelas 1 SMP.

Rumah tua yang terletak kira-kira 5 meter dari pinggir jalan. Jalan itu menghubungkan dua desa. Sebuah jalan dua-jalur yang dulu kondisinya rusak, banyak lubang dan bergelombang. Di sepanjang sisi jalan tumbuh rumput liar yang sesekali dipotong oleh pemerintah kota. Itu pun kalau ada pejabat dari kota yang datang ke desa kami. Kata bapak rumah itu sudah berdiri lebih dari seratus tahun. Kelihatan dari kayu-kayu penopangnya yang sudah sangat tua, namun masih kuat. Dinding-dinding rumah terbuat dari papan yang tiap kali rusak pasti diganti. Atapnya dari daun rumbia seperti rumah-rumah lain di desa kami.

Awalnya kami tidak tinggal di rumah itu. Kami tinggal di kota selama aku masih kecil. Baru saat aku berumur enam tahun kami pindah ke rumah tua itu. Rumah yang dibangun oleh kakek buyut. Sebelumnya, selama tinggal di kota aku dan keluarga sesekali jalan-jalan ke desa dan menungunjungi rumah itu. Pertama kali melihatnya aku kaget. Rumahnya terlihat jelek, tua, dan lantainya masih dari tanah berpasir. Dan seorang yang tidak kukenal tinggal di situ. Mungkin dia yang menjaga rumah itu. Maklum saat itu aku tidak tahu bahwa rumah itu adalah rumah kami -warisan buat bapak dari kakek. Dan yang jadi pertanyaanku saat itu mengapa kami tinggal di kota dan bukan di rumah yang sebenarnya.

Saatnya aku masuk SD, kami pun berkemas pindah. Meskipun pindah ke desa, aku tetap didaftarkan oleh bapak sekolah di kota. Kami pun tinggal di rumah yang sebenarnya. Masa-masa sekolah dasar kuhabiskan di rumah itu. Aku ingat aku pertama kali bisa membaca rangkaian huruf di rumah. Sering kuhabiskan waktu membaca buku di rumah. Dulu ada sebuah buku berjudul 'Dodo dan Didi' yang kudapat dari rumah itu sebelum kami tempati. Sebelum bisa membaca aku sudah membuka buku itu berulang kali hanya untuk melihat gambar di dalamnya. Dan aku senang akhirnya bisa membaca teksnya. Buku itu itu entah di mana sekarang, tapi aku sudah membacanya berulangkali.

Sebuah rumah tua yang ternyata adalah rumah kami yang sebenarnya akhirnya kami tempati. Suka dan duka sudah tercipta dan terekam di sana. Kuingat kalau hujan, atapnya pasti bocor, air hujan masuk ke rumah dan kami sibuk menadahkan ember. Apalagi kalau hujan pada malam hari, menambah suasana yang tidak nyaman. Perbaikan demi perbaikan sudah dilakukan, namun belum cukup. Aku tahu orang tuaku tidak cukup dana memperbaiki seluruhnya, karena mengutamakan biaya sekolah kami. Juga yang kuingat adalah awalnya di rumah tidak ada listrik. Bertahun-tahun kami diterangi oleh cahaya lampu teplok. Lantainya pun baru disemen setelah bertahun-tahun kami di situ. Lantainya pun tidak rata. Rumah kami itu ada lotengnya dan di bagian depan ada jendela. Aku sering duduk di jendela itu. Hal yang kuingat adalah saat tujuh belasan agustus, melihat orang gerak jalan lewat depan rumah dari loteng. Di desa suasana tujuh belas agustus sangat terasa.

Rumah yang meninggalkan banyak kenangan itu pun kini telah tiada. Waktu aku kira-kira sebelas tahun, rumah baru kami pun di bangun rumah kami sekarang, tepat di belakang rumah tua itu. Setelah rumah baru selesai dibangun dan kami menempatinya, rumah tua pun dibongkar. Sedih sekali rasanya, hingga sebelum dibongkar diadakan pesta. Karena di rumah itu bukan hanya kenangan kami yang ada, tapi juga kakek-nenek kami. Umurnya saja melampaui umur orang tuaku, bahkan kakekku. Kakek meninggal diumur 81 tahun.

Bagiku, rumah adalah tempat kembalinya jiwa kita. Karena di rumah kita bertumbuh menjadi besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar