Mengingat masa kecil adalah suatu hal yang
istimewa bagi orang dewasa. Seperti dalam mimpi saja, ternyata masa itu pernah
dilewati. Kali ini aku mau bercerita
tentang masa kecilku, khususnya rumah tua kami. Rumah itu sudah tidak ada
sekarang. Rumah itu dibongkar waktu aku duduk di kelas 1 SMP.
Rumah tua yang terletak kira-kira 5 meter dari
pinggir jalan. Jalan itu menghubungkan dua desa. Sebuah jalan dua-jalur yang
dulu kondisinya rusak, banyak lubang dan bergelombang. Di sepanjang sisi jalan
tumbuh rumput liar yang sesekali dipotong oleh pemerintah kota. Itu pun kalau
ada pejabat dari kota yang datang ke desa kami. Kata bapak rumah itu sudah
berdiri lebih dari seratus tahun. Kelihatan dari kayu-kayu penopangnya yang
sudah sangat tua, namun masih kuat. Dinding-dinding rumah terbuat dari papan
yang tiap kali rusak pasti diganti. Atapnya dari daun rumbia seperti
rumah-rumah lain di desa kami.
Awalnya kami tidak tinggal di rumah itu. Kami
tinggal di kota selama aku masih kecil. Baru saat aku berumur enam tahun kami
pindah ke rumah tua itu. Rumah yang dibangun oleh kakek buyut. Sebelumnya,
selama tinggal di kota aku dan keluarga sesekali jalan-jalan ke desa dan
menungunjungi rumah itu. Pertama kali melihatnya aku kaget. Rumahnya terlihat
jelek, tua, dan lantainya masih dari tanah berpasir. Dan seorang yang tidak
kukenal tinggal di situ. Mungkin dia yang menjaga rumah itu. Maklum saat itu
aku tidak tahu bahwa rumah itu adalah rumah kami -warisan buat bapak dari kakek.
Dan yang jadi pertanyaanku saat itu mengapa kami tinggal di kota dan bukan di
rumah yang sebenarnya.
Saatnya aku masuk SD, kami pun berkemas pindah.
Meskipun pindah ke desa, aku tetap didaftarkan oleh bapak sekolah di kota. Kami
pun tinggal di rumah yang sebenarnya. Masa-masa sekolah dasar kuhabiskan di
rumah itu. Aku ingat aku pertama kali bisa membaca rangkaian huruf di rumah.
Sering kuhabiskan waktu membaca buku di rumah. Dulu ada sebuah buku berjudul
'Dodo dan Didi' yang kudapat dari rumah itu sebelum kami tempati. Sebelum bisa
membaca aku sudah membuka buku itu berulang kali hanya untuk melihat gambar di
dalamnya. Dan aku senang akhirnya bisa membaca teksnya. Buku itu itu entah di
mana sekarang, tapi aku sudah membacanya berulangkali.
Sebuah rumah tua yang ternyata adalah rumah kami
yang sebenarnya akhirnya kami tempati. Suka dan duka sudah tercipta dan terekam
di sana. Kuingat kalau hujan, atapnya pasti bocor, air hujan masuk ke rumah dan
kami sibuk menadahkan ember. Apalagi kalau hujan pada malam hari, menambah
suasana yang tidak nyaman. Perbaikan demi perbaikan sudah dilakukan, namun
belum cukup. Aku tahu orang tuaku tidak cukup dana memperbaiki seluruhnya,
karena mengutamakan biaya sekolah kami. Juga yang kuingat adalah awalnya di
rumah tidak ada listrik. Bertahun-tahun kami diterangi oleh cahaya lampu
teplok. Lantainya pun baru disemen setelah bertahun-tahun kami di situ.
Lantainya pun tidak rata. Rumah kami itu ada lotengnya dan di bagian depan ada
jendela. Aku sering duduk di jendela itu. Hal yang kuingat adalah saat tujuh
belasan agustus, melihat orang gerak jalan lewat depan rumah dari loteng. Di desa suasana
tujuh belas agustus sangat terasa.
Rumah yang meninggalkan banyak kenangan itu pun
kini telah tiada. Waktu aku kira-kira sebelas tahun, rumah baru kami pun di
bangun ─rumah kami sekarang, tepat di belakang rumah tua
itu. Setelah rumah baru selesai dibangun dan kami menempatinya, rumah tua pun
dibongkar. Sedih sekali rasanya, hingga sebelum dibongkar diadakan pesta.
Karena di rumah itu bukan hanya kenangan kami yang ada, tapi juga kakek-nenek
kami. Umurnya saja melampaui umur orang tuaku, bahkan kakekku. Kakek meninggal
diumur 81 tahun.
Bagiku, rumah adalah tempat kembalinya jiwa kita.
Karena di rumah kita bertumbuh menjadi besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar