Senin, 29 September 2014

Gugat-menggugat

Apa yang terlintas di pikiran Anda saat membaca berita-berita politik saat ini? Sebentar-sebentar kita mendengar ada gugatan lagi. Apakah yang terjadi sehingga sebuah keputusan digugat? Apakah mereka yang membuat keputusan sudah memahami benar konsekuensi dari keputusan itu? Atau, apakah penggugat benar-benar tahu hal yang ia gugat?

Saya yakin, entah kenapa, bahwa sebenarnya pembuat keputusan tersebut tahu bahwa keputusan yang dibuatnya sebenarnya atas dasar kepentingan tertentu, biasanya kepentingan kelompok (bukan kepentingan bersama). Contohnya, di persidangan uji materi A atau yang lain, hasil putusannya selalu ditolak. Kenapa? Tentu karena bertentangan undang-undang dasar. Atau, tentang masalah gugatan pilpres yang begitu panas. Orang awam juga tahu siapa yang menang, orang awam (seperti aku) juga tahu siapa yang curang, namun pihak penggugat 'merasa' dirinya benar.hahaha

Kita sekarang menunggu apakah gugatan UU Pilkada benar-benar dilaksanakan. Ada dua pendapat mengenai pilkada ini; langsung (oleh rakyat) dan tidak langsung (oleh DPRD). Keputusannya adalah pilkada tidak langsung. Keduanya memang memiliki kelebihan dan kelemahan. Terlebih jika orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah orang-orang yang pada dasarnya korup misalnya, entah langsung atau tidak, sama-sama merugikan negara. Kalau dikatakan pilkada tak langsung merupakan kemunduran demokrasi, bisa jadi benar.

Namun, bagaimana dengan sistem perwakilan (DPRD) yang juga berlaku di negara kita? Apakah kita tidak percaya lagi pada wakil-wakil kita? Mungkin di sini masalahnya, kalau memang bukan benar-benar jadi masalah. Kita tidak percaya lagi pada wakil rakyat. Keputusan yang mereka buat juga sering atas dasar kepentingan kelompok tertentu. Tapi, apakah memilih langsung juga benar-benar murni? Banyak juga lho yang memilih karena diiming-imingi secara sembunyi-sembunyi.hehehe Apalagi kalau dilihat dari peserta pemilu yang hanya sekian persen dari jumlah pemilih yang sebenarnya. Dan dari hasil pemilihan pun, dari yang sekian persen itu hanya sebagian kecil saja yang dikatakan memenangkan pemilu. Dengan kata lain, hanya sedikit warga negara saja yang ikut ambil bagian, berarti calon yang terpilih pun hanya dipilih oleh sedikit warga saja dari ratusan juta warga negara. Tapi hal ini masih bisa di atasi dengan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat luas sehingga ke depan mau melibatkan diri setiap pemilu. Sebenarnya pilkada tidak langsung bisa lebih efektif, namun apakah kita bisa memercayai wakil-wakil kita? Apakah mereka benar-benar mampu mewakili masyarakat? Dari pengalaman sih, tidak.

Hari ini saja di MK berlangsung sidang putusan UU MD3. Saya juga yakin hasilnya adalah ditolak (sok tau.hehe) karena aku tidak mengikuti persidangan sampai selesai. Tunggu hasilnya saja nanti di berita......Eh ternyata benar ditolak.

Beginilah kalau kepentingan pribadi/kelompok lebih diutamakan daripada kepentingan bersama. Hal-hal yang sebenarnya sudah diketahui baik jadi dibuat terbalik; yang buruk dianggap baik. Semoga saja para pejabat negara kita, para politisi, segera sadar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar