MERANCANG
BUDAYA ORGANISASI BARU PENDIDIKAN
Menurut Cross dan
Schichman yang dikutip dari Manahan (2012), menuliskan bahwa untuk
mengembangkan suatu budaya organisasi, kita harus dapat mengondisikan budaya
tersebut ibarat sebuah rumah tempat tinggal (HOME). Gambar berikut ini adalah
skema pengembangan budaya organisasi Cross dan Schichman.
(SKEMA TIDAK DILAMPIRKAN DI SINI)
Penulis akan melakukan
analisis dan solusi merancang suatu budaya organisasi pendidikan berdasarkan
skema tersebut. Ada empat metode yang digunakan yang terdiri dari
variabel-variabel. Bila semua variabel tersebut disatukan, maka akan membentuk
suatu budaya organisasi.
1.
Pengembangan
Budaya Sesuai Tuntutan Sejarah
Sebagaimana
dikemukakan oleh Cross dan Schichman dalam Manahan (2012), pengembangan budaya
sesuai tuntutan sejarah ialah membentuk kondisi organisasi yang dapat
mengidentifikasi tuntutan berdasarkan komitmen sejarah dari orang-orang
terdahulu yang dianggap sebagai “pahlawan”. Penulis berasumsi bahwa jika sebuah
organisasi – seperti sekolah – belum memiliki budaya yang kuat, maka merancang
budaya sekolah juga harus diawali dengan mengidentifikasi tuntutan sejarah.
Jadi, masih sejalan dengan pengembangan budaya oleh Cross dan Schichman.
Langkah pertama
adalah mengidentifikasikan tuntutan komitmen sejarah dari orang-orang terdahulu
yang disebut sebagai “pahlawan”. Ide konsep dari pahlawan tersebut terbentuk
berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan kerumitan permasalahan yang menurut
mereka harus diatasi dan akan dihadapi
(Manahan, 2012). Pertanyaan yang muncul adalah siapakah “pahlawan” di sekolah?
Terrance Deal (1985), dalam Hoy dan Miskel (2014), mengemukakan bahwa kepala
sekolah sebagai pahlawan yang mewujudkan nilai-nilai utama. Sementara, karyawan
sebagai pahlawan situasional. Dalam lingkup sekolah swasta, selain kepala
sekolah, koordinator yayasan bisa disebut sebagai “pahlawan”.
Sebagai contoh,
ketika guru-guru menghadapi permasalahan dengan orang tua siswa, kepala sekolah
harus membela guru-gurunya bahkan ketika tekanan dari orang tua semakin kuat.
Pembelaan kepala sekolah terhadap guru-gurunya bisa menjadi nilai baru, bisa
pula menjadi simbol kerekatan dan kesetiaan di lingkungan sekolah. Kisah
pembelaan ini akan terus menerus diceritakan kepada guru baru nantinya. Dengan
kata lain, ada transfer nilai dan simbol. Inilah budaya organisasi baru.
Contoh lain,
ketika terjadi konflik ide/gagasan antar guru atau konflik dengan kepala
sekolah sendiri. Pemecahan konflik harus dimusyawarahkan bersama dengan memilih
gaya pemecahan yang tepat, kolaborasi misalnya; bukannya baku-hantam karena
perbedaan pendapat. Kebiasaan bermusyawarah menjadi budaya baru bagi sekolah
dan terus-menerus dipertahankan.
Cita-cita dan
harapan pendidikan masa depan bisa juga dijadikan sebuah budaya. Misalnya dalam
menghadapi globalisasi, hilangnya batas antar bangsa, maka penting sekali
menguasai Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya. Sekolah wajib menyediakan
kegiatan belajar tambahan tentang penguasaan bahasa asing untuk memfasilitasi
peserta didik menguasai bahasa asing. Budaya belajar bahasa asing menjadi
budaya sekolah dengan tetap mempertahankan bahasa lokal dan bahasa nasional.
Artinya, sekolah tersebut menyiapkan peserta didiknya untuk menghadapi
tantangan globalisasi.
2.
Kreativitas
dan Pemahaman Keutuhan
Terdapat dua
variabel dalam kreativitas dan pemahaman keutuhan ini. Pertama, kepemimpinan
dan aturan. Kedua, norma dan nilai komunikasi.
Para pemimpin
itu penting karena mereka berfungsi sebagai jangkar, memberikan bimbingan pada
masa-masa perubahan, dan bertanggung jawab atas efektivitas organisasi (Hoy dan
Miskel, 2014). Di sekolah, peran pemimpin dipegang oleh kepala sekolah. Kepala
sekolah harus mampu menata aktivitas dan menjalin hubungan di lingkungan
sekolah. Aktivitas kepala sekolah sangat padat; memberdayakan, mengarahkan,
mengawasi, mengevaluasi kinerja guru, berkomunikasi dengan berbagai elemen –
baik internal maupun eksternal, dan berbagai aktivitas lainnya.
Sebagai contoh,
sebelum memulai kegiatan pembelajaran di pagi hari, setiap pagi, kepala sekolah
mengumpulkan guru-guru untuk memberikan arahan, motivasi, atau
informasi-informasi baru. Untuk melaksanakan ini dibuat aturan, “guru harus
tiba di sekolah 30 menit sebelum proses belajar-mengajar dimulai”. Kepala
sekolah membuat seperangkat aturan atau norma, dan dengan menggunakan
pengaruhnya, guru diwajibkan menyimak, menerima, dan mematuhi. Inilah budaya
sekolah yang menjadi ciri pembeda dengan sekolah lain.
Komunikasi
bersifat kompleks, halus, menjamur, dan penting; komunikasi mewarnai semua
aspek kehidupan sekolah (Hoy dan Miskel, 2014). Oleh karena itu, harus ada
model peraturan yang menjadi norma dan nilai dalam berkomunikasi di sekolah. Contoh
norma dan nilai komunikasi di lingkungan sekolah, 1) saling menghormati satu
sama lain ketika berbicara; 2) mengucapkan salam dan berjabatan tangan saat
bertemu di pagi hari; 3) informasi dari bawahan harus disampaikan secara
transparan/terbuka kepada atasan; 4) kepala sekolah harus memberikan arahan,
informasi, atau motivasi yang jelas sehingga dipahami oleh semua warga sekolah;
5) guru harus mampu berkomunikasi (baik secara formal atau informal) kepada
peserta didik. Norma dan nilai-nilai ini terus dipertahankan dan kalau bisa
dikembangkan terus.
3.
Promosi
dan Pemahaman tentang Anggota
Promosi dan
pemahaman tentang anggota meliputi: sistem penghargaan, manajemen karier dan
keamanan kerja, rekrutmen dan penempatan, sosialisasi anggota baru, pelatihan
dan pengembangan. Promosi dan pengembangan karier merupakan hal penting bagi
setiap karyawan termasuk guru-guru di sekolah. Guru pegawai negeri mungkin
tidak memerlukan ini karena kenaikan pangkat dan golongan sudah diatur oleh
pemerintah. Namun, bagaimana dengan guru honor, guru tidak tetap, atau guru
tetap yayasan yang berstatus guru swasta?
Kelemahan dalam
perekrutan dan penempatan guru yang umum terjadi di sekolah-sekolah adalah
merekrut dan menempatkan guru tidak pada bidang keahliannya. Penempatan sering
mengabaikan sisi profesionalisme guru. Oleh karena itu, perlu merancang budaya
baru. Perekrutan dilakukan dengan terencana, terprogram dan akurat. Sesuai
dengan kekosongan yang terjadi. Misalnya bila kebutuhannya guru Matematika,
maka sekolah wajib merekrut calon guru Matematika. Bila ada pelamar lain selain
yang memiliki bidang di Matematika, tidak perlu diterima. Memang akan ada
kendala bila calon guru yang diharapkan terbatas. Namun, bila dilakukan dengan
serius, terprogram dan akurat, maka perekrutan berjalan dengan baik.
Penyelenggara
sekolah atau pemimpin sekolah perlu memikirkan sistem penghargaan bagi
karyawan. Dalam hierarki kebutuhan Maslow, kebutuhan tertinggi manusia adalah
aktualisasi diri (Robbins, 2014). Dengan demikian, penting sekali untuk
merancang sistem penghargaan bagi guru-guru yang berdedikasi tinggi. Sebagai
contoh, pada saat melaksanakan upacara bendara atau peringatan hari pendidikan
nasional, kepala sekolah mengumumkan di depan warga sekolah siapa saja tenaga
pendidik dan kependidikan yang berprestasi. Ini bisa menjadi budaya baru
(ritual) bagi sekolah yang jauh lebih bermakna daripada pemberian bonus lain.
Sistem penghargaan ini memberi pengakuan terhadap kinerja individu dan
disaksikan oleh seluruh warga sekolah (aktualisasi diri). Budaya yang baik ini
harusnya diciptakan dan terus dipertahankan.
Bagian lain yang
penting adalah manajemen karier. Ada guru yang mengajar di suatu sekolah selama
lebih dari 10 tahun, namun tetap menjadi guru biasa; tidak ada peningkatan karier
– misalnya dipromosikan sebagai wakil kepala sekolah, dipromosikan sebagai
kepala sekolah, atau dipromosikan untuk memegang jabatan strategis tertentu.
Budaya ini perlu diperbaharui. Dalam dunia belajar-mengajar ada istilah guru
senior atau guru junior, dan selalu begitu selamanya. Bagaimana merancang
budaya baru dalam bagian ini? Penulis menawarkan beberapa hal, antara lain: 1)
pemimpin sekolah membuat sebuah kebijakan tentang promosi jabatan – siapa yang
layak dinaikkan jabatannya; 2) pemimpin sekolah memberikan penawaran beasiswa
studi lanjut kepada guru-guru yang sudah lama mengajar dan telah menunjukkan
dedikasi tinggi; 3) mengikut-sertakan guru-guru dalam program sertifikasi guru;
4) melaksanakan pelatihan dan pengembangan secara berkala dan berkesinambungan (misalnya:
pelatihan bahasa Inggris, pelatihan penanganan siswa berkebutuhan khusus, seminar-seminar,
dan lain-lain).
Bagian terakhir
dari promosi dan pemahaman tentang anggota adalah sosialisasi anggota baru. Di
suatu organisasi pasti ada anggota yang baru bergabung. Anggota baru ini membawa
tujuan-tujuan individunya sambil berusaha menyesuaikan diri dengan budaya yang
ada di sekolah. Pemimpin, kepala sekolah, berperan dalam mengenalkan budaya
sekolah kepada anggota baru tersebut. Kepala sekolah menceritakan budaya
sekolah yang berlaku; nilai-nilai, norma, aturan, kebiasaan, ritual, dan
sebagainya. Sehingga anggota baru tersebut mengenal organisasi secara utuh.
Sosialisasi anggota baru bisa dengan mengadakan acara khusus dalam rapat guru
(ritual) sebagai acara penyambutan sehingga guru baru merasa diterima di
lingkungan barunya dan siap bekerja sama dengan guru lainnya.
Sosialisasi
anggota baru terjadi pula di antara peserta didik yaitu ketika penerimaan
peserta didik baru. Masa orientasi peserta didik (MOPD) merupakan kesempatan
mengenalkan budaya sekolah. Kebiasaan-kebiasaan buruk dan tidak mendidik dalam
masa orientasi – seperti perloncoan, kekerasan fisik – hendaknya ditinggalkan.
Penulis menawarkan budaya baru yang lebih mendidik, sebagai berikut: 1). MOPD
dirancang untuk mengenalkan budaya sekolah; 2). Kegiatan-kegiatan dalam MOPD
dirancang untuk menumbuhkan semangat belajar, kekerabatan, saling menghormati –
bukannya menimbulkan ketakutan/kecemasan bagi peserta didik; 3). Kepala sekolah
dan guru wajib memantau setiap aktivitas; 4). Mengadakan seminar pengembangan
diri dengan tema-tema yang sesuai bagi perkembangan peserta didik.
4.
Tingkat
Pertukaran Informasi di antara Anggota
Bagian terakhir
dari analisis pengembangan budaya organisasi menurut Cross dan Schichman adalah
tingkat pertukaran informasi di antara anggota. Pertukaran dapat dimulai dengan
memfasilitasi kontak antarsesama anggota kelompok (Manahan, 2012). Selanjutnya,
Manahan mengatakan bahwa proses pertukaran tidak hanya sebatas informasi saja,
tapi bisa juga dalam bentuk fisik.
Pertukaran
informasi erat kaitannya dengan komunikasi. Komunikasi di dalam organsasi
semisal sekolah memenuhi sejumlah tujuan pokok – misalnya, produksi dan
regulasi, inovasi, dan sosialisasi individual serta pemeliharaan (Myers dan
Myers, 1982 dalam Hoy dan Miskel, 2014). Tujuan produksi dan regulasi mencakup
penetapan tujuan dan standar, penyampaian fakta dan informasi, pengambilan
keputusan, pengarahan dan tindakan memengaruhi pihak-pihak lain, dan penilaian
hasil. Tujuan inovasi meliputi pesan-pesan tentang penciptaan gagasan baru dan
program, struktur, dan prosedur yang menantang di sekolah. Tujuan terakhir
meliputi sosialisasi dan pemeliharaan memengaruhi harga diri partisipan,
hubungan antra-pribadi, dan motivasi untuk memadukan tujuan-tujuan individual
mereka dengan tujuan sekolah (Hoy dan Miskel, 2014).
Salah satu cara
membangun pertukaran informasi adalah menciptakan jaringan komunikasi formal di
antara anggota organisasi sekolah. Menurut Barnard dalam Hoy dan Miskel (2014)
beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam membangun jaringan komunikasi
formal di sekolah:
- Saluran komunikasinya harus diketahui.
- Salurannya harus menghubungkan semua anggota organisasi.
- Jalur-jalur komunikasi harus sesingkat dan selugas-lugasnya.
- Jaringan lengkap komunikasinya sebaiknya digunakan.
- Setiap komunikasi harus diautentifikasi benar-benar berasal dari orang yang tepat yang menduduki jabatannya dan di bawah otoritasnya untuk mengeluarkan pesan yang bersangkutan.
Dalam hal pengambilan keputusan, yang menjadi
pertanyaannya adalah kapan dan bagaimana seyogianya guru dilibatkan dalam
pengambilan keputusan? Penyelenggara sekolah harus memperhatikan berbagai situasi
saat pengambilan keputusan. Penyelenggara sekolah bisa mengidentifikasi
situasi-situasi tersebut dengan mengajukan dua pertanyaan berikut:
- Pertanyaan relevansi: Apakah bawahan memiliki kepentingan pribadi pada hasil keputusan?
- Pertanyaan kepakaran: Bisakah bawahan menyumbangkan kepakarannya pada solusi?
Selain dua pertanyaan tersebut, ada satu tambahan,
Pertanyaan kepercayaan: bisakah bawahan dipercaya untuk mengambil keputusan
demi kepentingan terbaik organisasi?
Peran kepala sekolah adalah mengembangkan
pemberdayaan guru dalam pengambilan keputusan dan peran bertukar-pikiran. Hoy
dan Miskel (2014) mengemukakan peran kepala sekolah tersebut: pertama, para
guru harus belajar dan kemudian membuktikan bahwa kesejahteraan siswa dan
sekolah mereka lebih utama daripada agenda pribadi. Kedua, kepala sekolah
memperlihatkan ketulusan dengan para guru – percakapan yang tulus atau lugas,
keterbukaan, konsistensi, dan tidak ada rekayasa. Ketiga, ketika guru tidak
memiliki pengetahuan untuk berpartisipasi secara efektif, maka kepala sekolah
harus menumbuhkan kepakaran tersebut. Memang tidak semua guru mau dilibatkan
dalam pengambilan keputusan. Guru-guru tersebut memilih mengikuti keputusan
penyelenggara sekolah. Namun, tetap saja kepala sekolah perlu mencari sosok
guru yang memiliki kepakaran dalam hal pengambilan keputusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar