Sabtu, 18 Juli 2015

MERANCANG BUDAYA ORGANISASI SEKOLAH (2)

MERANCANG BUDAYA ORGANISASI BARU PENDIDIKAN
Menurut Cross dan Schichman yang dikutip dari Manahan (2012), menuliskan bahwa untuk mengembangkan suatu budaya organisasi, kita harus dapat mengondisikan budaya tersebut ibarat sebuah rumah tempat tinggal (HOME). Gambar berikut ini adalah skema pengembangan budaya organisasi Cross dan Schichman.

(SKEMA TIDAK DILAMPIRKAN DI SINI)

Penulis akan melakukan analisis dan solusi merancang suatu budaya organisasi pendidikan berdasarkan skema tersebut. Ada empat metode yang digunakan yang terdiri dari variabel-variabel. Bila semua variabel tersebut disatukan, maka akan membentuk suatu budaya organisasi.

1.      Pengembangan Budaya Sesuai Tuntutan Sejarah
Sebagaimana dikemukakan oleh Cross dan Schichman dalam Manahan (2012), pengembangan budaya sesuai tuntutan sejarah ialah membentuk kondisi organisasi yang dapat mengidentifikasi tuntutan berdasarkan komitmen sejarah dari orang-orang terdahulu yang dianggap sebagai “pahlawan”. Penulis berasumsi bahwa jika sebuah organisasi – seperti sekolah – belum memiliki budaya yang kuat, maka merancang budaya sekolah juga harus diawali dengan mengidentifikasi tuntutan sejarah. Jadi, masih sejalan dengan pengembangan budaya oleh Cross dan Schichman.
Langkah pertama adalah mengidentifikasikan tuntutan komitmen sejarah dari orang-orang terdahulu yang disebut sebagai “pahlawan”. Ide konsep dari pahlawan tersebut terbentuk berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan kerumitan permasalahan yang menurut mereka harus diatasi  dan akan dihadapi (Manahan, 2012). Pertanyaan yang muncul adalah siapakah “pahlawan” di sekolah? Terrance Deal (1985), dalam Hoy dan Miskel (2014), mengemukakan bahwa kepala sekolah sebagai pahlawan yang mewujudkan nilai-nilai utama. Sementara, karyawan sebagai pahlawan situasional. Dalam lingkup sekolah swasta, selain kepala sekolah, koordinator yayasan bisa disebut sebagai “pahlawan”.
Sebagai contoh, ketika guru-guru menghadapi permasalahan dengan orang tua siswa, kepala sekolah harus membela guru-gurunya bahkan ketika tekanan dari orang tua semakin kuat. Pembelaan kepala sekolah terhadap guru-gurunya bisa menjadi nilai baru, bisa pula menjadi simbol kerekatan dan kesetiaan di lingkungan sekolah. Kisah pembelaan ini akan terus menerus diceritakan kepada guru baru nantinya. Dengan kata lain, ada transfer nilai dan simbol. Inilah budaya organisasi baru.
Contoh lain, ketika terjadi konflik ide/gagasan antar guru atau konflik dengan kepala sekolah sendiri. Pemecahan konflik harus dimusyawarahkan bersama dengan memilih gaya pemecahan yang tepat, kolaborasi misalnya; bukannya baku-hantam karena perbedaan pendapat. Kebiasaan bermusyawarah menjadi budaya baru bagi sekolah dan terus-menerus dipertahankan.
Cita-cita dan harapan pendidikan masa depan bisa juga dijadikan sebuah budaya. Misalnya dalam menghadapi globalisasi, hilangnya batas antar bangsa, maka penting sekali menguasai Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya. Sekolah wajib menyediakan kegiatan belajar tambahan tentang penguasaan bahasa asing untuk memfasilitasi peserta didik menguasai bahasa asing. Budaya belajar bahasa asing menjadi budaya sekolah dengan tetap mempertahankan bahasa lokal dan bahasa nasional. Artinya, sekolah tersebut menyiapkan peserta didiknya untuk menghadapi tantangan globalisasi.

2.      Kreativitas dan Pemahaman Keutuhan
Terdapat dua variabel dalam kreativitas dan pemahaman keutuhan ini. Pertama, kepemimpinan dan aturan. Kedua, norma dan nilai komunikasi.
Para pemimpin itu penting karena mereka berfungsi sebagai jangkar, memberikan bimbingan pada masa-masa perubahan, dan bertanggung jawab atas efektivitas organisasi (Hoy dan Miskel, 2014). Di sekolah, peran pemimpin dipegang oleh kepala sekolah. Kepala sekolah harus mampu menata aktivitas dan menjalin hubungan di lingkungan sekolah. Aktivitas kepala sekolah sangat padat; memberdayakan, mengarahkan, mengawasi, mengevaluasi kinerja guru, berkomunikasi dengan berbagai elemen – baik internal maupun eksternal, dan berbagai aktivitas lainnya.
Sebagai contoh, sebelum memulai kegiatan pembelajaran di pagi hari, setiap pagi, kepala sekolah mengumpulkan guru-guru untuk memberikan arahan, motivasi, atau informasi-informasi baru. Untuk melaksanakan ini dibuat aturan, “guru harus tiba di sekolah 30 menit sebelum proses belajar-mengajar dimulai”. Kepala sekolah membuat seperangkat aturan atau norma, dan dengan menggunakan pengaruhnya, guru diwajibkan menyimak, menerima, dan mematuhi. Inilah budaya sekolah yang menjadi ciri pembeda dengan sekolah lain.
Komunikasi bersifat kompleks, halus, menjamur, dan penting; komunikasi mewarnai semua aspek kehidupan sekolah (Hoy dan Miskel, 2014). Oleh karena itu, harus ada model peraturan yang menjadi norma dan nilai dalam berkomunikasi di sekolah. Contoh norma dan nilai komunikasi di lingkungan sekolah, 1) saling menghormati satu sama lain ketika berbicara; 2) mengucapkan salam dan berjabatan tangan saat bertemu di pagi hari; 3) informasi dari bawahan harus disampaikan secara transparan/terbuka kepada atasan; 4) kepala sekolah harus memberikan arahan, informasi, atau motivasi yang jelas sehingga dipahami oleh semua warga sekolah; 5) guru harus mampu berkomunikasi (baik secara formal atau informal) kepada peserta didik. Norma dan nilai-nilai ini terus dipertahankan dan kalau bisa dikembangkan terus.

3.      Promosi dan Pemahaman tentang Anggota
Promosi dan pemahaman tentang anggota meliputi: sistem penghargaan, manajemen karier dan keamanan kerja, rekrutmen dan penempatan, sosialisasi anggota baru, pelatihan dan pengembangan. Promosi dan pengembangan karier merupakan hal penting bagi setiap karyawan termasuk guru-guru di sekolah. Guru pegawai negeri mungkin tidak memerlukan ini karena kenaikan pangkat dan golongan sudah diatur oleh pemerintah. Namun, bagaimana dengan guru honor, guru tidak tetap, atau guru tetap yayasan yang berstatus guru swasta?
Kelemahan dalam perekrutan dan penempatan guru yang umum terjadi di sekolah-sekolah adalah merekrut dan menempatkan guru tidak pada bidang keahliannya. Penempatan sering mengabaikan sisi profesionalisme guru. Oleh karena itu, perlu merancang budaya baru. Perekrutan dilakukan dengan terencana, terprogram dan akurat. Sesuai dengan kekosongan yang terjadi. Misalnya bila kebutuhannya guru Matematika, maka sekolah wajib merekrut calon guru Matematika. Bila ada pelamar lain selain yang memiliki bidang di Matematika, tidak perlu diterima. Memang akan ada kendala bila calon guru yang diharapkan terbatas. Namun, bila dilakukan dengan serius, terprogram dan akurat, maka perekrutan berjalan dengan baik.
Penyelenggara sekolah atau pemimpin sekolah perlu memikirkan sistem penghargaan bagi karyawan. Dalam hierarki kebutuhan Maslow, kebutuhan tertinggi manusia adalah aktualisasi diri (Robbins, 2014). Dengan demikian, penting sekali untuk merancang sistem penghargaan bagi guru-guru yang berdedikasi tinggi. Sebagai contoh, pada saat melaksanakan upacara bendara atau peringatan hari pendidikan nasional, kepala sekolah mengumumkan di depan warga sekolah siapa saja tenaga pendidik dan kependidikan yang berprestasi. Ini bisa menjadi budaya baru (ritual) bagi sekolah yang jauh lebih bermakna daripada pemberian bonus lain. Sistem penghargaan ini memberi pengakuan terhadap kinerja individu dan disaksikan oleh seluruh warga sekolah (aktualisasi diri). Budaya yang baik ini harusnya diciptakan dan terus dipertahankan.
Bagian lain yang penting adalah manajemen karier. Ada guru yang mengajar di suatu sekolah selama lebih dari 10 tahun, namun tetap menjadi guru biasa; tidak ada peningkatan karier – misalnya dipromosikan sebagai wakil kepala sekolah, dipromosikan sebagai kepala sekolah, atau dipromosikan untuk memegang jabatan strategis tertentu. Budaya ini perlu diperbaharui. Dalam dunia belajar-mengajar ada istilah guru senior atau guru junior, dan selalu begitu selamanya. Bagaimana merancang budaya baru dalam bagian ini? Penulis menawarkan beberapa hal, antara lain: 1) pemimpin sekolah membuat sebuah kebijakan tentang promosi jabatan – siapa yang layak dinaikkan jabatannya; 2) pemimpin sekolah memberikan penawaran beasiswa studi lanjut kepada guru-guru yang sudah lama mengajar dan telah menunjukkan dedikasi tinggi; 3) mengikut-sertakan guru-guru dalam program sertifikasi guru; 4) melaksanakan pelatihan dan pengembangan secara berkala dan berkesinambungan (misalnya: pelatihan bahasa Inggris, pelatihan penanganan siswa berkebutuhan khusus, seminar-seminar, dan lain-lain).
Bagian terakhir dari promosi dan pemahaman tentang anggota adalah sosialisasi anggota baru. Di suatu organisasi pasti ada anggota yang baru bergabung. Anggota baru ini membawa tujuan-tujuan individunya sambil berusaha menyesuaikan diri dengan budaya yang ada di sekolah. Pemimpin, kepala sekolah, berperan dalam mengenalkan budaya sekolah kepada anggota baru tersebut. Kepala sekolah menceritakan budaya sekolah yang berlaku; nilai-nilai, norma, aturan, kebiasaan, ritual, dan sebagainya. Sehingga anggota baru tersebut mengenal organisasi secara utuh. Sosialisasi anggota baru bisa dengan mengadakan acara khusus dalam rapat guru (ritual) sebagai acara penyambutan sehingga guru baru merasa diterima di lingkungan barunya dan siap bekerja sama dengan guru lainnya.
Sosialisasi anggota baru terjadi pula di antara peserta didik yaitu ketika penerimaan peserta didik baru. Masa orientasi peserta didik (MOPD) merupakan kesempatan mengenalkan budaya sekolah. Kebiasaan-kebiasaan buruk dan tidak mendidik dalam masa orientasi – seperti perloncoan, kekerasan fisik – hendaknya ditinggalkan. Penulis menawarkan budaya baru yang lebih mendidik, sebagai berikut: 1). MOPD dirancang untuk mengenalkan budaya sekolah; 2). Kegiatan-kegiatan dalam MOPD dirancang untuk menumbuhkan semangat belajar, kekerabatan, saling menghormati – bukannya menimbulkan ketakutan/kecemasan bagi peserta didik; 3). Kepala sekolah dan guru wajib memantau setiap aktivitas; 4). Mengadakan seminar pengembangan diri dengan tema-tema yang sesuai bagi perkembangan peserta didik.

4.      Tingkat Pertukaran Informasi di antara Anggota
Bagian terakhir dari analisis pengembangan budaya organisasi menurut Cross dan Schichman adalah tingkat pertukaran informasi di antara anggota. Pertukaran dapat dimulai dengan memfasilitasi kontak antarsesama anggota kelompok (Manahan, 2012). Selanjutnya, Manahan mengatakan bahwa proses pertukaran tidak hanya sebatas informasi saja, tapi bisa juga dalam bentuk fisik.
Pertukaran informasi erat kaitannya dengan komunikasi. Komunikasi di dalam organsasi semisal sekolah memenuhi sejumlah tujuan pokok – misalnya, produksi dan regulasi, inovasi, dan sosialisasi individual serta pemeliharaan (Myers dan Myers, 1982 dalam Hoy dan Miskel, 2014). Tujuan produksi dan regulasi mencakup penetapan tujuan dan standar, penyampaian fakta dan informasi, pengambilan keputusan, pengarahan dan tindakan memengaruhi pihak-pihak lain, dan penilaian hasil. Tujuan inovasi meliputi pesan-pesan tentang penciptaan gagasan baru dan program, struktur, dan prosedur yang menantang di sekolah. Tujuan terakhir meliputi sosialisasi dan pemeliharaan memengaruhi harga diri partisipan, hubungan antra-pribadi, dan motivasi untuk memadukan tujuan-tujuan individual mereka dengan tujuan sekolah (Hoy dan Miskel, 2014).
Salah satu cara membangun pertukaran informasi adalah menciptakan jaringan komunikasi formal di antara anggota organisasi sekolah. Menurut Barnard dalam Hoy dan Miskel (2014) beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam membangun jaringan komunikasi formal di sekolah:
  1. Saluran komunikasinya harus diketahui.
  2. Salurannya harus menghubungkan semua anggota organisasi.
  3. Jalur-jalur komunikasi harus sesingkat dan selugas-lugasnya.
  4. Jaringan lengkap komunikasinya sebaiknya digunakan.
  5. Setiap komunikasi harus diautentifikasi benar-benar berasal dari orang yang tepat yang menduduki jabatannya dan di bawah otoritasnya untuk mengeluarkan pesan yang bersangkutan.

Dalam hal pengambilan keputusan, yang menjadi pertanyaannya adalah kapan dan bagaimana seyogianya guru dilibatkan dalam pengambilan keputusan? Penyelenggara sekolah harus memperhatikan berbagai situasi saat pengambilan keputusan. Penyelenggara sekolah bisa mengidentifikasi situasi-situasi tersebut dengan mengajukan dua pertanyaan berikut:
  • Pertanyaan relevansi: Apakah bawahan memiliki kepentingan pribadi pada hasil keputusan?
  • Pertanyaan kepakaran: Bisakah bawahan menyumbangkan kepakarannya pada solusi?

Selain dua pertanyaan tersebut, ada satu tambahan, Pertanyaan kepercayaan: bisakah bawahan dipercaya untuk mengambil keputusan demi kepentingan terbaik organisasi?

Peran kepala sekolah adalah mengembangkan pemberdayaan guru dalam pengambilan keputusan dan peran bertukar-pikiran. Hoy dan Miskel (2014) mengemukakan peran kepala sekolah tersebut: pertama, para guru harus belajar dan kemudian membuktikan bahwa kesejahteraan siswa dan sekolah mereka lebih utama daripada agenda pribadi. Kedua, kepala sekolah memperlihatkan ketulusan dengan para guru – percakapan yang tulus atau lugas, keterbukaan, konsistensi, dan tidak ada rekayasa. Ketiga, ketika guru tidak memiliki pengetahuan untuk berpartisipasi secara efektif, maka kepala sekolah harus menumbuhkan kepakaran tersebut. Memang tidak semua guru mau dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Guru-guru tersebut memilih mengikuti keputusan penyelenggara sekolah. Namun, tetap saja kepala sekolah perlu mencari sosok guru yang memiliki kepakaran dalam hal pengambilan keputusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar