Jumat, 19 Desember 2014

Makna Natal

Apa arti Natal buatmu? Orang Kristen tentu memiliki pemahaman bahwa Natal adalah peringatan datangnya Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat, ke dalam dunia. Tuhan menjadi sama seperti manusia karena kasih-Nya yang besar. Apakah orang Kristen benar memiliki pemahaman seperti itu? Kelihatannya tidak. Sering natal dirayakan untuk diri sendiri, keluarga sendiri, kelompok sendiri, atau gereja sendiri, bukan lagi peringatan lahirnya Tuhan Yesus.

Sekarang, di pusat-pusat perbelanjaan selalu terdengar lagu-lagu bernuansa natal, hiasan berbau natal di sana-sini; bukan untuk merayakan kelahiran Tuhan Yesus, melainkan agar menciptakan suasana natal saja. Ditambah diskon yang menarik minat pembeli. Untuk siapa natal dirayakan?

Dua hari yang lalu (Rabu) aku hadir di acara Natal kampus. Ruang aula penuh. Berbagai pertunjukkan ditampilkan; tarian beberapa daerah, drama pantomim, vokal grup, paduan suara, dan lain-lain. Semuanya menarik untuk dilihat. Semuanya membuat hadirin bertepuk tangan. Tapi untuk siapa semua itu? Sedihnya adalah pada saat renungan Natal, saat pendeta mulai berkhotbah, rata-rata hadirin bermain smartfon, ada yang mengobrol, sibuk sendiri; tidak memperhatikan khotbah.

Aku sangat menikmati khotbah Natal kampus saat itu. Pendeta yang menyampaikan renungan, seorang teolog, mengatakan bahwa Natal adalah sebuah perayaan yang skandalon. Sebuah perayaan yang menjijikan. Tidak ada perbedaan antara memuliakan Allah dengan menghujat Allah. Inilah khotbah yang kutunggu-tunggu. Ngomong-ngomong, acara Natal ini adalah yang pertama yang kuikuti di tahun ini. Khotbah yang begitu tegas menegur acara-acara Natal yang salah. Saya tidak tahu apakah hadirin memahaminya, tapi aku sendiri begitu menikmati. Sambil introspeksi diri tentang bagaimana menjalankan ibadah yang sesungguhnya.

Aku berpendapat bahwa tidak perlu merayakan Natal dengan meriah. Sederhana saja cukup. Inilah alasan aku tidak mengikuti ajakan/undangan Natal di beberapa tempat, karena kebanyakan hanya untuk unjuk kemeriahan acaranya saja. Kalau memang diadakan dengan meriah, apakah menjamin bahwa perayaan itu untuk memuliakan Allah? Bagaimana mengetahui bahwa orang sungguh-sungguh menikmati Allah dan bukan pertunjukan-pertunjukan dalam perayaan? Karena sesungguhnya Allah tidak menginginkan persembahan atau perayaan, melainkan hati yang tunduk di hadapan-Nya. Itulah ibadah yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar