Minggu, 21 Desember 2014

Materialisme dan Natal

Salah satu tulisan singkat yang kubaca di facebook siang ini (Senin) dari seorang teman: Mengapa Tuhan memilih lahir sebagai orang miskin? Mungkin supaya dunia sadar, letak martabat seseorang bukan pada materi. Selanjutnya dituliskan, Natal bisa menjadi tamparan bagi dunia yang lebih mengasihi materi daripada sesama.

Materialisme merupakan pandangan atau pemahaman yang 'meninggikan' materi. Materi di sini bisa berarti barang berharga, uang, kekayaan, kepemilikan, dan gelar. Lebih khusus lagi, mungkin, mobil mewah, rumah mewah, emas, permata, jabatan tinggi, dan gelar doktor. Itulah yang dikejar manusia saat ini. Biasanya orang senang sekali menampilkan foto-foto 'kesuksesan' mereka. Berfoto dengan latar mobil baru, foto keluarga dengan latar ruang tamu yang mewah, atau yang lain-lain; menampilkan materi yang diperoleh.

Lebih jauh lagi, materi dijadikan sebagai status sosial. Kepemilikan mobil mewah, misalnya, menjadikan seseorang disebut orang kaya. Dan seseorang tersebut senang dengan status itu - orang kaya. Materi menjadi penentu martabat manusia. Martabat bisa diartikan sebagai tingkat/derajat manusia, harga diri, status sosial yang 'tinggi'. Orang yang tidak memiliki materi berarti status sosialnya 'rendah', tidak terpandang, tidak terhormat.

Kebalikan dari semua itu - yaitu apa yang dikejar oleh manusia - adalah peristiwa Natal. Yesus Kristus memilih lahir di kandang domba. Sebuah tempat yang hina. Bagaimana mungkin Allah yang menciptakan alam semesta datang ke dunia melalui tempat yang hina? Sebuah antiklimaks. Pribadi Allah yang dalam benak manusia mungkin seperti superhero yang gagah, ternyata lahir sebagai orang miskin. Bagaimana mungkin 'sang superhero' terlahir seperti itu? Bagaimana mungkin Sang Raja terlahir di kandang, bukannya di istana?

Peristiwa Natal harusnya menyadarkan manusia yang mencintai materi, kalau bukan menjadi tamparan. Namun, kadang tamparan bisa menumbuhkan kesadaran. Tentu ini lebih sakit. Peristiwa kelahiran Yesus Kristus seharusnya mengubah cara pandang manusia; dari mencintai materi menjadi mencintai Tuhan. Sehingga tidak ada lagi pembedaan status sosial dalam masyarakat, tidak ada lagi orang yang menyombongkan diri, melainkan berperilaku rendah hati.

Lebih khusus lagi, misalnya, dalam memilih pasangan hidup. Bukan lagi memandang dari materi, status sosial, atau gelarnya; melainkan pribadinya yang takut akan Tuhan. Hal ini sering menjadi hambatan bagi dua pasangan muda yang hendak melanjutkan hubungan ke pernikahan; orang tua tidak merestui hanya karena calon pasangan anak mereka bukan orang kaya, bukan orang terpandang, bukan orang terhormat. Padahal bisa saja calon pasangan anaknya adalah seorang yang mengasihi Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar