Orang biasanya mengatakan cukup ketika keinginan terpenuhi, ketika jenuh dengan hubungan yang kurang baik, ketika merasa lelah, ketika kekenyangan, atau ketika bosan hidup sendiri dan memutuskan mencari pasangan. Ini artinya ada batasan untuk sebuah cukup. Kapan batasan cukup terpenuhi atau belum terpenuhi? Mengapa ada orang yang merasa tidak pernah cukup? Sebaliknya, mengapa ada orang yang selalu merasa cukup?
Cukup itu berarti dapat memenuhi kebutuhan atau memuaskan keinginan, lengkap, genap. Cukup juga berarti tidak berlebihan, tidak kurang, pas, tepat.
Apakah batasan cukup ditentukan oleh tiap individu? Apakah ada batasan yang melampaui semua keinginan manusia? Pertanyaan pertama, bila standar cukup ditentukan oleh tiap individu, maka setiap individu memiliki batas cukup masing-masing. Masalahnya bagaimana agar tiap kebutuhan terpenuhi tanpa merugikan orang lain. Pertanyaan kedua, menurutku ada. Hidup manusia memiliki batas. Contohnya, tidak mungkin kita makan sebanyak-banyaknya karena volume lambung kita terbatas. Itulah batasan cukup mengenai makan. Masalahnya adalah bagaimana bila menyangkut harta, kekuasaan, dan nafsu memiliki?
'Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah', kata Rasul Paulus. Ukurannya jelas yaitu makanan dan pakaian. Setiap percaya tahu akan hal ini. Tapi apa benar mereka menghidupinya? Banyak juga yang akhirnya menumpuk dan menikmati sendiri kekayaannya. Sebagian lagi terus merasa khawatir dan kekurangan padahal sebenarnya hidupnya berkecukupan.
Ada yang bilang bahwa cukup itu ketika kita sudah merasa bahagia dengan apa yang kita miliki. Bisa makan dan minum, bahagia? Punya rumah sederhana, bahagia? Punya mobil, bahagia? Bisa keliling dunia, bahagia? Biasanya sih bahagianya cuma sementara. Lama-kelamaan bosan. Kemudian butuh sesuatu yang lebih lagi agar bisa bahagia. Kata lain, tidak cukup. Hahaha. Ini sih bukan hal baru ya. Semua orang juga tahu.
Menariknya, manusia terkadang menghadapi dilema. Misalnya ada seseorang merasa cukup (makan, minum, pakaian, tempat tinggal, pekerjaan tercukupi), lalu ia memutuskan hidup seadanya dan terlihat sederhana di mata orang lain, namun ada saja yang mengatakan orang itu tidak punya semangat hidup, tidak berambisi, tidak punya gairah. 'Masa ia mau hidup begitu-begitu saja,' kata mereka. Atau ada teman atau kerabat berkata, 'berkembang dong', 'jangan mau begini terus'.
Di pihak lain, ada orang sudah berkecukupan namun hidupnya masih dipenuhi ambisi untuk meraih sesuatu, entah kekayaan, popularitas, jabatan. Kemudian orang lain berkata, 'apa sih yang dia cari, dia sudah punya segalanya', 'serakah', dlsb.
Bingung, kan? Aku juga bingung. Aku pernah ditanya seseorang mengapa aku memakai pakaian yang itu lagi-itu lagi alias jarang ganti. Kalau tidak yang ini, pasti yang itu. Begitulah. Lantas, aku harus ganti terus gitu tiap ketemu? Apa yang harus aku lakukan? Toh, pakaiannya masih layak pakai. Bingung saya.
Untuk mengakhiri tulisan ini, maka akan kubagikan beberapa pandanganku. Ingat, ini belum tentu benar dan bila keberatan, aku siap berdiskusi tapi di warung kopi ya dan kamu yang bayar. Hehehe.
Ini dia. Kalau dipikir-pikir sesungguhnya rata-rata kebutuhan dasar manusia itu sederhana saja: makanan, pakaian, tempat tinggal. Untuk memperolehnya perlu bekerja. Tapi populasi kian bertambah sehingga membutuhkan lebih banyak makanan, pakaian, tempat tinggal dan kerja.
Kebutuhan manusia diproduksi banyak. Ditambah hal-hal lain seperti hiburan dan pelayanan jasa. Saking banyaknya, saat ini, sampai-sampai kita tidak bisa bedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Kita disuguhi berbagai cara hidup yang "ideal", gaya berpakaian yang keren, gadget terbaru, makanan mewah, hiburan terasyik, lewat iklan atau media massa atau media sosial. Sialnya banyak orang terpengaruh. Yang tadinya hidup dengan cukup, sekarang merasa kekurangan karena tidak sesuai dengan standar "ideal" yang ditawarkan iklan. Yang tadinya puas dengan pakaian sederhana, menjadi minder karena tidak mengikuti tren.
Kita disandera atau tersandera oleh brand, merek, dan 'pandangan orang tentang kita'. Aku sendiri berjuang melepaskan diri dari jeratan (pandangan orang tentang kita) ini. Dalam anugerah-Nya berhasil. Dan saat melakukannya memang sering terlihat aneh, kuno, dan 'miskin'. Dan kurasa ada banyak orang juga yang merasakan hal sama. Yaitu mereka yang berusaha hidup seadanya.
Pangkal dari hidup yang selalu merasa tidak cukup menurutku adalah menaruh hati pada sesuatu yang tidak kekal; memberhalakan apa yang ada di dunia. Sehingga hidup tidak pernah bersyukur.
Aku ingat cerita George Muller (lagi-lagi tokoh ini) ketika cadangan makanan panti asuhannya tinggal sedikit, maka ia meminta asistennya untuk mengeluarkan semuanya cadangan yang ada. Artinya, habis sudah semua. Tapi George Muller berharap pada Tuhan - Sang Kekal. Tuhan-lah yang kemudian memenuhi seluruh kebutuhan panti asuhannya di hari-hari berikutnya.
Sekarang, kita sangat mengkhawatirkan masa depan kita, berapa tabungan yang tersisa, bagaimana nanti ke depan, dan lain sebagainya. Celakanya, kita berharapnya pada uang, kuasa, jabatan, orang lain, kepada calon pasangan (bagi yang lajang); bukan pada Tuhan. Sehingga hidup pun diliputi rasa tidak cukup dan khawatir.
Kalau hidup ini berkelimpahan melulu, kapan kita akan merasakan keajaiban penyertaan Tuhan. Tapi orang tidak menyadari ini. Ketika situasi genting, uang menipis misalnya, bukannya mencari Tuhan lebih dulu, tapi membuat berbagai langkah antisipasi yang masuk akal.
Jadi, cukup itu adalah mensyukuri apa yang ada dan mengharapkan yang terbaik dari Tuhan. Jangan jadi hamba uang, jangan jadi hamba 'keinginan hatimu'. Hidup bersyukur merupakan konsekuensi dari berjalan bersama Allah. Apakah boleh meminta lebih? Tentu boleh dong, asal Tuhan berkenan.
Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah!