Seorang teman curhat, dia akan diangkat menjadi ketua
di suatu bagian di kantornya. Isi curhatnya adalah ia tidak mampu, belum layak,
masih ada karyawan lain yang lebih pantas, dan berbagai alasan lainnya. Dilihat
dari pengalaman kerjanya sebenarnya dia sudah pantas dipromosikan menjadi ketua
di bagian tersebut.
Aku pun pernah di posisi itu. Berbagai alasan keluar
demi menolak tugas dan tanggung jawab yang lebih besar. Manusia memang
penghasil alasan.
Namun aku belajar dari seorang tokoh besar yang pernah
ada. Dia adalah Musa. Seorang nabi yang sangat ternama sepanjang masa. Aku
tidak ada apa-apanya dibanding Nabi Musa. Jauh...
Musa sebagai tokoh besar, ternyata pernah menolak
panggilan Tuhan dengan berbagai alasan. Dia berbantah dengan Tuhan. Saat tiba
di gunung Horeb, ia melihat semak duri yang menyala, tetapi tidak dimakan api. Singkatnya,
Tuhan menemui dia. Tuhan hendak mengutus Musa untuk membawa umat Israel keluar
dari Mesir.
Sebagai manusia biasa, mungkin kita akan berpikir: “Musa
pasti bisa”, “Musa itu tokoh besar”, dan lain-lain. Eits jangan salah,
nyatanya, Musa tidak langsung menerima panggilan Tuhan. Malahan dia berbantah
dengan Tuhan.
Ini dia bantahan demi bantahan Musa (Keluaran 3 – 4):
“Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun
dan membawa orang Israel keluar dari Mesir” (ayat 11/3)
“Tetapi bila aku mendapatkan orang Israel dan berkata
kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu: bagaimana
tentang nama-Nya? – apakah yang harus kujawab kepada mereka?” (ayat 13/3)
“Bagaimana jika mereka tidak percaya kepadaku dan tidak
mendengarkan perkataanku, melainkan berkata: TUHAN tidak menampakkan diri
kepadamu?” (ayat ¼)
“Ah, Tuhan, aku ini tidak pandai bicara, dahulu pun
tidak dan sejak Engkau berfirman kepada hamba-Mu pun tidak, sebab aku berat
mulut dan lidah.” (ayat 10/4)
“Ah, Tuhan, utuslah kiranya siapa saja yang patut
Kauutus.” (ayat 13/4)
Sebuah ide ganjil muncul di benakku.
Ketika Tuhan memanggil nama Musa, bayangkan bila itu
adalah namamu.
"Aris, Aris!". "Siapa yang menyebut namaku?" Pikirku. Mirip kutipan cerpen ya hehehe. Itu kalau namaku
yang dipanggil ya...
Kemudian, bayangkanlah ekspresi Musa ketika berbantah
dengan Tuhan! Mungkin wajahnya cemberut ketika berkata ‘siapakah aku ini’
sambil menundukkan kepala seakan merendah.
Wajah-bingungnya terbentuk kala berkata tentang respons orang Israel mengenai
nama Tuhan. Dengan sopan – atau sebaliknya
– ia berkata ‘utuslah kiranya siapa saja yang patut Kauutus’. (saran: jangan
lakukan ide ini! Cukup kembali kepada Alkitab).
Lalu apa yang bisa kita pelajari:
Pertama, Tuhan hadir secara personal kepada Musa. Tuhanlah
yang pertama kali menyapa Musa dengan meyebut namanya. Allah yang menciptakan
alam semesta ini bersedia hadir di depan manusia ciptaan-Nya. Luar biasa! Apakah
kita menyadari bahwa Tuhan sesungguhnya ada di dekat, tepat di sisi kita?
Kedua, kehadiran Allah bermaksud untuk memanggil anak-anak-Nya
untuk misi tertentu dan menyatakan penyertaan-Nya. Tuhan sendiri berkata: bukankah
Aku akan menyertai engkau? Saat Tuhan memanggil, kita suka sekali menciptakan
alasan yang kelihatan masuk akal. Namun, lupa bahwa Allah sesungguhnya
menyertai. Aku yakin ‘menyertai’ di sini adalah “benar-benar ada” atau “benar-benar
hadir” di sisi kita secara harafiah.
Atau, seringkali ketika sibuk bekerja, kita lupa
penyertaan Allah. Sehingga ketika kelelahan, tantangan, atau ancaman datang,
kita merasa berjuang sendiri.
Ketiga, ketika sudah tahu siapa yang memanggil
seharusnya respons kita adalah taat. Ketika Musa berkata kepada Tuhan, utuslah
yang lain, maka bangkitlah murka Tuhan. Secara tidak langsung Musa berkata aku
tidak mau, aku kan memiliki kekurangan, aku tidak layak. Oleh karena itu, Tuhan murka. Konsekuensi dari
ketidaktaatan adalah murka Allah.
Keempat, Tuhan tahu kekurangan atau kelemahan kita. Tuhan
akan menyediakan seorang “Harun” kepada kita untuk mengatasi kelemahan kita. Betapa
baiknya Tuhan itu.
Semoga saja kita memilih untuk taat melakukan kehendak
Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar