Senin, 22 Oktober 2018

Cinta


Satu kata seribu makna. Itulah cinta. Para filsuf, politikus, penyair, rohaniwan, setiap insan berusaha memaknainya. Hasilnya? Tidak ada kesepakatan apa itu cinta. Untuk memudahkan, maka cinta diberi definisi atau batasan makna yaitu suka sekali, kasih, terpikat, sayang; bahkan dimaknai juga sebagai rindu, risau, atau khawatir, dll.



Terkadang cinta diwujud-nyatakan sebagai benda seperti sekuntum bunga, uang, kekayaan, atau istana megah. Ada pula dalam bentuk pengorbanan, kesetiaan, atau komitmen. Dan lebih sering dituliskan dalam kata-kata. Puisi, prosa, cerita pendek, cerita panjang, novel. Tapi semua itu hanyalah tanda. Tanda adanya cinta. Sementara orang Yunani kuno membagi cinta dalam beberapa bagian: agape, eros, filia, dan storge.



Ajaibnya setiap orang boleh membicarakan cinta. Tidak perlu seorang ahli cinta. Jadi jangan menolak bila seseorang bicara cinta karena ia bukan ahli cinta. Jangan (atau anda akan saya tuduh melakukan argumentum ad hominem – apaan sih)! Karena tidak seorang pun yang benar-benar ahli dalam cinta. Yang ada adalah orang-orang yang berpengalaman dengan kisahnya sendiri.



Setiap insan memiliki kisah cinta. Sebagian lagi sedang berusaha mengukir kisah cinta mereka. Seperti kata Hemingway bahwa di setiap kisah cinta yang pernah ditulis, tidak satu pun yang mewakili kisah cintanya. Kita pun demikian. Sebab itu kita perlu menuliskannya sendiri. 



Bila cinta mendatangimu, ikuti dia,

Walaupun jalannya sulit dan terjal.

...

Dan jangan kau berpikir kau dapat langsung menuju cinta karena cinta,

Bila cinta menganggapmu berharga, ia akan mendatangimu



Syair di atas ditulis oleh Kahlil Gibran. Dia adalah penyair besar yang terkenal dengan syair-syair cinta. Kisah cinta memang tidak selalu berjalan lurus. Kadang berliku dan jalannya sulit. Ia menguji kesabaran dan perjuangan kita menggapainya. Tidak hanya itu, ia menguji kepekaan kita.



Cinta selalu diidentikkan dengan pertemuan dua insan. Mars dan Venus. (Terkadang juga ada cerita cinta segitiga atau cinta terlarang). Meskipun sulit sekali menemukan alasan mengapa dua orang saling mencintai. Aku pernah ditanyai seseorang, ‘mengapa aku mencintai dia’. Waktu itu, sudah lama sekali, kuajak dia bertemu. Kuutarakan isi hatiku padanya dan dia pun menanyakan pertanyaan tadi. Seperti biasa, otakku berputar cepat mencari jawaban.  Otakku memang terlatih menjawab soal tapi soal fisika dan matematika. Soal seperti ‘mengapa aku mencintai dia?’ merupakan soal tersulit dan menjebak. Hahaha.



Bila kujawab karena dia cantik, berarti aku mencintai kecantikannya (bukan dirinya). Meskipun kuakui dia cantik. Ehm. Bila kujawab karena dia kaya, tidak juga, sebab bukan karena itu aku cinta dan memang dia juga bukan dari golongan orang berada. Bila kujawab karena ‘kamu juga menyukai hal yang kusukai’, maka sekali lagi bukan karena itu. Intinya, aku mencintai dirinya; bukan segala sesuatu yang melekat padanya.  Karena bingung, maka kujawab ‘aku tidak tahu’. Cinta datang begitu saja. Dia pun kebingungan. Hehehe. Cerita ini kukategorikan cerita lama karena aku sudah move on darinya.



Pernah juga sebelumnya – sebelum kisah di paragraf di atas – aku menjalin hubungan dengan seseorang (lawan jenis ya). Namun, karena perbedaan suku dan hubungan tidak direstui oleh orang tuanya, maka ceritanya pun berakhir. Bayangkan... yang saling cinta siapa, yang ‘ribet’ siapa. Tapi pertanyaan kritisnya (yaelah...), apakah saling mencintai harus berujung indah? Saling memiliki? Memiliki apa? Memiliki cinta? Hahaha. Kahlil Gibran menulis, ‘cinta memberi kesia-siaan, tetapi mengambil kesia-siaan juga’. Kesia-siaan di bawah matahari, kata Raja Salomo – sang bijak.



Pelan tapi lambat, eh, pelan tapi pasti, aku pun sedikit demi sedikit memahami apa itu cinta. Ada cinta yang lebih besar. Ada cinta yang menjadi standar tertinggi. Yaitu cinta kasih Tuhan padaku dan pada semua orang yang dikasihi-Nya. Itulah cinta sejati.



Mencintai Tuhan merupakan hal pertama dan utama. Inilah yang kupelajari. Orang boleh saja mencintai siapa pun, namun bila tidak ada Tuhan di sana, maka semua kesia-siaan. Mengapa harus mencintai Tuhan? Karena Tuhan telah lebih dulu mencintai kita (Yoh 3:16). Cinta Tuhan melampaui apa pun. Dia memperbaiki hubungan yang retak, membentuk pribadi dari ‘bukan siapa-siapa’ menjadi ‘berharga’, mentransformasi pandangan kita terhadap alam sekitar sehingga kita lebih peduli, dan lain sebagainya.



Oleh karena itu, aku pun meminta pada Tuhan seorang anak-Nya – hanya anak-Nya – menjadi cinta sejatiku. Jikalau Allah telah mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal – yang terbaik – maka permintaanku tadi sebenarnya terlalu kecil buat Dia. Siapakah dia yang akan ditempatkan di sisiku itu? Aku pun sedang mendoakannya – sambil menyebut namanya. Mungkin Tuhan sedang membentuk dia dan aku secara khusus masing-masing. Sehingga ketika kami dipertemukan, bukan lagi tentang aku atau dia, tetapi tentang DIA.



Kelak, entah cerita cintaku (dan dia) lebih manis dari yang kubayangkan atau sebaliknya – itu tidak penting, selama Tuhan berkenan di dalam cerita itu dan Dia dimuliakan. Tunggulah sampai aku menuliskannya kepada pembaca sekalian. Yang kurasakan saat ini dalam hatiku ada cinta – lebih matang, lebih dewasa dari sebelum-sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar