Satu kata seribu makna. Itulah cinta.
Para filsuf, politikus, penyair, rohaniwan, setiap insan berusaha memaknainya. Hasilnya?
Tidak ada kesepakatan apa itu cinta. Untuk memudahkan, maka cinta diberi definisi
atau batasan makna yaitu suka sekali, kasih, terpikat, sayang; bahkan dimaknai
juga sebagai rindu, risau, atau khawatir, dll.
Terkadang cinta diwujud-nyatakan sebagai benda seperti sekuntum bunga,
uang, kekayaan, atau istana megah. Ada pula dalam bentuk pengorbanan, kesetiaan,
atau komitmen. Dan lebih sering dituliskan dalam kata-kata. Puisi, prosa,
cerita pendek, cerita panjang, novel. Tapi semua itu hanyalah tanda. Tanda
adanya cinta. Sementara orang Yunani kuno membagi cinta dalam beberapa bagian:
agape, eros, filia, dan storge.
Ajaibnya setiap orang boleh membicarakan cinta. Tidak perlu seorang ahli
cinta. Jadi jangan menolak bila seseorang bicara cinta karena ia bukan ahli
cinta. Jangan (atau anda akan saya tuduh
melakukan argumentum ad hominem – apaan sih)! Karena tidak seorang pun yang
benar-benar ahli dalam cinta. Yang ada adalah orang-orang yang berpengalaman
dengan kisahnya sendiri.
Setiap insan memiliki kisah cinta. Sebagian lagi sedang berusaha mengukir
kisah cinta mereka. Seperti kata Hemingway bahwa di setiap kisah cinta yang
pernah ditulis, tidak satu pun yang mewakili kisah cintanya. Kita pun demikian.
Sebab itu kita perlu menuliskannya sendiri.
Bila cinta mendatangimu, ikuti dia,
Walaupun jalannya sulit dan terjal.
...
Dan jangan kau berpikir kau dapat langsung menuju cinta karena cinta,
Bila cinta menganggapmu berharga, ia akan mendatangimu
Syair di atas ditulis oleh Kahlil Gibran. Dia adalah penyair besar yang
terkenal dengan syair-syair cinta. Kisah cinta memang tidak selalu berjalan
lurus. Kadang berliku dan jalannya sulit. Ia menguji kesabaran dan perjuangan
kita menggapainya. Tidak hanya itu, ia menguji kepekaan kita.
Cinta selalu diidentikkan dengan pertemuan dua insan. Mars dan Venus. (Terkadang juga ada cerita cinta segitiga atau cinta terlarang). Meskipun sulit
sekali menemukan alasan mengapa dua orang saling mencintai. Aku pernah ditanyai
seseorang, ‘mengapa aku mencintai dia’. Waktu itu, sudah lama sekali, kuajak
dia bertemu. Kuutarakan isi hatiku padanya dan dia pun menanyakan pertanyaan
tadi. Seperti biasa, otakku berputar cepat mencari jawaban. Otakku memang terlatih menjawab soal tapi soal
fisika dan matematika. Soal seperti ‘mengapa aku mencintai dia?’ merupakan soal
tersulit dan menjebak. Hahaha.
Bila kujawab karena dia cantik, berarti aku mencintai kecantikannya
(bukan dirinya). Meskipun kuakui dia cantik. Ehm. Bila kujawab karena dia kaya, tidak juga, sebab bukan karena
itu aku cinta dan memang dia juga bukan dari golongan orang berada. Bila kujawab
karena ‘kamu juga menyukai hal yang kusukai’, maka sekali lagi bukan karena
itu. Intinya, aku mencintai dirinya; bukan segala sesuatu yang melekat padanya.
Karena bingung, maka kujawab ‘aku tidak
tahu’. Cinta datang begitu saja. Dia pun kebingungan. Hehehe. Cerita ini kukategorikan
cerita lama karena aku sudah move on
darinya.
Pernah juga sebelumnya – sebelum kisah di paragraf di atas – aku menjalin
hubungan dengan seseorang (lawan jenis
ya). Namun, karena perbedaan suku dan hubungan tidak direstui oleh orang
tuanya, maka ceritanya pun berakhir. Bayangkan... yang saling cinta siapa, yang
‘ribet’ siapa. Tapi pertanyaan kritisnya (yaelah...),
apakah saling mencintai harus berujung indah? Saling memiliki? Memiliki apa? Memiliki
cinta? Hahaha. Kahlil Gibran menulis, ‘cinta
memberi kesia-siaan, tetapi mengambil kesia-siaan juga’. Kesia-siaan di
bawah matahari, kata Raja Salomo – sang bijak.
Pelan tapi lambat, eh, pelan tapi pasti, aku pun sedikit demi sedikit
memahami apa itu cinta. Ada cinta yang lebih besar. Ada cinta yang menjadi
standar tertinggi. Yaitu cinta kasih Tuhan padaku dan pada semua orang yang
dikasihi-Nya. Itulah cinta sejati.
Mencintai Tuhan merupakan hal pertama dan utama. Inilah yang kupelajari. Orang
boleh saja mencintai siapa pun, namun bila tidak ada Tuhan di sana, maka semua
kesia-siaan. Mengapa harus mencintai Tuhan? Karena Tuhan telah lebih dulu
mencintai kita (Yoh 3:16). Cinta Tuhan melampaui apa pun. Dia memperbaiki
hubungan yang retak, membentuk pribadi dari ‘bukan siapa-siapa’ menjadi ‘berharga’,
mentransformasi pandangan kita terhadap alam sekitar sehingga kita lebih
peduli, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, aku pun meminta pada Tuhan seorang anak-Nya – hanya
anak-Nya – menjadi cinta sejatiku. Jikalau Allah telah mengaruniakan Anak-Nya
yang Tunggal – yang terbaik – maka permintaanku tadi sebenarnya terlalu kecil
buat Dia. Siapakah dia yang akan ditempatkan di sisiku itu? Aku pun sedang
mendoakannya – sambil menyebut namanya. Mungkin Tuhan sedang membentuk dia dan
aku secara khusus masing-masing. Sehingga ketika kami dipertemukan, bukan lagi
tentang aku atau dia, tetapi tentang DIA.
Kelak, entah cerita cintaku (dan dia) lebih manis dari yang kubayangkan
atau sebaliknya – itu tidak penting, selama Tuhan berkenan di dalam cerita itu
dan Dia dimuliakan. Tunggulah sampai aku menuliskannya kepada pembaca sekalian.
Yang kurasakan saat ini dalam hatiku ada cinta – lebih matang, lebih dewasa
dari sebelum-sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar