Rabu, 04 Juni 2014

Cerita di Warung Kopi

Di sebuah warung kecil duduk seorang laki-laki berumur 52 tahun, si pemilik warung. Ia biasanya duduk di sebuah bangku menunggu pembeli datang. Ia menjual kopi, mie instan, bubur kacang ijo, serta rokok. Warungnya terletak di pinggir jalan kecil. Jalan kecil itu merupakan cabang dari jalan utama menuju perumahan warga. Warungnya terletak kira-kira 50 meter dari jalan utama. Kira-kira 50 meter lagi ke dalam ada sebuah sekolah swasta. Setiap hari warungnya dilewati oleh anak sekolah, guru, orang tua murid atau mobil jemputan, dan juga warga sekitar.

Aku kadang-kadang mampir ke warung si bapak untuk mengopi. Atau biasanya juga aku pesan mie rebus. Sore hari - menjelang malam - biasanya warung si bapak sepi. Pada jam-jam itulah aku biasanya mampir. Sekalian makan malam murah meskipun cuma mie instan. Aku selalu mengajak si bapak mengobrol. Awalnya aku bingung mencari bahan yang perlu kami bicarakan. Kadang kami bahas politik - politik warung kopi - kadang juga bahas hasil pertandingan bola, atau kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar. Tapi semuanya berakhir dalam hening. Aku memang tidak pandai membangun perbicangan.

Suatu sore aku mampir lagi ke warung si bapak. Warungnya kosong. Aku masuk saja dan duduk di bangku panjang. Kupanggil si bapak, ternyata dia sedang mandi. Kutunggu hingga ia selesai sekitar 10 menit. Kupesan mie rebus. Aku sedang ingin makan mi rebus, kataku pada si bapak. Si bapak cuma ketawa sambil memanaskan air.  Sambil makan, aku mengajak si bapak mengobrol seperti biasa karena kelihatannya si bapak sering diam. Mungkin sedikit orang yang mengajaknya bicara. Ataupun kalau ada, ia hanya mengikuti saja pembicaraan orang, para pelanggan tetapnya. Pelanggan tetapnya merupakan para sopir jemputan anak sekolah. Si bapak pernah bilang orang-orang yang datang ke warungnya biasanya main catur atau bahas bola.

Kali ini aku ingin mendengar kisah hidup si bapak. Sepertinya aku berhasil membuat si bapak mau berbicara banyak. Karena yang dia bicarakan adalah tentang dirinya sendiri. Ia lahir tahun 1962. Setelah lulus sekolah dasar (SD) ia langsung bekerja sebagai penambang pasir di sungai untuk membantu perekonomian keluarganya saat itu. Tiga kakak kandungnya bahkan tidak lulus SD karena tidak cukup biaya. Pada saat umurnya 15, tahun 1977, ia pun mengikuti teman-temannya merantau ke ibukota. Beberapa teman sekolahnya malah sudah lebih dulu mengadu nasib ke Jakarta, kenangnya. Saat menceritakan itu, matanya mengarah entah ke mana seolah-olah ingin membangkitkan kenangan lama.

Di Jakarta ia mengadu nasib. Awalnya menjadi pedagang asongan. Berjalan menyusuri jalanan ibukota untuk menjajakan dagangannya. Aku tidak pernah jualan sebelumnya, kata si bapak. Tapi temannya memaksanya. Ia harus bisa bertahan hidup di Jakarta. Tidak bisa pulang ke kampung halaman - Jawa Barat - karena tidak punya uang cukup. Ongkos busnya saat berangkat ke Jakarta pun pinjaman dari tetangga padahal cuma Rp5.000. Saat itu rupiah cukup mahal. Di bandingkan sekarang apalah artinya Rp5.000 itu, kenangnya lagi.

Tiga belas tahun ia menjadi pedagang di Jakarta. Mulai dari pedagang keliling  hingga akhirnya ia memiliki sebuah kios sewaan di dekat terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Beberapa kali sebelumnya ia berpindah-pindah. Pernah di Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan terakhir di Jakarta Selatan. Tahun 1989, si bapak menikah. Anak pertamanya lahir setahun kemudian. Pada saat itulah ia pindah ke daerah Bogor, warungnya sekarang. Kalau dihitung, sudah 24 tahun si bapak berjualan di warungnya ini. Waktu yang sangat lama.

Si bapak bercerita, kadang-kadang kalau ia sedang duduk-duduk di bangkunya dan ia melihat anak sekolah berlari-lari di depannya, ia terkenang akan masa kecilnya di kampung saat sekolah dulu; mereka berlari-lari tanpa sepatu dan seragam sekolah. Kenapa ya ada masa-masa itu, kenangnya. Lagi ia bercerita, waktu kecil mereka harus membagi jatah makanan. Satu mangkuk nasi jagung (sambil menunjuk mangkuk mie rebusku) harus di makan dua kali, pagi dan siang, tidak boleh dihabiskan sekaligus. Kalau tidak, maka jatah makan siangpun juga tidak ada. Terpaksa berangkat ke sekolah dengan perut masih lapar.

Kalau dihitung, sudah 37 tahun si bapak meninggalkan kampung halamannya. Bulan lalu ia pulang untuk memperbaiki rumah di desa. Selama dua minggu, ia menitipkan warung ke seorang perempuan. Perempuan itu adalah istri dari (alm) temannya yang pertama kali mengajaknya merantau. Mereka sudah seperti keluarga. Senasib dan seperjuangan, katanya. Sekarang, si bapak memiliki tiga anak. Anak pertama bekerja di sebuah perusahaan tekstil sebagai ahli mekanik. Anak kedua juga sudah bekerja di salah satu toko di daerah Bogor. Dan anaknya perempuan, si bungsu, sudah kelas satu SMA.

Selain pengalaman hidup yang sudah dilewati dengan susah payah, hal menarik yang ia kisahkan adalah tentang cita-citanya. Si bapak berkata bahwa dulu kakak-kakaknya tidak lulus SD dan ia sendiri hanya lulus SD, maka kelak anak-anaknya harus melebihi dirinya. Setidaknya ketiga anaknya lulus sekolah menengah pertama (SMP). Satu tingkat lebih dari dirinya. Hidup saya begini-begini terus, tapi saya mau anak-anak saya sukses, kata si bapak. Ternyata, cita-cita si bapak melampaui yang ia harapkan. Bahkan kedua anaknya sekarang (si bungsu menyusul) bisa lulus sekolah menengah atas (SMA). Alhamdulillah, kata si bapak sambil menarik nafas panjang.***

Ketika kisah hidup yang panjang diceritakan dalam waktu kira-kira 90 menit (membaca kisah inipun tidak sampai 5 menit) membuat kita merenung betapa hidup ini singkat.. Gunakan waktu yang ada semaksimal mungkin. Lakukan apa yang bisa dilakukan hari ini. Dengan kata lain jangan suka menunda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar