Selasa, 29 Oktober 2013

sesudah hujan

sesudah hujan
angin diam
udara basah.
sesudah hujan
langkah langkah pelan
di jalan basah.
di sudut jalan
kulihat sang bidadari
sayapnya kuyup
sesudah hujan.
hujan telah pulang
ditinggalkannya bidadari itu
menggigil sedih.

nyanyian rindu

garis garis hujan di luar
adalah senar puisi kenangan
dipetik jemari cantik sang bidadari
mendendangkan nyanyian hati.
di sini aku, si penyendiri,
memeluk sepi sambil menikmati
nyanyian rindu yang dinyanyikan hujan
dengan suara berisik.

Rabu, 23 Oktober 2013

Cerita Maya

Namanya Maya. Perempuan muda baru menikah. Ia sering ditinggal pergi suaminya karena tuntutan pekerjaan. Ia juga sering ikut berpindah kota kalau suaminya tiba-tiba dipindah-tugaskan ke kota lain. Meski sekarang bersama keluarga barunya, Maya kadang merasa kesepian. Tentu ia tidak menyalahkan suaminya akan kondisi ini. Ia mencintai suaminya. Dia akan hidup bersama suaminya dalam senang dan susah. Itulah janji pernikahan mereka. Karena sering berpindah tempat, mereka pun biasa mengontrak rumah. Sudah ada memang rencana membeli rumah permanen, namun itu masuk dalam rencana jangka panjang mereka, kata suaminya suatu hari.

Tapi siapa sangka suatu hari Maya mengkhianati pernikahan mereka. Berawal saat mereka mengontrak rumah di daerah Depok, Jawa Barat. Rumah kontrakan yang juga dihuni oleh orang lain. Rumah kontrakan itu memang dihuni oleh beberapa keluarga, tapi ada juga yang penghuninya yang masih sendiri atau belum berkeluarga. Seperti hari-hari biasanya, rumah itu sering sepi di siang hari karena penghuninya semua telah berangkat kerja. Dan keadaan akan kembali ramai saat hari telah malam. Kecuali satu orang, jarak dua kamar di sebelah kamar Maya dan suaminya, seorang pemuda yang berprofesi sebagai guru, Feri. Profesinya sebagai guru membuatnya pulang lebih awal dari penghuni kontrakan yang lain. Di pagi hari, biasanya Ferilah yang terakhir berangkat karena tempatnya bekerja, yaitu di sebuah sekolah, hanya seratus meter jaraknya dari rumah itu.

Suatu hari, Maya merasa sangat kesepian. Bosan dengan keadaannya yang sendirian. Pernah ia minta untuk mencari pekerjaan, namun suaminya tidak mengizinkannya, tentu dengan alasan suatu hari, yang tidak menentu, mereka akan pindah dari kota itu. Sebenarnya ini menjadi ujian awal buat mereka. Adanya perbedaan pendapat. Namun, Maya selalu berusaha untuk tidak memperbesar masalah ini. Ia selalu  mencari cara agar tidak bosan ditinggal sendirian di rumah, di kota yang tidak terlalu ia kenali. Kesibukan paginya adalah menyapu halaman rumah, meski itu bukan rumah sendiri, yang dipenuhi dedaunan pohon mangga. Pohon mangga itu tumbuh di sudut pekarangan depan. Dan tanpa disengaja ia pun sering bertegur sapa dengan Feri. Dan saat sore hari, saat Feri pulang dari sekolah, mereka sering berpapasan. Saling melempar senyum. Sejak saat itulah hati Maya mulai goyah. Pernah suatu hari, saat itu suaminya belum pulang selama tiga hari, ia berpikir, andaikan ia menikah dengan seorang guru tentu ia tidak akan merasa kesepian. Ia selalu cemburu dengan pekerjaan Feri yang selalu pulang lebih awal. Ia mulai membandingkan dengan pekerjaan suaminya yang jarang sekali di rumah.

Setiap kali Feri pulang kerja, Maya pun membayangkan suaminya yang pulang. Ia sadar ada yang salah dengan dirinya. Namun ia juga tidak bisa menolak keadaan yang dialaminya. Ia juga tidak bisa menolak saat hatinya diam-diam menyukai Feri, karena ia sering bertemu dengannya. Memang mereka jarang bicara. Feri seorang pendiam namun kelihatannya sangat ramah. Kadang-kadang saat Feri pulang, ditandai dengan pintu utama rumah itu terbuka, Maya pun bergegas membuka pintu kamarnya seolah-olah ingin menyambut sang suami, padahal dalam hati kecilnya ia hanya ingin melihat sosok Feri. Feri memang tidak terlalu tampan, namun pembawaannya yang tenang dan cuek membuat hati Maya selalu penasaran dengan pribadi pemuda itu. Lagipula suaminya jarang di rumah.


Maya sadar telah jatuh ke dalam perselingkuhan diam-diam. Namun keadaanlah yang membuatnya begitu. Ia masih muda, baru menikah, tentu sangat mendambakan perhatian dari suaminya. Ia juga tidak  ingin menyalahkan suaminya, meskipun tidak mengizinkannya mencari pekerjaan. Dan, setelah beberapa bulan, hampir setahun, tinggal di rumah itu, mereka pun pindah. Entah bagaimana lagi kisah Maya, tidak ada yang tahu. Maya sendiri pun tidak tahu. Ia hanya mengikuti ke mana hidup ini mengalir.

Senin, 21 Oktober 2013

andai ada hidup di tengah-tengah

andai ada hidup di tengah-tengah,
antara kaya dan miskin
boleh kan kami memilih?

kami dimiskinkan
kami bagai bayi
dibiarkan lahir lalu dibuang
dibiarkan ada sebagai tontonan
mereka hanya memikirkan nafsu semata

negeri kita kaya
namun bukan kita yang makan
hanya mereka hanya mereka.
lalu kami?

andai bisa hidup di tengah-tengah
antara kaya dan miskin
boleh kan kami memilih?

sesak

bagaimana kami harus berkata
tentang isi hati kami yang penuh
kesesakan?

kami sesak di rumah sendiri
kami sesak di kota sendiri
kami sesak di udara kami sendiri.

baru saja kami tidur
kami harus segera bangun.
baru saja kami ingin istirahat
kami harus segera berangkat.
sesak.
sungguh menyesakkan.

bagaimana kami harus berkata
tentang isi hati kami yang penuh
kesesakan?
sebab kami harus berjuang sendiri
bertarung melawan hidup.

Sabtu, 19 Oktober 2013

nyatanya

puisi menipuku
puisi menidurkanku
menghadiahiku mimpi indah
nyatanya, kau tak pernah mencintaiku.

Selasa, 15 Oktober 2013

kemiskinan di kota

"mari kita menonton kemiskinan,"
suatu hari seorang teman
mengajakku menonton.
"di mana?"
"di kota."

Senin, 14 Oktober 2013

bu, tasku robek

bu, tasku robek
pulpenku hilang barangkali jatuh di jalan,
pinta seorang anak.
berlatar belakang dapur kotor sarang kuman,
sang ibu sibuk menyalakan api
meniup-niup tungku hingga pipinya pegal.

bu, teman-temanku punya buku paket
kenapa aku tidak punya,
seragamku robek,
risletingku cuma peniti,
sepatuku bolong, ada lidah menjulur 
di ujung depannya.
api belum juga menyala.
dapur penuh asap.

api menyala
sang ibu berdiri membetulkan pinggangnya
yang sakit. dalam hatinya menangis
ia menyalahkan asap memedihkan matanya
padahal air matanya sungguh menetes
mendengar suara anaknya.

Sabtu, 12 Oktober 2013

biarlah keadilan bergulung-gulung

biarlah keadilan bergulung-gulung seperti ombak
inilah yang dirindukan semua orang
mereka haus dan lapar
tanah mereka kering dapur sepi
anak-anak berkumpul mengelilingi meja
bukan rapat penting seperti di tv
tapi menatap piring separuh isi
siapa mencuri setengahnya?

biarlah keadilan bergulung-gulung seperti ombak
mengatasi cemas kami yang menggunung
membersihkan kegalauan kami yang menumpuk.

setiap hari pagi dan malam
rakyat dirisaukan berita harga naik
menangis dalam hati melihat hidung anak mereka
kembang kempis baru menangis
cita-cita mereka sirna
uang sekolah tak tertangani.

biarlah keadilan bergulung-gulung seperti ombak.

hal yang ringan

mari kita bicara hal yang ringan
semisal cinta dan kebahagiaan
berita di tv menyusahkan
menyakitkan hati
si kaya makin kaya
si miskin makin melarat
penjahat berkeliaran
berdasi pula. haha.

mari kita bicara hal yang ringan
semisal cinta dan kebahagiaan
mari kita ciptakan kisah
yang akhirnya selalu bahagia
seperti dongeng.

Jumat, 11 Oktober 2013

memilah kenangan

kita tidak bisa memilih
kenangan mana harus dihapus
karena semua telah kita pilih
kita lalui.

kita tidak bisa memilih
hanya memilah
mana yang layak dikenang
dan bagiku
kaulah salah satunya.

kita tidak bisa memilih
kembali atau pulang
hanya bisa berubah
dan memulai yang baru.

Kamis, 10 Oktober 2013

puisiku layu

puisiku layu
ia lelah bicara tanpa suara
kucari cara merayu
agar senyumnya kembali
menghiasi malamku.

Rabu, 09 Oktober 2013

apakah waktu

apakah waktu
membuat dirinya panjang
saat masa-masa patah hati?

apakah waktu
membuat dirinya pendek
saat masa-masa jatuh cinta dulu?

entahlah.

Selasa, 08 Oktober 2013

cita-cita sederhana

cita-cita kami sederhana
ingin sekolah

meski tak bersepatu
meski duduk bertiga satu bangku
meski rumah tak ada lampu.

cita-cita kami sederhana
ingin jadi bintang
meski tidak harus tinggal di langit.

Senin, 07 Oktober 2013

jurang kaya-miskin

jurang antara kita
bukan lagi takterseberangi
melainkan terkutuk.

terberkatilah si kaya. hiduplah ia selamanya.
terkutuklah si miskin. matilah ia cepat.

mendekatlah pada si kaya
jauhilah si miskin.

rinduku hamil tua

rinduku hamil tua
berharap kita berdua
hidup bersama sampai tua.

rinduku hamil tua
menunggu kau yang lupa
pulang ke rumah.

rinduku hamil tua
berharap tak keguguran
tapi kau belum pulang juga,

kekasih.

Kata Diam

"Keluarkan aku dari sini, manusia bodoh," kata Kata dalam dadaku.
Dadaku menjadi riuh. Kata menendang-nendang dinding dadaku
mencari celah untuk keluar. 
Tenggorokanku tersumbat.

Sabtu, 05 Oktober 2013

pesan singkatmu

singkat saja pesanmu,
"pelan-pelanlah melupa,
jangan tunggu aku."

seketika aku
tertimpa reruntuhan langit

cuma rakyat biasa

wajah mereka terlihat di tv warung tetangga
sewaktu kami berusaha membagi lembaran seribu dua ribu
untuk kebutuhan dapur
tersungging senyuman di bibir mereka
berkemeja berdasi
sementara yang empunya warung mengumpat
sebab utang kemarin belum kami bayar.

sumur kami masih kering, tuan dan nyonya
dan kalian berdiskusi tentang pembangunan.
apa yang kalian bangun
adalah harga diri kalian di atas derita kami.
kalau kami suatu hari menjadi kaya
artinya kalian tak punya fondasi lagi
membangun harga diri?

mereka terlihat cerdas di tv
siapa kami? cuma rakyat biasa.

Jumat, 04 Oktober 2013

Selasa, 01 Oktober 2013

Suatu Sore

Sore. Aku duduk di beranda rumah. Ini bukan rumahku, melainkan hanya rumah kontrakan. Tepatnya aku duduk di lantai dua. Menghadap barat daya. Sore itu tiba-tiba aku merasa langit menyatu dengan hatiku. Warna langit yang biru dengan awan putih terlihat jernih. Aku tenggelam dalam ketakjubanku memandangi langit sore yang tidak lama kemudian berubah warna menjadi jingga. Menganggumkan.

Aku pun mulai bercerita kepada langit. Kali ini aku menceritakan kepadanya tentang cita-citaku. Dan rasanya langit sore tidak keberatan mendengarkanku. Awalnya aku menceritakan tentang suasana hatiku yang sedang gelisah saat itu. Gelisah biasa terjadi kalau ada hal yang belum tercapai. Hatiku sedang mendambakan seorang gadis, namun gadis itu berjalan dengan pria lain. Padahal aku sangat mengharapkannya, bahkan hingga detik ini. Mulai dari situ, seperti aliran sungai, aku terus berbicara kepada langit, dari hati ke hati. Kuusahakan suaraku tak terdengar oleh orang lain yang kamarnya dekat dengan tempat dimana aku duduk. Ya, benar, aku sedang berbicara dalam hati kepada langit.

Kira-kira seperti ini yang kusampaikan, seperti yang sudah kukatakan, yaitu cita-citaku. Aku bercita-cita suatu hari menjadi seorang guru yang tidak hanya mengajar di sekolah, tapi juga memiliki sebuah tempat membaca -rumah baca. Di rumah baca, seperti namanya, akan kuajak setiap muridku untuk belajar. Sepulang sekolah mereka boleh datang. Entah mengerjakan PR, berdiskusi, entah hanya untuk membaca komik atau novel, yang penting mereka membaca dan belajar daripada pulang ke rumah sementara orang tua mereka masih di kantor, bekerja. Tidak hanya murid-muridku, kalau ada murid dari sekolah lain aku akan dengan senang hati menerimanya. Alangkah mulianya. Masih dalam benak saja sudah begini, apalagi kalau benar-benar tercapai. Hahaha. Aku pun menertawakan diriku sendiri.

Cita-citaku yang lain, mungkin ini lebih kepada sebuah harapan, aku berharap bisa hidup bersama gadis yang kusukai saat ini. inilah awal sebenarnya aku bercerita kepada langit. Entah bagaimana aku bisa menyukai gadis itu. Padahal di saat seperti ini pun, lama tak bertemu dengannya, aku masih mengingat dia. Sungguh perasaan yang aneh. Harusnya perasaan ini sudah lenyap sedari dulu. Apalagi tak pernah ketemu lagi. Kurasa ada yang salah dengan hatiku. Atau jangan-jangan dia memang...( Ah aku tidak mau meneruskan kalimatku). Aku terlalu takut bila itu tidak terjadi.

Langit sudah mulai gelap. Temaram. Aku ingat aku belum mandi sore ini. Aku bergegas mandi dan seketika, saat air mengguyur tubuhku, aku merasakan aku hidup di dunia yang nyata -yang tidak segan membunuh semua impian manusia.