Rabu, 27 September 2017

Self-Esteem (Harga Diri)



Apakah pekerjaan kita membuat kita lebih berharga atau lebih bangga? Atau sebaliknya, kita malah malu mengungkapkan apa pekerjaan kita, dimana kita bekerja, dan bagaimana suasana pekerjaan di kantor kita. 
 
sumber: google image
Self-esteem adalah tingkatan seseorang menyukai, menghargai, dan dipuaskan dengan dirinya. Self-esteem juga diartikan sebagai keyakinan seseorang menilai dirinya berdasarkan pada evaluasi diri secara umum. Self-esteem berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menilai diri dan citra diri. Orang dengan self-esteem lebih tinggi memiliki sikap, perasaan, dan kepuasan hidup yang positif dan tidak terlalu cemas, putus asa dan depresi. Orang yang memiliki self-esteem tinggi menangani kegagalan dengan lebih baik daripada orang dengan self-esteem rendah. Jika self-esteem Anda rendah dan Anda tidak percaya dengan kemampuan berpikir Anda, maka Anda mungkin takut mengambil kesimpulan, lemah dalam bernegosiasi dan keahlian interpersonal, serta menjadi malas dan tidak dapat berubah.

Sabtu, 23 September 2017

Mengenal Diri Sendiri (Konsep Diri)


Pernahkah Anda menghadapi teman kuliah, tetangga, teman kerja atau kenalan yang sulit menerima masukan atau ide-ide baru? Adakah teman Anda yang selalu merasa rendah diri dan kurang percaya diri? Atau apakah Anda punya teman yang sombong yang selalu menganggap dirinya rendah hati, baik hati dan lemah lembut kepada orang lain? Apakah Anda punya teman yang tidak suka menerima teguran karena ia selalu merasa dirinya baik-baik saja?
sumber: google image


Semua kita pernah menghadapi orang yang ditanyakan di atas. Bahkan secara  tidak sadar kita pun telah menjadi orang seperti di atas terhadap sesama kita. Lalu apa masalahnya? Masalahnya ada pada pengenalan diri. Socrates pernah berkata “kenalilah dirimu”. Mengapa harus bertanya seperti itu? Bagaimana kita sampai tidak kenal dengan diri kita sendiri?
Mungkin banyak orang menganggap mengenal diri mereka sendiri. Sehingga tidak membutuhkan apa kata orang lain. Tetapi, hal ini harus diuji. Kalau benar seseorang mengenal dirinya sendiri, maka ia tidak perlu hidup dari opini orang lain tentang dirinya. Sekalipun orang lain berkata sesuatu tentang dirinya, ia tidak akan terpengaruh. Namun, jika ia sampai terpengaruh dan sibuk memikirkan apa kata orang tentangnya, maka orang tersebut belumlah mengenal dirinya sendiri. Ia tidak lulus ujian.
Apakah penting kita mengenal diri sendiri? Tentu sangat penting. Ini adalah langkah awal untuk mengenal dunia luar dan mengevaluasi diri secara terus-menerus. Kita memulai dengan pertanyaan “siapakah aku?” Pertanyaan ini sederhana―pertanyaan terbaik adalah pertanyaan sederhana. Namun, banyak orang tidak peduli dengan pertanyaan sederhana ini.
Dalam teori kepribadian, usaha untuk memahami diri sendiri disebut konsep diri (self-concept). Konsep diri adalah tentang “siapa aku” dan “bagaimana aku merasa tentang diriku”.

Minggu, 10 September 2017

Guru Masa Lalu v.s. Guru Masa Kini




Guru Masa Lalu

Paradigma guru masa lalu: pada abad 20 (antara 1901 – 2000) adalah masa dimana ilmu pengetahuan diidentifikasi sebagai sebuah "konsep" pengetahuan. Pengetahuan tersebut ditransfer kepada siswa. Guru adalah penguasa kelas, sumber ilmu pengetahuan, dan dianggap “serba-tahu”. Ceramah adalah metode mengajar favorit. Sebaliknya, siswa adalah peserta yang kepalanya siap diisi oleh pengetahuan baru. Siswa disebut pintar, jika siswa tersebut mampu memroses pengetahuan dalam memorinya dan mampu menjawab semua pertanyaan yang diajukan guru. Kemampuan awal yang dituntut adalah menghafal/mengingat. Pada abad ini pendidikan direduksi hanya sekadar mengingat, memahami, dan mengamalkan. Dengan kata lain, kemampuan berpikirnya hanya pada level rendah. Atau disebut sebagai lower order thinking skills (LOTS). Apabila ada orang-orang tertentu yang mampu menemukan hal baru, itu hanya sedikit dan biasanya dicap sebagai “pemberontak”di kelas.

Guru Masa Kini

Posisi guru saat ini yaitu abad 21 (antara 2001 – 2100). Menurut world forum economic, kemampuan pertama yang harus dimiliki abad ini adalah complex problem solving, disusul oleh critical thinking dan  creativity. Kemampuan ini hanya bisa dicapai jika (dan hanya jika) ada perubahan paradigma pendidikan dari LOTS ke HOTS (higher order thinking skills). Pada abad ini, proses pendidikan harus mencapai tingkat “menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta”. Tiga kata inilah (analisis-evaluasi-cipta) yang seharusnya dipraktikan di kelas-kelas masa kini – tanpa mengabaikan atau membuang LOTS tentunya.