Minggu, 10 Maret 2019

Hoaks dan Literasi Digital

Saya heran membaca berita bahwa ada ribuan hoaks dipublikasikan dalam setahun. Saya juga heran masih ada orang yang percaya bahwa bumi datar. Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah ilmu pengetahuan yang diperoleh dari sekolah sama sekali tidak membantu? Apakah informasi seputar ilmu pengetahuan, yang sekarang mudah diakses, tidak bermanfaat sama sekali?

Berikut ini adalah catatan yang menjadi opini saya selaku penulis.
 
Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat memang memudahkan orang menyebarkan berita termasuk berita bohong atau hoaks. Namun, perkembangan ini tidak diimbangi oleh sikap yang baik dan benar dalam menggunakan teknologi informasi. Ada dua pihak yang berperan dalam penyebaran hoaks yakni penyebar dan penerima.

Pertama, pihak yang dengan sengaja menyebarkan hoaks. Pihak ini, personal atau kelompok, bertujuan untuk menipu atau memanipulasi publik untuk tujuan tertentu. Di dalam hati dan pikiran mereka tidak ada kebenaran. Kalau ada kebenaran, tentulah mereka tidak berniat dan berbuat demikian.

Kedua, pihak yang menerima berita bohong. Pihak ini biasanya tidak menggunakan akal sehat dalam menyeleksi informasi yang diterima. Mereka menerima begitu saja tanpa menyelidiki kebenaran informasi. Dengan kata lain, mereka tidak menggunakan nalar.

Fenomena lain yang membuat saya heran adalah maraknya video viral yang, lebih sering, tidak ada manfaatnya sama sekali. Ada video orang berjoget tidak jelas, berlaku konyol, prank, dll. Celakanya, video ini malah banyak penontonnya.

Sungguh mengherankan bahwa berita bohong atau video konyol lebih mudah diterima ketimbang sebaliknya. Video singkat mengenai pelestarian lingkungan, imbauan larangan buang sampah sembarang; video singkat tentang peluncuran satelit ke luar angkasa, temuan-temuan inovatif, dll., dengan mudah dikalahkan oleh video-video yang tidak ada gunanya sama sekali. Mengapa demikian? Saya tidak tahu secara pasti. Apakah informasi tentang ilmu pengetahuan (sains), ekologi, dampak kerusakan lingkungan tidak menarik untuk ditonton atau dibaca? Mungkin saja.

Tidak bisa dipungkiri bahwa keadaan yang saya tuliskan di atas merupakan salah satu dampak dari kemajuan teknologi. Teknologi yang awalnya dirancang untuk kebaikan bagi umat manusia, digunakan untuk kejahatan. Bahkan saat ini sering ditemui bahwa pengembangan teknologi sarat dengan muatan politik. Penguasa turut mendukung pengembangan teknologi tertentu bukan atas pertimbangan seberapa besar manfaatnya bagi masyarakat, tetapi dengan pertimbangan seberapa besar dukungan suara yang akan ia peroleh untuk memenangkan kontestasi politik. Ini juga ditemui di bidang-bidang lain.
....
Saat ini orang dengan mudah mendapatkan informasi, menerima dan mengirim pesan - baik tulisan, gambar maupun video - dengan mudah secara real time, melakukan panggilan video (video call), dll. Arus informasi begitu deras dan begitu mudah didapat berkat teknologi.

Kemudahan yang ditawarkan oleh kecanggihan teknologi inilah yang kerap dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk menyebarkan hoaks. Sebagaimana orang melakukan kebohongan, penyebaran hoaks juga memiliki alasan. Beberapa alasan yang mungkin dipakai orang, atau kelompok tertentu, untuk berbohong atau menyebarkan hoaks: menutupi kelemahan diri, menjatuhkan lawan, menampilkan citra diri yang baik (dengan tidak menampilkan kelemahan diri), strategi politik, menutupi berita lain (yang mungkin berpotensi membuka rahasia atau menimbulkan masalah), mengalihkan perhatian masyarakat, meredam amarah orang lain atau publik, dan lain sebagainya.

Di sisi lain, ada penerima atau pembaca hoaks dan memercayainya sebagai berita yang benar. Mengapa? Beberapa alasan yang mungkin, antara lain: tidak menggunakan akal sehat, tidak berpikir kritis dan analitis, telah condong pada pemikiran (ideologi) tertentu sehingga ide lain yang bertentangan tidak dibaca, ingin membaca berita yang mendukung opini sendiri (yang belum tentu benar) untuk pembenaran opininya, memiliki wawasan atau pengetahuan yang sempit, dan lain-lain.
......
Lalu bagaimana dengan video viral? Makin ke sini, video viral semakin tidak jelas, makin vulgar, tidak bermanfaat, dan tidak mendidik. Kontennya pun sering tidak bermakna sama sekali. Tapi, banyak orang menyaksikannya.

Beberapa alasan yang mungkin jadi jawaban mengapa orang mau menghabiskan waktu untuk video viral yang tidak berguna, antara lain: untuk hiburan semata, mengatasi kebosanan, ikut-ikutan orang lain biar dianggap update, menyukai hal-hal unik, dan lain-lain.

Memang ada atau masih terdapat video viral yang bermanfaat. Hanya saja, menurut pengamatan sederhana penulis, video-video seperti itu mulai berkurang atau tertutupi oleh video yang justru tidak berguna. Dulu, mungkin sebuah video menjadi viral karena memang ada manfaatnya dan, dengan senang hati, orang pun membagikan ke sesama. Nah, kesempatan ini pun dimanfaatkan oleh orang-orang oportunis untuk eksis di dunia maya dengan menampilkan hal-hal lucu, konyol, hingga vulgar.

Pertanyaan, apa sih manfaat menonton video rumah artis dibongkar? Apa manfaat menonton orang yang joget tidak jelas? Nilai-nilai apa yang diambil dari situ? Pertanyaan lain bisa dilanjutkan. Masalahnya, orang sudah tidak lagi mempertanyakan hal-hal seperti itu ketika mengklik sebuah video.
....
Saat ini, kebanyakan orang tidak peduli lagi akan nilai-nilai luhur, pemikiran-pemikiran mendalam, refleksi dan kritik . Arus informasi yang begitu deras turut membentuk perilaku masyarakat yang seperti itu. Tidak ada ruang dan waktu bagi masyarakat untuk berefleksi atau mengkritik sebab informasi (atau hiburan) datang terus. Secara pelan, manusia kehilangan daya untuk berpikir.

Namun, di sisi lain masih ada orang terus mengusahakan teknologi semakin canggih dari sekarang. Tidak terbayangkan secanggih apa lagi teknologi di masa depan. Misalnya saja pengembangan terus menerus kecerdasan buatan. Kecerdasan buatan diusahakan agar semakin mirip dengan manusia, hingga bisa membaca pikiran manusia. Dengan semua itu, manusia akan menjadi “tuhan-tuhan” baru di dunia ini. Manusia akan mengendalikan teknologi untuk menjalankan seluruh aktivitas kehidupan.

Orang-orang yang seperti itu, yang berusaha mengembangkan teknologi, jumlahnya hanya sedikit. Sedangkan orang yang menikmati kecanggihan teknologi saat ini, jumlahnya makin banyak. Orang yang banyak inilah yang mengisi ruang-ruang dalam dunia maya tanpa menggunakan pikiran yang kritis lagi. Pun tidak ada waktu untuk refleksi.

Lalu apa yang dibutuhkan?
Menurut penulis, Indonesia membutuhkan pengembangan literasi. Khususnya literasi baca-tulis dan literasi digital. Literasi berarti: 1) kemampuan membaca dan menulis; 2) pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu; 3) kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.

Kebanyakan orang Indonesia saat ini memiliki smartphone. Umumnya digunakan untuk berfoto ria dan update status di media sosial semacam IG atau FB. Pengguna smartphone di Indonesia itu ibarat bayi yang baru main gadget. Mereka tidak tahu memanfaatkan smartphone dengan benar, selain hiburan semata. Telepon genggamnya cerdas, tapi orangnya tidak. Mereka-mereka inilah yang biasa termakan berita bohong (hoaks) dan menonton video-video tidak bermakna.

Literasi digital sangat penting bagi generasi sekarang. Untuk pengembangannya, dibutuhkan kerja sama dan sinergitas berbagai pihak. Pertama-tama tentunya dari pemerintah. Pemerintah hingga saat ini belum memiliki program yang jelas soal literasi digital. Berikutnya, yang paling efektif menurut penulis adalah sekolah. Meski demikian, peran pertama haruslah diserahkan kepada orang tua sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas perkembangan anak.