Senin, 19 November 2018

Gen

Kepadamu,
hanya kepadamu kutuliskan ini.

Gen di dalam tubuhku ingin melestarikan diri. Gen yang diwariskan padaku ini ingin kuwariskan pula kepada keturunanku kelak. Hanya saja aku belum menemukan seorang pasangan untuk mewariskannya. Hingga suatu hari aku bertemu kamu.

Ketika bertemu kamu, gen di dalam diriku memilihmu. Ia seolah berkata padaku bahwa kamulah perempuan yang tepat dan terbaik untuk berbagi dan melestarikan diri. Semua kualitas terbaik ada padamu. Itulah yang dikehendaki oleh gen yang kumiliki. Sehingga anak-anak kita kelak mewarisi gen terbaik yang kaumiliki.

Ketika bertemu kamu, gen di dalam diriku membuat mataku jatuh hati padamu. Ia menggetarkan dadaku lewat degup jantung. Sehingga aku bisa mendengar darah mendesir di telingaku. Singkatnya, ia membuatku menyukaimu. Inilah asal-usul jatuh cintaku padamu.

Jadi, perasaan jatuh cinta ini, yang padamu kuungkapkan, memiliki cerita yang jauh lebih mendalam dari dalam diriku. Ini berasal dari gen yang ingin lestari di alam semesta ini. Ini menyangkut kehidupan di alam semesta.

Maukah kau membagi kualitas yang ada padamu untukku? Maukah kau melestarikan gen kehidupan ini bersamaku? Maukah kau menjadi teman hidupku?

Dariku,
yang sedang jatuh cinta padamu
Cibinong, 20/11/2018

Minggu, 11 November 2018

(Tidak) Bekerja?

Hai, kamu yang spesial di hatiku. Apa kabar?

Aku agak ragu ada yang mengunjungi blogku ini. Tapi tidak mengapa kalau menyapa sesekali demi sopan-santun. Lagian aku jarang sekali mengucapkan salam dalam tulisan-tulisanku.

Kali ini aku ingin bercerita tentang sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan kerjaku. Eh sebaliknya, kehidupan 'tanpa-pekerjaan'ku. Jadi, siapkan telinga untuk membacanya.

Aku memutuskan keluar dari pekerjaanku bulan April yang lalu sambil menyerahkan surat pengunduran diri. Aku resmi mengundurkan diri pada bulan Juni yaitu akhir tahun pelajaran 2017/2018.

Mulai bulan Juli hingga awal November ini, aku belum mendapatkan pekerjaan baru. Ada tiga tawaran pekerjaan, namun ketiganya belum 'tepat'  bagiku.  Aku memang tidak sembarang memilih pekerjaan terutama bila tidak sesuai dengan passion. Lagipula setelah tujuh tahun menjadi guru di sebuah sekolah plus setahun di lembaga sains, tidak ada salahnya untuk 'beristirahat' sejenak.

Sudah 4 bulan 13 hari (per tanggal 13 november) aku jadi pengangguran. Aku mulai merasakan bosan, agak stres, dan malu. Aku malu pada diriku sendiri dan kepada orang-orang di sekitarku. Apalagi kepada mantan rekan kerjaku karena aku tinggal dekat sekolah yang kutinggalkan. Aku malu karena aku sudah bergelar magister tapi nyatanya susah cari kerja.

Aku makin memahami bahwa manusia membutuhkan pekerjaan. Hakikat manusia ada di dunia ini adalah bekerja. Tidak ada manusia yang tahan bila sepanjang hidup tidak mengerjakan apa-apa. Bahkan sering kuamati orang lain menyibukkan diri agar dirinya bermakna. Meskipun apa yang dikerjakannya tidak terlalu penting atau bahkan membuat orang lain tidak nyaman. (pelajaran I)

Hal lain yang kupelajari adalah rasa malu itu sendiri. Di atas aku mengatakan bahwa aku malu pada diriku sendiri dan orang lain. Mengapa aku malu juga sudah sampaikan di atas. Namun, jauh lebih dalam, di dasar hati, aku merasa malu karena kebanggaan diriku telah kuletakkan di atas pekerjaan. Ukuran harga diriku dilihat dari pekerjaan yang kulakukan. Aku ingin orang lain melihat itu. Aku ingin mengatakan pada semua orang: 'Ini aku, aku punya pekerjaan', 'aku bukan pengangguran', dlsb. Perasaan ini semakin kuat ketika ada teman bercerita tentang pekerjaan mereka. (pelajaran II)

Aku yakin bukan hanya aku yang mengalami hal ini. Ada pula orang yang sudah bekerja dan masih saja tidak puas dengan pekerjaannya. Tidak puas karena gaji yang didapat sedikit, pekerjaan tidak sesuai keahlian, pekerjaan tidak sesuai minat, dll. Selain itu banyak orang tidak percaya diri dengan pekerjaan yang dimilikinya. Sehingga selalu memikirkan untuk mencari pekerjaan lain yang, katanya, lebih pas di hati. Tetapi, tetap bertahan dengan alasan menyambung hidup.

Menurutku, tidak ada manusia yang benar-benar bahagia dengan pekerjaannya. Pekerjaan apa pun. Karena ada masanya orang mengalami jenuh dan bosan, bahkan sekalipun sudah di puncak kesuksesan. Tubuh manusia awalnya memang diciptakan sempurna—yang dengannya manusia bisa bahagia. Namun, kejatuhan manusia dalam dosa membuat relasi manusia dengan Tuhan menjadi retak. Dan inilah pangkal ketidakbahagiaan manusia. Ia terlepas dari sumber kehidupan sejati, Tuhan.

Lalu apa yang harus kulakukan? Pertama, tetap percaya kepada Tuhan. Penyertaan Tuhan sungguh sempurna. Kedua, tetap berusaha mencari pekerjaan. Buang semua kekhawatiran. Ketiga, pertahankan visi: diberkati untuk menjadi berkat. Pekerjaan bukanlah yang utama. Ambisi bekerja jangan untuk keuntungan pribadi saja.

Bulan Agustus lalu aku sempat dipanggil untuk wawancara kerja di sebuah yayasan di bagian program pendidikan. Yayasan ini menaungi puluhan sekolah di Kalimantan dan Riau. Saat wawancara berlangsung aku mendapati bahwa visi yayasan tersebut tidak sejalan denganku. Selain itu, ini alasan utamaku tidak bersedia, yaitu yayasan ini bernaung di bawah perusahaan kelapa sawit. Penempatan kerjanya di tengah perkebunan di Kalimantan sana. Padahal dalam informasi lowongan (iklannya) penempatan Jakarta Selatan. Kalau di sini saja mereka tidak konsisten, tidak ada jaminan ke depannya akan baik-baik saja. Posisi yang ditawarkan yayasan ini sesungguhnya sesuai dengan passion-ku.

Sedikit cerita tambahan untuk paragraf di atas yaitu ketika aku bercerita kepada seorang senior mengenai wawancaraku. Saat dia mendengar 'perusahaan sawit', wajahnya mengungkapkan ketidaksetujuan. Ia pun menyampaikan pandangannya tentang itu sambil menyarankanku untuk tidak menerima pekerjaan tersebut (memang tidak jadi). Alasannya adalah kerusakan lingkungan yang semakin parah akibat sawit. Aku setuju tentang itu.

Hanya saja, pertimbangan awalku melakukan wawancara adalah 'ini kan yayasan yang mengurusi sekolah (pendidikan), tidak langsung bersentuhan dengan sawit'. Setelah kupikir-pikir, 'untung aku tidak menerimanya' karena akan sama saja mendukung perkembangan/perluasan perusahaan yang dimaksud. Secara tidak langsung ikut memperparah kerusakan lingkungan. Seandainya aku tidak memiki visi dan nilai lingkungan, mungkin aku menerima begitu saja demi 'menyambung hidup'.

Hal berikutnya yang kupelajari adalah selama tidak bekerja aku semakin bijaksana mengatur keuangan. Pengeluaran terjadi hanya untuk hal yang sangat penting dan mendesak. Ini tidak berarti aku membatasi diri juga untuk 'menikmati hidup'. Aku masih bisa berpergian, belanja buku (ini sih wajib), makan-makan bersama teman, ganti hape, dlsb. Bedanya, aku menggunakannya tepat sasaran. Tidak untuk berfoya-foya. Setiap pengeluaran kucatat di catatan pribadi seperti yang biasa kulakukan. Hasilnya pengeluaranku menurun tajam. (pelajaran III)

Selama bekerja jarang sekali seseorang menghitung pengeluaran karena pastinya di akhir bulan bakal gajian. Kalau pun hitung-hitungan, itu untuk jaga-jaga agar dompet jangan sampai jebol di minggu pertama. Bukan untuk menjaga agar pengeluaran dimanfaatkan semaksimal mungkin. Makanya tidak heran kalau ada orang lebih memilih naik transportasi online (yang notabene lebih mahal)  padahal sebenarnya masih memungkinkan untuk menggunakan transportasi umum. Alasannya, 'toh duit masih ada kok'. Mungkin inilah yang dialami oleh ibu-ibu yang sudah punya anak; hemat maksimal.

Memiliki banyak waktu untuk refleksi, pelayanan,  dan mendoakan banyak orang. Delapan tahun bekerja ternyata membuatku berada dalam zona nyaman. Selama ini aku tidak menyadarinya. Sebab sedikit sekali waktu untuk berefleksi. Waktu-waktu berharga inilah yang kupakai untuk mengevaluasi seluruh pekerjaanku. Ternyata, selama ini aku bekerja dengan tujuan membangun kerajaanku sendiri. Pelayanan rohani yang kulakukan seringkali hanya jadi selubung kedalaman hatiku. Kadang sebagai pelarian saat jenuh kerja. (pelajaran IV)

Pemahaman di atas tidak muncul begitu saja. Ada yang kuperoleh dari perenungan pribadi, khotbah di gereja, ibadah alumni, kamp tahunan alumni, GCLC, KPM, hingga lagu rohani. Ya, banyak alumni membangun kerajaan sendiri. Semakin jauh dari persekutuan. Bahkan ada yang sudah meninggalkan Tuhan. Kasih mula-mula yang pernah dialami selama kuliah menguap begitu saja. Mereka terpesona indahnya dunia. Aku bersyukur Tuhan menangkapku dan memelihara hidupku. Hingga sekali pun aku menjauh, Ia membawaku kembali pada-Nya.

Keputusanku berhenti bekerja di tengah jalan tanpa jaminan 'sudah mendapat pekerjaan baru' memang tergolong nekat ketimbang disebut sebagai langkah iman. Bagi sebagian orang mungkin dianggap kebodohan. Bahkan aku sendiri pernah berpikir bahwa aku mengambil keputusan yang salah.

Tentang salah ambil keputusan, aku diingatkan oleh Firman (lagi-lagi ini bukan pencerahan yang tiba-tiba muncul di kepalaku) bahwa aku adalah domba yang bodoh. Ketika rumput di depanku habis, bukannya bergeser ke tempat lain, malahan aku memakan tanah di depanku. Aku tidak bisa melihat lebih jauh ke depan. Namun, aku percaya Tuhanku adalah gembala yang baik. Ia menuntunku ke padang yang berumput hijau dan membimbingku ke air yang tenang. Apa yang perlu kutakutkan? Apa yang harus kukhawatirkan? Seharusnya tidak ada lagi.

Aku sudah 8 tahun bekerja dan baru 4 bulan aku menganggur. Harusnya aku bersyukur. Jarang orang memilih langkah ini. Umumnya kerja terus bagai kuda (Pesan: jangan mau diperbudak pekerjaan!). Tapi kedaginganku kadang melemahkan imanku. Khawatir, cemas, dan malu adalah perasaan yang benar-benar ada. Aku tidak menyangkalinya. Perasaan negatif ini harus kusingkirkan. Oleh karena itu, aku sangat butuh pertolongan Roh Kudus untuk membimbingku melakukan kehendak Tuhan.

Jangan tanya soal keuanganku? Kalau aku masih bisa menulis ini dan memostingnya di blog ini, artinya kuota internet masih ada, hehehe. Bukan itu poinnya. Aku percaya Tuhan-lah yang memenuhi kebutuhanku. Ia memelihara hidupku dengan sempurna. Aku hanya perlu bergantung penuh pada-Nya.

Tuhan, tolonglah aku yang tidak percaya ini!

Catatan: Renungan Ibadah Minggu

Kali ini aku akan membagikan sebagian khotbah yang kunikmati minggu tanggal 11-11-2018. Tema khotbahnya tentang persembahan. Bagian yang dibahas adalah cara hidup para ahli Taurat versus persembahan janda miskin. Untuk lebih jelas silakan baca Markus 12:38-44.

Cara hidup ahli Taurat memperlihatkan pada kita bahwa jubah yang mereka kenakan tidak berarti hidup mereka benar. Mereka terlihat seperti seorang cendekiawan atau hartawan, padahal mereka merampas rumah janda-janda. Cara hidup yang menipu orang lain lewat penampilan. Jangankan memberikan persembahan kepada Tuhan, malahan mereka merampas orang miskin. Kelak mereka akan dihukum lebih berat.

Refleksi dari cara hidup ahli Taurat: apakah aku selama ini menipu orang lain lewat penampilanku? Apakah hidupku berintegritas; tidak hanya tahu Firman Tuhan tapi juga melakukannya dalam keseharianku?

Memberi persembahan karena kemampuan memberi. Itulah kebiasaan orang percaya pada umumnya. Tidak seperti janda miskin memberikan seluruh yang ada padanya. Tuhan Yesus sendiri loh yang memberikan penilaian terhadap janda miskin tersebut. Orang percaya tentu pernah mendengar ini alias bukan hal baru. Refleksi: bagaimana aku memberi persembahan? Apakah didasari oleh rasa syukur?

Bagaimana dengan jemaat saat ini? Inilah yang menarik. Pendeta menyampaikan bahwa kebiasaan jemaat saat ini adalah memberikan persembahan karena kemampuan. Bukan didasari oleh rasa syukur yang melimpah. Atau sebaliknya, enggan memberi karena merasa 'kebutuhan sehari-hari saja masih kurang'. Kehadiran di gereja tiap minggu pun hanya sekadar rutinitas belaka. Rasanya ada yang janggal kalau tidak ke gereja. Ini adalah kritik bagi umat Tuhan.

Gedung gereja juga tidak lepas dari kritikan sang pendeta di mimbar. Terlepas dari izin pembangunan gereja yang agak rumit di negeri ini, bangunan gereja yang telah ada terlihat berlomba-lomba dalam kemewahan. Jemaat akan protes kalau AC rusak sehingga bikin panas, lahan parkir diisi oleh mobil-mobil mewah, dekorasi interior gereja harus 'wow', dlsb. Ketika pendeta menyampaikan bagian ini, di benakku muncul: bagaimana bila tiba-tiba ada seorang pemulung datang beribadah ke gereja saat itu (sambil meletakkan keranjang sampahnya di luar)? Apakah penerima tamu mengizinkannya masuk?

Melihat gedung gereja yang mentereng membuat sebagian orang ragu, merasa tidak pantas, atau minder memasukinya. Ditambah barisan mobil di parkiran. Gereja telah menjadi tempat bagi mereka 'kelas atas'. Gedung besar berpagar, interior mewah, musik yang membahana, tidak membuat orang semakin rindu beribadah. Malah sebaliknya, merasa tidak layak untuk datang.

Pertanyaan kembali muncul di kepalaku: kalau kondisinya begitu, bagaimana gereja bisa menjadi berkat? Jangan-jangan gereja telah menjadi representasi ahli Taurat masa kini? Penampilan fisik lebih diutamakan. Tugas mencari jiwa dinomorduakan. Biarkan Tuhan yang menilai.

Dari khotbah minggu itu aku ingat sebuah anekdot. Begini:

Seorang istri mengajak suaminya bergereja. Biasanya si suami malas ke gereja. Tapi berkat usaha istrinya, ia pun datang. Di tengah ibadah, tiba-tiba handphone si suami berdering. Ia lupa mematikannya. Hampir semua mata tertuju pada si suami termasuk sang pendeta di mimbar. Mata menghakimi dan menyalahkan. Sang istri merasa malu atas peristiwa tersebut. Sepulang dari gereja, si istri memarahi suaminya.

Suatu ketika si suami mampir ke bar. Ia meminum bir banyak sekali sehingga membuatnya mabuk dan muntah. Muntahannya mengotori meja dan lantai. Tapi sang pramusaji tidak memarahinya. Malah berlaku ramah terhadapnya dan berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Sambil terus melayaninya dengan ramah. Seorang pelayan membersihkan meja dan lantai yang kotor. Sang suami merasa betah di sana.

Anekdot ini kubaca dari sebuah media online yang aku lupa alamatnya. Menurutku, cerita tersebut mewakili kondisi gereja saat ini. Gereja mesti berubah. Agar Tuhan semakin dimuliakan.

Selasa, 06 November 2018

Mengamati Kinerja Guru*

Pada kesempatan ini, saya menuliskan pengamatan sederhana saya tentang pengukuran kinerja guru. Pengukuran kinerja guru pada kenyataan tidak membawa perubahan signifikan pada kualitas pendidikan kita. Malahan survei baru-baru ini mengungkapkan bahwa peringkat anak Indonesia semakin menurun secara global. Ini bisa berarti bahwa guru kurang berhasil mencerdaskan anak bangsa. Guru adalah ujung tombak pendidikan. Meskipun demikian, tulisan ini hanya sekadar opini dan subjektif.
Awalnya tulisan ini hanya catatan pribadi. Aku suka menuliskan unek-unek tentang apa saja termasuk pekerjaanku. Aku punya prinsip bahwa untuk belajar menulis, ya, banyaklah dan seringlah menulis. Kualitas nanti saja. Kuantitas mendahului kualitas. Nah, daripada tulisan ini tersimpan begitu saja di laptop, lebih baik membagikannya kepada khalayak.
Saya memulainya dengan sebuah kalimat: pengamatan itu sendiri mengganggu fenomena yang terjadi. Ini adalah asas ketidakpastian Heisenberg dalam fisika. Namun, dalam tulisan ini saya tidak akan membahas fisika. Mungkin saja kalimat tersebut bisa digunakan untuk bidang pendidikan. Barangkali.
Langsung saja, saya pernah dipercayakan untuk mengamati rekan guru mengajar. Awalnya tidak nyaman karena setiap guru memiliki privasi tersendiri saat di dalam kelas. Tapi, karena ini adalah tugas, maka saya pun melaksanakannya. Tujuan berada dalam kelas sambil mengamati rekan guru adalah dalam rangka supervisi untuk melakukan penilaian kinerja guru.
Saya mengamati setiap aktivitas di dalam kelas termasuk kelengkapan administrasi guru. Beberapa hal yang dapat kubagikan tentang kegiatan supervisi ini.
Setiap guru mempunyai gaya tersendiri saat mengajar. Bisa dikatakan sebagai ciri khas seorang guru. Menariknya adalah aku sendiri makin melihat begitu banyak ciri khas yang selama ini aku tidak miliki. Ini memperkaya pengetahuanku akan variasi mengajar di kelas. Tentu ini menambah referensiku dalam mengembangkan diri di dunia belajar mengajar.
Umumnya guru akan merasa terganggu bila ada orang lain yang memerhatikannya mengajar di kelas. Ketika berada dalam kelas guru serasa menjadi 'raja'. Keberadaan orang lain akan menjadi 'ancaman' yang membuat tidak nyaman. Seakan-akan wilayahnya direbut oleh musuh.  Atau, serasa dirinya ditelanjangi.  Keberadaan orang lain membuat tidak percaya diri, terlebih bila yang berkunjung adalah pimpinan atau pengawas sekolah. Ini semakin membuat gugup.
Sebaliknya, seorang guru jarang sekali mengunjungi kelas lain untuk mengamati rekannya mengajar dengan tujuan untuk belajar. Jarang sekali melakukan studi banding ke kelas di mana rekan guru sedang mengajar. Bahkan mungkin tidak pernah sama sekali. Menurutku, penyebabnya adalah setiap guru sudah merasa kompeten sehingga tidak perlu belajar dari sesama guru. Bisa pula karena gengsi. Apalagi kalau sudah berstatus guru 'senior'.