Senin, 28 Januari 2019

Apa Rasanya Menjadi Orang Lain?



Apa rasanya menjadi orang lain? Pertanyaan ini tiba-tiba muncul dalam kepalaku. Apakah orang lain merasakan apa yang kurasakan?

Pertanyaan kedua di atas pun kutujukan kepada diriku sendiri; apakah aku bisa merasakan apa yang orang lain rasakan? Seperti kesedihan, patah hati, kecemasan, atau kegembiraan yang mereka rasakan? Jawabannya adalah tidak.

Nyatanya aku hanya bisa mengamati raut muka atau perilaku orang lain. Ini pun terkadang menipu. Ada orang yang mampu tersenyum, bahkan tertawa, untuk menutupi kesedihannya. Sehingga kita menganggapnya sedang bersukacita. Dengan kata lain, perilaku seseorang sesungguhnya tidak bisa dijadikan dasar untuk melihat apa yang dia sedang rasakan.

Lalu, apa rasanya menjadi orang lain? Menurutku, jawabannya adalah biasa saja. Masalahnya, kita tidak bisa menduplikat diri kita sendiri atau berpindah ke tubuh orang lain.

Pernah ada satu film yang kutonton yang menceritakan kisah pasangan suami istri. Kehidupan keluarga mereka sedang retak. Sang istri menyalahkan suami yang tidak peduli dengan keluarga dan hanya sibuk dengan urusan kerja sebagai aparat keamanan negara. Sementara, sang suami menyalahkan sang istri karena menyibukkan diri dengan hal yang tidak penting yaitu bisnis fashion.

Di film itu, menurut suami pekerjaan yang nyata adalah pekerjaannya sebagai aparat karena berhadapan langsung dengan kejahatan. Menggeluti dunia fashion adalah kegiatan yang sia-sia dan buang-buang waktu. Padahal pekerjaan tersebut sangat berarti bagi sang istri.

Masalah keluarga di atas menurutku adalah mereka tidak memahami satu sama lain. Andai mereka mampu merasakan apa yang dirasakan pasangannya, mungkin mereka tidak bertengkar terus. Tapi, nyatanya mereka selalu bertengkar saat bertemu di rumah. Tempat kerja merupakan tempat yang sangat mereka sukai. Hingga suatu pagi, pada puncak pertengkaran, mereka terbangun dengan kepribadian yang tertukar. Tiba-tiba sang istri bangun, namun ia sangat kaget karena tubuhnya adalah tubuh suaminya. Begitu sebaliknya dengan sang suami yang tiba-tiba menjadi gemulai bak perempuan.

Andai hidup ini bisa seperti film di atas, barangkali kita bisa sedikit membayangkan bagaimana rasanya menjadi orang lain.

Rabu, 23 Januari 2019

Cerita Pulang Desember 2018


Dengarkanlah ceritaku. Siapkanlah telinga membacanya.

Tanggal 5. Rabu.
Aku menaiki bus setelah menunggu beberapa menit. Kemudian kulihat jam di handphoneku sesaat setelah aku duduk di dalam bus. Pukul 6 lewat 11 menit. Gelap mulai menggantung di langit Jakarta.. Aku hanya membawa dua tas yang berisi pakaian dan camilan selama di perjalanan. Bus melaju pelan mengikuti arus lalu lintas yang macet.

Enam jam sebelumnya aku masih berada di kontrakan mengemasi keperluanku. Pakaianku sudah tersusun rapi dalam sebuah tas jinjing berwarna merah. Sementara tas ranselku berisi perlengkapan mandi, camilan dan pakaian ganti. Sudah beberapa kali kuperiksa ulang semuanya untuk memastikan tidak ada yang terlupa.

Tiba-tiba suasana berubah. Udara begitu berat. Aku tidak tahu apakah memang lingkungan yang berubah atau sumbernya ada di dalam hatiku. Bagaimana tidak, aku akan melakukan perjalanan jauh. Aku harus meninggalkan kamar kontrakan ini untuk waktu yang lama (tepatnya sebulan). Kupandangi dinding kamarku dan kulayangkan pandangku ke luar; betapa aku telah menyatu dengan semua ini. Hingga saat beranjak, aku berkata pada kamarku untuk menjaga diri selama aku pergi.

Tepat jam tiga aku berangkat menuju terminal di Jakarta.

Bus melaju. Tersisa lima tempat duduk kosong di bagian belakang termasuk di sampingku. Kursi di sebelahku nantinya akan diisi oleh seorang penumpang dari Merak menuju Kotabumi, Lampung. Sebelum memasuki pelabuhan untuk menyeberang, bus menepi di suatu tempat. Sepertinya ada paket barang yang hendak diambil. Di situ penumpang dan aku menggunakan kesempatan untuk makan malam. Aku membawa makanan sendiri yang kubeli di warung depan kos.

Sekitar pukul 10.28 malam, aku sudah berada dalam kapal penyeberangan. Sekarang kapal penyeberangan terlihat lebih bagus ketimbang tahun sebelumnya. Kursi penumpang terasa nyaman dan sudah tidak terlihat lagi ada penumpang yang menguasai tempat duduk hanya untuk tidur. Intinya, sudah lebih baik dan nyaman.
Pelabuhan Merak dari atas kapal. Dokpri

Tanggal 6.
Tiba di Bakaheuni 00.28 WIB. Bus kembali melaju membelah malam. Yang terlihat di luar sana hanya titik-titik cahaya dari rumah-rumah warga. Saat itu aku tidak bisa tidur. Mungkin karena aku sempat minum kopi saat di kapal. Penumpang yang duduk di sebelahku, seorang kakek, kuperhatikan sulit tertidur juga. Kami tidak banyak bicara. Malam itu sebenarnya tidak terasa sudah masuk hari Kamis, tanggal enam, karena perjalanan terus berlanjut seolah tanpa mengenal perubahan waktu hingga pagi datang.

Kami makan pagi di Kotabumi, Lampung, pada pukul 5.38 - 6.30. Supir dan kru-nya rasanya tidak mau berlama-lama di rumah makan, seolah dikejar waktu. Bayangkan saja, waktu berhenti kurang dari satu jam. Untungnya perutku tidak bermasalah pagi itu. Aku hanya makan sebuah apel yang sengaja kubawa untuk sarapan. Katanya, entah kata siapa, apel sangat cocok untuk sarapan saat bepergian. Aku sudah membuktikannya dan ternyata benar adanya. 
Dokpri. RM Taruko II, Lampung.

 
Aku melihat peresmian RS Santo Antonius saat melewati daerah Baturaja pada pukul pukul 10 lewat 15 menit. Ucapan selamat dalam bentuk karangan bunga berjejer di pinggir jalan. Sekelompok orang, mungkin karyawan di sana, berbaris di halaman rumah sakit. Bus melambat, tidak seperti biasanya, karena sedang dalam keramaian.
  
Sekitar jam 11 sampai jam 1 siang, kami melewati daerah dataran tinggi. Kanan kiri terlihat banyak pohon durian. Ada pula terlihat pohon duku. Di pinggir-pinggir jalan sesekali terlihat penjual durian atau duku. Ada yang sendirian, ada yang berkelompok. Jalan berkelok-kelok dan sempit sehingga tiap dua kendaraan berpapasan harus ekstra hati-hati. Beberapa kali bus benar-benar berhenti sesaat untuk menghindari gesekan dengan kendaraan yang berpapasan, Kalau tidak salah nama daerah itu adalah Kabupaten Muara Enim. Aku sempat melihat sebuah kantor pemerintahan dan di sana tertulis nama daerahnya.

Berada di dalam bus yang sedang melaju seharian seolah tanpa berhenti merupakan pengalaman yang sangat kunikmati. Terlebih saat itu posisiku tepat di dekat kaca sisi kanan bus. Banyak hal yang bisa kita lihat. Mulai dari pemandangan alam yang indah, perumahan penduduk, sawah, hingga aktivitas masyarakat yang kita lewati. Semua berubah, berganti dengan pemandangan baru, sehingga tidak membosankan. Lagipula, bus yang kutumpangi adalah bus eksekutif jenis baru. Sangat nyaman. Kursinya 2-2. Maksudnya dua di kiri dan dua di kanan. Jarak antar kursi juga lumayan nyaman sehingga kaki lebih luwes. Dan, ini bagian pentingnya, ada port untuk mengecas handphone di setiap kursi.
Dokpri. Bus yang kutumpangi. Bukan Tayo. Aku duduk di baris belakang yg bantalnya terlihat dari kaca.

Bus yang melaju membuat kita tidak sadar bahwa waktu juga sedang berjalan. Semua yang terlihat akan tertinggal di belakang kita. Sementara tubuh ini terus berjalan menjauh – berpindah dan terus berpindah menjauhi titik lokasi yang di belakang (saat itu aku memantau terus google maps/GPS untuk mengetahui posisiku). Ini menciptakan kesan melankolis di dalam benakku. Pukul 14.00 - 14.48 makan siang di Lahat. Lagi-lagi waktu istirahat dan makan siang kurang dari satu jam. Aku makan siang dengan nasi bungkus yang kubawa. Lauknya saat itu ayam goreng. Awalnya kupikir basi, ternyata tidak. Itulah bekal makanan yang tersisa. Artinya, untuk perhentian berikutnya, aku harus membeli makanan.

Bus berjalan terus. Kadang melaju cepat kadang melambat. Meskipun demikian, ini bukan bis kecil ramah. Waktu pun berjalan sampai gelap datang. Waktu gelap datang, hujan turun. Malam itu bus tidak berhenti sama sekali sehingga tidak ada waktu untuk makan malam. Tapi, aku tidak kelaparan karena camilanku masih ada. Apel juga masih ada. Semalaman ternyata hujan mengguyur seolah-olah mengetahui ke mana kami pergi.
  
Tahun sebelumnya aku juga naik bus ke Medan untuk perjalanan pulang kampung. Kisah perjalanan pulang itu aku posting di kompasiana. Waktu pulang tahun sebelumnya, aku lewat jalur lintas timur Sumatera. Jalan relatif bagus dan datar. Berbeda dengan kali ini, kami melewati dataran tinggi, menyusuri sisi bukit barisan yang banyak keloknya. Bus kadang jalan menanjak, jalan menyempit, lalu menghadapi jalan menurun. Tidak lama kemudian memasuki kota atau perkampungan yang relatif datar. Begitu seterusnya. Bedanya lagi adalah kali ini di pinggir jalan banyak terpampang baliho para calon legistatif, baik daerah maupun pusat.

Tanggal 7.
Bus baru berhenti jam 4.30 pagi untuk sarapan di sebuah rumah makan. Saat itu bus diistirahatkan dan diperbaiki. Buktinya kami baru berangkat lewat jam 8. Tiga setengah jam itu kugunakan untuk sarapan dan mandi. Mungkin karena bus sudah menempuh waktu yang lama yaitu sekitar 14 jam nonstop. Kami sudah mencapai wilayah Dharmasyara, Padang.

Jam 11 siang memasuki Solok, Padang. Checking di terminal oleh dinas perhubungan. Kira-kira 15 menit kemudian, makan siang di sebuah warung kecil di pinggir jalan. Warung makan yang dindingnya papan, sangat sederhana. Tapi saat itu aku tidak makan karena aku sempat membeli penganan dari pedagang eceran yang menjajakannya di dalam bus saat tengah berhenti di dekat terminal. Jadi aku tidak makan. Aku hanya membeli air mineral kemasan besar satu botol untuk persediaan di jalan. Jam 12 lanjut jalan menyusuri sisi Danau Singkarak. Indonesia ini sungguh indah. Aku sangat menikmati keindahan alam di sini. Di seberang sana terlihat sebuah gunung yang merupakan taman nasional. Di di balik itulah terletak Kota Padang.
Dokpri. Nah ini dia camilan penahan lapar. Solok.

Hari masih cerah ketika kami tiba di Kota Bukit Tinggi. Artinya dalam hitungan jam, malamnya, kami akan memasuki wilayah Sumatera Utara. Ketika malam tiba hujan pun turun sehingga kecepatan bus benar-benar berkurang. Kami melewati daerah yang naik-turun dan jalanan yang begitu mengkhawatirkan sebab di sisi jalan banyak tebing yang bisa saja longsor setiap saat. Aku ingat pepatah mengatakan: lebih baik terlambat, asal selamat. Pepatah ini berlaku saat itu.
  
Memasuki wilayah Sumatera Utara merupakan pengalaman mencekam. Hari sudah gelap, hujan turun begitu deras, jalanan sempit, rusak, dan licin. Ini membuat perjalanan terlambat. Cuaca sangat dingin hingga semua penumpang mengenakan jaket dan penutup badan. Aku juga begitu. Supir sangat hati-hati memasuki wilayah ini. Hingga akhirnya berhenti di Kota Nopan, Mandailing Natal, karena ada penumpang yang turun dan membawa banyak barang. Penumpang yang lain tidak turun karena hujan. 

Dokpri. Hai, kamu... foto sesaat sebelum kedinginan :)

Perjalanan dilanjutkan kembali. Sekarang menuju daerah Penyambungan. Jalan relatif lurus, namun rusak. Cuaca masih terasa sangat dingin. Bus berguncang beberapa kali. Aku tidak bisa tidur walaupun sudah mencoba memaksakan memejamkan mata. Pikiranku sedikit resah karena akan kehilangan tiket kapal yang seharusnya berangkat jam 9 malam. Sementara aku masih di sini. Terpaksa saat itu aku menghubungi calo untuk memesan tiketku esok hari. Di Penyambungan banyak penumpang yang turun. Namun, banyak juga yang baru naik, tetapi aku tidak begitu memperhatikannya.

Tiba di Padang Sidempuan, jam 11 malam. Di sana aku turun. Aku mendatangi agen bus untuk perjalanan berikutnya. Agen mengatakan bahwa akan disediakan minibus menuju Sibolga dan tidak perlu membayar lagi. Aku diminta menunggu. Sementara bus melanjutkan perjalanan ke Medan melewati Sipirok. Padang Sidempuang merupakan persimpangan menuju Sibolga (ke kiri) dan menuju Sipirok (ke kanan) yang bila dilanjutkan sampai ke Medan. Aku menunggu selama 2 jam sambil duduk di teras seperti gelandangan. Di situlah aku melewati hari berganti. Aku dapat kenalan di sana yang juga menuju Sibolga. Tujuan akhirnya adalah Barus. Sementara, tujuan akhirku adalah Nias.

Tanggal 8
Setelah menunggu selama dua jam yang membosankan, akhirnya minibus yang dimaksud datang. Dini hari, hari sabtu. Harusnya aku sudah berada di atas kapal saat itu. Berangkat ke Sibolga jam 1 tengah malam. Tiba di terminal Sibolga jam 3.25 WIB. Aku menuju rumah AD, calo tiket, dan menginap di sana.

Aku menginap di Sibolga seharian karena kapal baru berangkat malam hari. Aku istrirahat hingga menjelang siang. Dan tidak melakukan apa-apa, selain menonton TV, karena badan terasa pegal setelah 3 malam dan 2 hari di perjalanan.
  
Berangkat ke Gunungsitoli jam 10 malam dengan kapal Wira Victoria. Kapal Victoria sangat bagus. Berbeda dengan kondisi kapal tahun-tahun sebelumnya. Aku teringat dengan kapal Merak-Bakaheuni yang sudah disulap menjadi lebih bagus dan nyaman. Kurasa ini berkat pemerintah yang peduli dengan transportasi laut. Sebenarnya, menurutku, di kapal lebih menyenangkan ketimbang di bus. Lebih romantis... andai aku punya kekasih, ehm. Jadi ingat titanic (mimpi). Mungkin suatu hari nanti aku bisa mewujudkannya (Amin...).
Dokpri.  Penampakan dek kapal  Wira Victoria

Dokpri. Pemandangan P. Nias dari atas kapal saat pagi hari.



Malam itu laut sangat tenang. Langit di luar dipenuhi bintang. Aku tertidur dengan pulas. Dan tanpa terasa, itulah perjalanan terakhirku menuju rumah.
  
Tanggal 9
Rumah, jam 8.30 WIB.

Dokpri. Inilah rumah kami, Sederhana tapi halamannya luas. Sebenarnya foto ini kuambil sehari sebelum balik ke Jakarta.

Tiada Terukur


"Tiada terukur besar kasih setia-Mu, Tuhan,“

Kutipan di atas merupakan sebaris lagu rohani kristen. Lanjutannya: dalam dan lebarnya melebihi lautan. Jauh tinggi mengatasi langit, dalamnya tak dapat diselami. Kasih setia-Mu besar selamanya...

Aku menikmati lagu ini di awal tahun 2019 ini. Tepatnya untuk acara “seminar ibadah” yang diadakan oleh perkantas pada 26 Januari 2019. Salah satu lagu yang dipilihkan oleh MC adalah lagu tersebut di atas. Aku sendiri berperan sebagai gitaris. Tim kami terdiri dari MC, dua singers, dua keyboardist, cajonist, bassist, dan aku. Harus kuakui teman-temanku dalam tim ini adalah pemusik yang hebat. Aku, dengan kemampuan yang terbatas, kadang sulit mengikuti permainan musik mereka. Intinya, mereka lebih hebat dariku.

Selama persiapan, seperti biasa kulakukan saat jadi pemusik, aku menyanyikan dan mencoba menghayati lirik lagu sendirian. Terutama saat malam hari sebelum tidur. Rekaman saat latihan juga biasanya membantuku bernyanyi karena aku tidak punya gitar. 

Saat merenungkan lirik lagu ini, terlintas dalam pikiranku tentang bagaimana orang mengukur kasih Tuhan dalam hidup mereka. Sepanjang pengamatanku, banyak orang mengukur kasih Tuhan dengan harta, gelar, jabatan, dan segala macam pencapaian dalam hidup. Lalu aku merefleksikannya juga pada diriku; apakah aku juga seperti itu?

Bukankah kasih Tuhan tidak terukur? Mengapa manusia suka mengukurnya dengan apa yang ada di dunia? 

Secara fisika, mengukur berarti membandingkan sesuatu dengan  sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tersebut harus sudah memiliki standar tertentu sehingga dapat digunakan sebagai pembanding. Lalu bagaimana kita mengukur kasih setia Tuhan? Lirik lagu di atas mengatakan lebarnya melebih lautan, tingginya mengatasi langit, dalamnya tak terselami. Mengagumkan sekali. Tiada terukur.

Tetapi tetap saja manusia, dengan segala kesombongan, membandingkan kasih Tuhan dengan sesuatu yang bersifat duniawi. Ini juga ukuran yang digunakan untuk melihat sesama manusia. Manusia menganggap diri diberkati jika sudah memiliki harta atau gelar atau pencapaian tertentu. Sebaliknya, bila dalam keadaan buruk, selalu menganggap Tuhan tidak mengasihi. (Aku harus mengambil cermin dan berkaca: itu aku)

Demikan juga manusia memperlakukan sesamanya. Menilai orang lain diberkati jika orang tersebut memiliki harta atau jabatan atau pencapaian. Bila sesamanya tidak memiliki apa-apa, maka dengan mudah dianggap sebagai bukan siapa-siapa. Atau sebaliknya, orang yang miskin selalu menganggap diri “rendah” dibanding orang kaya. 

Kembali ke lirik lagu. Tidak ada pembanding di dunia ini yang bisa digunakan untuk mengukur kasih Tuhan. Hanya orang yang angkuh yang tidak mengenal Tuhan yang berani mengukur kasih Tuhan dengan harta dan sebagainya. Segala kekayaan atau jabatan atau pencapaian sesungguhnya hanya berkat tambahan yang dititipkankepada manusia. Dan semua itu tidak bisa dijadikan pengukur kasih Tuhan.

Orang yang menyadari bahwa kasih Tuhan tidak terukur, memiliki hidup yang selalu bersyukur dan rendah hati. Hal ini dibuktikan dengan ibadah. Orang yang bersyukur tidak meninggalkan ibadah. Malahan semakin menikmati ibadah kepada Tuhan walau apa pun yang sedang dialami. Semoga saja aku pun dimampukan untuk itu.