Sabtu, 31 Agustus 2013

kita

aku tahu dia menyukaimu
dia lebih dulu kenal denganmu
aku tahu itu sejak aku datang
dia selalu memperhatikan gerak-gerikmu bila kau mendatangiku
pernah suatu kali, kau bertanya tentang sesuatu
kau mendekatiku dan kita bicara berdua
dia datang duduk agak jauh seolah kita akan mengundangnya
tapi dia datang begitu saja
aku tahu dia menyukaimu
sepertinya dia tidak rela bila kau di dekatku, bahkan bila itu sebentar saja.
sekarang kalian jalan bersama
dan bila ada aku di situ
kau selalu menoleh ke arahku
dan... aku pura-pura tidak peduli.

ingatan yang kembali

ketika kau terpikirkan olehku lagi
akan kualihkan pikiranku
akan kucoba melupakanmu.
namun, kau datang tiap hari dalam kepalaku
seperti angin bertiup ke wajahku,
bagaimana aku menghindarinya?

aku masih ingat pertama kali melihatmu
kau bersama dua temanmu
duduk bertiga kau di tengah.
aku datang beri salam pada kalian
dan pandanganku terhenti di matamu.

gila. aku harus menghentikan ini
harus mengusirnya dari kepalaku
menghapusnya dari ingatanku.
aku tidak mau langkahku terhenti
setelah aku jauh berjalan
hanya karena dia.

kata yang terkunci

ada kata yang terkunci malam ini di balik pintu
kuncinya telah patah
bagaimana membukanya?
kepada kipas di pojok kamar,
ajari aku cara lain menyampaikan ini
sebagaimana engkau mengipasi kulitku yang kepanasan.
dari mana anginmu?
dari mana kata-katamu?
kepada televisi di depanku, yang sedari tadi bicara,
ajari aku berteriak.

dari mana suaramu?

Jumat, 30 Agustus 2013

Minggu, 25 Agustus 2013

doa penyusun soal

inilah doa penyusun soal:

"semoga para murid mengerjakan semua soal ini dengan sungguh-sungguh dan jujur.
semoga mereka tidak hanya mengejar nilai angka, tapi, nilai kejujuran, nilai kerja keras, nilai keseriusan,
karena nilai-nilai inilah yang akan bertahan lama dan bermanfaat di dunia nyata.
semoga mereka tidak takut gagal.
semoga persiapan tadi malam bermanfaat saat ujian.
semoga mereka tidak hanya menghafal materi pelajaran, tapi juga mengerti dan memahaminya.
semoga waktu-tidur-yang-berkurang menjadi tidak sia-sia.
semoga ingatan mereka kuat saat ujian nanti.
amin.''

usaha dan kerja keras pasti membuahkan hasil.
sebaik-baiknya nilai yang diperoleh, jauh lebih baik jika itu hasil usaha sendiri.
hasil yang diperoleh dari kecurangan sebenarnya bukan milik kita, tapi milik orang.
berbahagialah dengan milik sendiri, meski jelek.

Sabtu, 24 Agustus 2013

kau tahu?

kau tahu?
aku ingin sekali menyapamu
aku ingin sekali menatap matamu
aku ingin sekali bicara denganmu

kau tahu?
aku terlalu takut melakukannya
aku takut menyukaimu
karena sejak sebelumnya memang begitu
namun kau sudah punya kekasih.

kau tahu?
aku menyukaimu diam-diam
seperti angin sepoi-sepoi yang tak bersuara
seperti cahaya bulan mengintip dari balik awan

ah, aku terlalu penakut

masih ingin menemuimu

debu di telapak kaki tahu betapa berat langkahku.
dedaunan kering di atas tanah yang disapu angin berusaha menyemangati kakiku yang lesu.
di jalan aku termenung. aku ingin tak kembali ke rumah. aku ingin pergi ke mana saja.
aku masih ingin menemuimu seperti dulu.
tolong jangan pergi.

tiga kata

tiga kata yang kusimpan dalam hatiku
'aku cinta kamu'
kini semakin menuju kedewasaannya
aku tidak takut terlambat bertemu denganmu, kekasih.
aku ingin rasa ini benar-benar matang
hingga tiga kata yang masih kusimpan untukmu
akan memiliki makna sejatinya.

Kamis, 22 Agustus 2013

cerita rinduku

hatiku serasa ditarik keluar saat mengingatmu
rasa rinduku kini seperti gelombang besar
betapa aku ingin bertemu denganmu
memandang wajahmu
mendengar suaramu
lalu... mati.

kurasakan jantungku melonjak
hendak menembus dinding dadaku.
bagaimana aku menemuimu
sedangkan langit di atas kita kini beda
meski kita melihat bulan yang sama?

nanti bila kita benar-benar bertemu,
itulah keyakinanku,
sentuhkanlah tanganmu di dadaku
dengarkan... rasakan... ada cerita di dalamnya
: tak ada waktu yang kulewati tanpa merindukanmu.

tak perlu bicara masa soal masa lalu

aku tidak ingin lagi bicara soal masa lalu.
saatnya menatap ke depan
saatnya menata hidup
hidup memang untuk dijalani
sementara waktu adalah petunjuk arah ke depan
kita bisa ke kiri dan  ke kanan
ke atas dan ke bawah
namun, tidak bisa melewati jalan-waktu yang menuju ke belakang.
tidak perlu bicara masa lalu yang pahit
biarkan jadi sejarah, bagian dari bangunan ingatan dalam kepala
memang ingatan bisa kembali
dan bukan berarti kita harus selalu melayaninya.

Selasa, 20 Agustus 2013

Bus Terus Melaju

Setelah lama menunggu akhirnya bus datang. Aku bersiap-siap berdiri di pinggiran halte bersama beberapa orang yang juga sejak tadi menunggu. Aku sudah berada di dalam bus sekarang. Duduk dekat jendela kaca agar aku bisa melihat keluar. Udara dalam bus cukup sejuk karena AC. Tidak seperti di luar, panas. Di pemberhentian berikutnya bus mengetem lama. Menunggu hingga bangku-bangku terisi penuh. Sementara duduk diam, kuperhatikan keluar. Kendaraan hilir mudik dari dua jalur jalan. Beberapa kali terdengar klakson dan teriakan para pengendara motor. Memang jalanan cocok sekali jadi tempat ujian kesabaran. Ada juga orang-orang yang menyeberang jalan dengan hati-hati. Di sini rambu-rambu lalu lintas tidak terlalu diperhatikan oleh pengguna jalan. Di bawah rambu-rambu dilarang stop ada angkutan yang menurunkan penumpang. Orang-orang menyeberang dengan bebas. Tentu saja jalanan terlihat kacau. Ditambah cuaca yang lumayan panas siang itu. Dalam bus pengamen sedang menyanyi sambil bermain gitar. Tidak peduli suara gitarnya sumbang. Aku abaikan saja. Juga pedagang asongan yang berisik menawarkan jualannya. Tidak di dalam tidak di luar suasananya sama saja. Berisik. Apa dunia ini memang berisik?

Bus berangkat juga. Penumpang terlihat lega karena menunggu terlalu lama. Termasuk aku. Sebenarnya dari tadi aku ingin mengingatkan supir untuk jalan, tapi karena aku tidak terlalu buru-buru ke tujuanku, akhirnya tidak jadi. Seperti biasa di perjalanan aku selalu merenung sambil melihat keluar, memerhatikan garis-garis putih di aspal bergerak ke belakang, dahan-dahan pohon di pinggir jalan seolah memberikan lambaian terakhir, dan pemandangan lain yang terlewatkan. Ke mana aku pergi? Tentu sekarang jelas, aku punya tujuan. Setiba di tujuanku aku pasti akan turun dari bus. Namun, pertanyaanku itu tidak hanya sebatas kemana aku pergi saat ini, namun lebih jauh ke depan. Ke masa depan yang masih terbentang. Masa depan yang masih disimpan oleh hari esok. Ya, ke mana aku pergi?  Terlalu banyak pilihan. Terlalu luas jalan.

Aku sering bingung sendiri dengan jalan pikiranku. Sering memikirkan hal-hal yang tidak bisa kujangkau. Tapi, ini di perjalanan. Aku di dalam bus. Dan hidup ini adalah perjalanan panjang. Lebih panjang dari yang kulewati saat ini. Bukankah sebaiknya aku hanya perlu berjalan terus, mengerjakan pekerjaanku dengan baik, tanpa perlu banyak bertanya? Seperti kata orang, biarkan hidup mengalir?


Bus terus melaju.

Minggu, 18 Agustus 2013

Sepotong Percakapan

Sepotong percakapan yang tidak sengaja kudengar pagi ini dari lantai bawah. Percakapan seorang ibu dan anak perempuannya.

"Pokoknya kamu tidak boleh berpacaran dengan laki-laki itu. Dia tidak selevel dengan kita. Lihat saja wajahnya jelek begitu. Penampilannya enggak pernah benar. Kalau mau cari laki-laki yang pintar, kalau bisa yang kaya." Begitulah yang kudengar, suara seorang ibu. Cukup keras sehingga terdengar olehku yang berada di kamar atas. "Tapi Bu..." anak perempuan itu sepertinya memohon kepada ibunya. "Tidak ada tapi-tapian. Pokoknya jauhi dia," suara si ibu kembali terdengar, lebih keras. Di lantai atas, aku baru saja bangun. Kulihat jam sudah pukul 8.

Dari percakapan tadi aku jadi teringat kisah seorang temanku. Dia perempuan. Dia pernah mengalami hal serupa saat dia dekat dengan seorang lelaki yang berbeda suku dengan keluarganya. Ibunya menyuruhnya menjauhi lelaki itu karena berbeda suku. Temanku itu pernah bercerita, "Kalau kamu masih dekat dengan laki-laki itu lebih baik kamu keluar saja dari rumah ini," temanku itu meniru suara ibunya saat menegurnya dengan keras. "Lelaki itu, sukunya tidak beradat. Tidak pantas untuk kita," lanjutnya. Temanku ini memang berasal dari keluarga yang lumayan kaya.

Walaupun baru bangun, aku sudah mendengarkan percakapan yang menurutku sebaiknya dilakukan malam hari saat kumpul dengan keluarga, bukannya pagi hari. Kutebak-tebak apa yang terjadi di lantai bawah. Mungkin anak perempuan itu sedih dalam hatinya, sambil melanjutkan pekerjaan bersama ibunya di dapur. Mungkin dia sedang duduk di pinggir meja makan sambil memasang raut muka muram, sementara ibunya sibuk memasak.

Aku tidak begitu tahu sudah berapa banyak manusia di muka bumi yang kisah cintanya berakhir karena perbedaan dan tidak disetujui orang tua.

Kamis, 15 Agustus 2013

Garis waktu suatu negeri

Satu titik pada garis waktu:
"Serbu!" teriak para pahlawan di medan pertempuran
lalu dada mereka tertembus peluru.
Darah tumpah.
Nafas mereka habis.
Itulah cinta mereka,
mencintai hingga terluka.
Gugur di medan pertempuran
istri dan anak-anak mereka tinggalkan
anak-anak menunggu, di depan pintu, bapaknya yang tak kembali.
Di titik itu, orang-orang susah untuk hidup
dipenuhi ketakutan.

Titik lain pada garis waktu di depannya:
Berita korupsi memenuhi media
si A ditangkap, juga si B dan seterusnya
mereka bukan orang biasa, tapi pejabat di negeri ini.
Para pelajar tawuran
mereka lupa janji yang mereka ucapkan saat upacara bendera
karena upacara bendera hanyalah rutinitas biasa, tanpa makna, buat mereka.
Ibu-ibu rumah tangga mengeluh
harga-harga semakin tak terjangkau
orang miskin semakin miskin.
Di titik ini, orang-orang tidak merasakan kejamnya penjajah asing,
melainkan kejamnya saudara sebangsa sendiri.

Jauh di depan, sebuah titik yang belum terlihat:
Semoga saja itu sebuah harapan,
sebuah titik cahaya yang pada saat tiba di sana
kita benar-benar berada di dalamnya
dan merasakan hangatnya.

Cinta untuk negeri?

Andai cinta untuk negeri ini seindah cinta sepasang kekasih,
Selalu memberikan yang terbaik,
Berjanji setia sampai mati tanpa diminta sekalipun.
Negeri ini butuh cinta semacam itu
Berkobar bagai nyala api paling merah
Semangat dan motivasi untuk kepentingan negeri menjadi bahan bakar yang tak akan habis.

Mana cinta para pemuda kini?
Apakah hanya untuk kekasih mereka?

Tidak tersisakah cinta untuk negeri ini?

Bukan hal baru

Orang di kota.
Pagi-pagi sekali mereka bangun
Entah ingat doapagi entah tidak
Ritual wajib buka twitter, facebook, atau media sosial lainnya
TV menyala, berita pagi terdengar
Langkah buru-buru bersiap-siap berangkat kerja
Lupa sarapan
Rumah kosong seharian.
Sepi.
Panas.

Sore menjelang malam masih di jalan
Bersungut-sungut di tengah kemacetan
Kepala tertunduk, jari sibuk di layar smartfon
Sepasang telinga terpasang headset
Memagari diri dari dunia luar.
Di luar, kendaraan berebut jalan.

Orang di desa.
Bangun pagi-pagi sekali
Menyeduh teh atau kopi panas tanpa gula
Siap-siap mengasah parang
Berangkat sebelum matahari benar-benar utuh di langit
Kaki-kaki telanjang basah kena embun rerumputan
Berharap hari ini cerah
Seharian di ladang
Badan terbungkus kain tua lusuh menahan panas matahari
Sesekali menyeka keringat.
Makan siang sederhana. Nasi putih lauk ikan asin cukup.

Sore menjelang malam
Siap-siap pulang ke rumah
Berharap benih hari ini tumbuh dengan ajaib saat malam hari.

Entah orang di desa entah di kota
Adakah yang memikirkan negeri ini?
Mereka sibuk.
Pantas saja orang-orang licik menggunakan kesempatan ini
Bermain politik menjanjikan negara yang makmur
Diam-diam mereka memakan uang rakyat.


Cinta untuk negeri sebatas kebutuhan pribadi.

Senin, 12 Agustus 2013

Mimpi

Hari yang sibuk meski libur. Karena aku baru pulang kampung setelah aku meninggalkannya delapan tahun lalu. Liburan kali  ini kunikmati dengan jalan-jalan ke rumah saudaraku. Momen yang sangat berkesan. Banyak hal berubah. Beberapa anak remaja tidak kukenali lagi wajahnya. Waktu aku pergi dulu mereka semua masih bayi. Aku menanyakan nama-nama mereka. Kami berkenalan. Aku agak kaget, sudah selama itu aku telah meninggalkan kampung halamanku. Rumah-rumah di sekeliling masih sama, hanya berubah sedikit. Jalanan juga berubah lebih mulus, yang kuingat jalan di depan rumahku terdapat retakan dan lubang yang cukup besar. Dulu, kalau ada kendaraan melintas harus memperlambat laju saat lewat depan rumah. Teman-teman sebayaku juga berubah. Ada dari mereka yang sudah berkeluarga, bahkan sudah punya anak. Aku menyempatkan diri mengunjungi mereka, meski sebentar saja. Menyapa keluarga mereka.

Waktu bersama keluarga pun tiba. Aku dijejali berbagai pertanyaan. Mulai dari kuliahku, pekerjaanku, hingga teman hidupku. Sudah kuduga sebelumnya semua hal ini pasti menjadi topik pembicaraan. Terutama mengenai pasangan hidup. Umurku sudah lewat dari dua puluh lima tahun. Wajar kalau keluarga menanyakan hal ini, pikirku. Kuceritakan semua kisahku selama berada di Jakarta. Betapa sulitnya hidup di Jakarta. Kuliahku berjalan dengan lancar dan aku juga lulus tepat waktu. Tentu bukan tanpa masalah. Hampir saja aku gagal di tugas akhirku. Waktu itu aku terlambat melakukan penelitian di sebuah sekolah. Namun, karena guru pembimbingku baik hati, aku akhirnya diizinkan untuk meneliti di sana, sebuah SMA di Bekasi. Pekerjaanku tidak terlalu berjalan mulus. Setelah lulus, hingga aku pulang sekarang, aku sudah tiga kali pindah tempat kerja. Masalahnya mulai dari keinginan hati hingga cekcok dengan pimpinan. Gajiku pernah dipotong, hingga aku hanya menerima setengahnya gara-gara menentang pimpinan mengenai program kerjaku saat itu. Maklum waktu itu aku masih sangat emosional. Kurang bijak dalam menyampaikan pendapat. Terakhir, aku mengajar di satu sekolah swasta di Bogor.

Mengenai pasangan hidup, bukannya aku tidak peduli. Beberapa kali aku berkenalan dengan perempuan. Mungkin bukan jodoh. Semuanya berakhir sebagai teman. Keluargaku agak kuatir akan hal ini. Padahal aku sudah bilang bahwa aku juga memikirkannya. Tetap saja mereka terus mendesak. Mereka pikir aku telah gila kerja dan gila belajar. Karena aku pernah menyampaikan bahwa aku akan lanjut kuliah untuk mengambil gelar strata dua. Ibuku selalu memaksaku. Dialah orang yang sangat peduli terhadap ini. Hingga dia menawarkanku untuk mencarikanku seorang perempuan, calon teman hidupku. Sebenarnya aku ingin menolak karena aku sudah punya tujuan sendiri dalam waktu dekat ini, lanjut kuliah. Belum ingin menikah. Tapi, aku tidak bisa menghindar bahwa sekarang aku memikirkan ini.

Suatu hari, seperti biasa selama liburan, aku bekerja membantu ibuku di kebun. Kebun kami cukup luas. Beberapa tanaman tumbuh di sana. Ada jagung, cabai, dan yang lainnya. Sudah lama aku tidak ke kebun dan merasakan aroma tanah. Aku menyukai momen ini. Seperti mengulang masa kecilku.

Ketika sore, waktunya pulang ke rumah, aku ternyata diajak ke sebuah rumah. Rumah itu tidak kukenal. Aku ditemani oleh adikku. Sedangkan ibuku sudah pulang lebih dulu. Di tengah perjalanan pulang aku, dan adikku, didatangi seseorang yang tidak kukenal. Dia menuntun kami ke sebuah rumah. Mungkin dia orang suruhan ibuku, pikirku, untuk menunjukkan rumah yang akan kami kunjungi. Aku dan adikku menurut saja. Orang  asing itu menunjuk sebuah rumah. Lalu pergi. Menghilang. Aku tidak sempat bertanya. Akhinrnya, kami ke sana, ke rumah itu.

Setibanya di depan rumah itu, sebelum masuk, aku melihat seorang gadis cantik. Putih. Rambutnya hitam lurus. Malu-malu. Dia menundukkan kepala. Tapi, sempat kami bertatapan sekali. Dia cantik. Setelah itu aku tidak melihat wajahnya lagi. Gadis itu masuk duluan. Langkahnya buru-buru. Ini rumahnya. Mungkin dia anak si pemilik rumah. Sesampainya di pintu, aku kaget, ibuku sudah ada di dalam bersama ibu-ibu lain, pemilik rumah. Kuberi salam dengan sopan. Aku dan adikku dipersilakan duduk. Tidak lama gadis tadi muncul, menundukkan kepala, membawa minuman, lalu meletakkannya di meja di depan kami. Lalu menghilang ke belakang. Aku tidak sempat melihat wajahnya karena aku masih berpikir mengapa aku diajak ke rumah itu. Ibuku ada di sana. Seorang ibu lain juga di situ, mungkin dia ibu si gadis. Mereka seperti merahasiakan sesuatu. Dan, pada akhirnya aku menyimpulkan ini semua rencana ibuku.

Tiba-tiba semua menghilang. Wajah ibuku, adikku, ibu si gadis, dan wajah gadis itu. Aku membuka mata. Tersadar.  Gelap. Lalu bangun.  Aku segera berdiri menyalakan lampu kamarku. Mataku menyipit karena cahaya lampu. Jam menunjukkan hampir pukul empat pagi.


Wahai istri masa depanku, aku memimpikanmu.

Kamis, 08 Agustus 2013

kupikir...

kupikir aku tertidur
nyatanya aku masih bergumul dengan ingatan-ingatan yang dipenuhi dirimu
kupikir malam yang dingin sehabis hujan mampu menidurkanku lebih cepat
nyatanya dia membantu ingatan-ingatan itu keluar dari dalam kepalaku

kupikir kau masih ada

waktu dan aku

waktu, yang kuhabiskan menunggumu,
tersenyum padaku
dan berkata, "kaulah orang bodoh yang kukenal."

waktu, yang sudah tua itu, bahkan mengalah
pada kesetiaanku
dia pikir aku menyerah padanya

nyatanya aku masih menunggumu

duduklah di sini

duduklah di sini
di sampingku
sekali ini saja
meski ini segera berakhir
aku akan bahagia

duduklah di sini
sebentar
biar kunikmati udara
yang mengelilingi kau dan aku.

Selasa, 06 Agustus 2013

rasa dan usia

tidak ada rasa yang abadi yang diam dalam hati manusia
rasa juga meluruh seiring waktu
seiring usia manusia yang menua

usia adalah raja sejati
tidak pernah turun tahta
sekali ia maju, lahir ke dunia
selamanya ia berjalan menguasai manusia

manusia menua
tidak selamanya menjadi anak-anak

kita kini bukan lagi anak-anak
mari kita putuskan perkara rasa dalam hati
mari kita putuskan secara dewasa
kusarankan jangan terlalu memilih
jangan terlalu lama berpikir

ingat, usia tidak menunggu

bukan anak kecil

pernah aku membaca ini:
'nanti kau juga akan sadar
melepasku adalah perbuatan yang tidak akan bisa kau maafkan kelak'
aku tidak suka kalimat itu
ia tidak bisa menghapus rasa sakitku

semoga keputusannya melepasku adalah bijak
dia bukan lagi anak kecil
aku tahu 
dia pasti menemukan kebahagiaan dengan caranya

matahari tenggelam

matahari tidak pernah takut tenggelam di ufuk barat
kitalah yang terlalu takut:

terlalu kuatir akan hal-hal yang tidak terselesaikan hari ini.

Sabtu, 03 Agustus 2013

berkelip bukan untukku

kekasih, wajahmu masih jauh
jauh di kedalaman anganku
anganku melayang jauh
jauh ke langit yang gelap
menuju bintang berkelip
berkelip bukan untukku

lama sekali

lama sekali kutunggu datangmu, kekasih
hinggu waktu menua
diam-diam beranjak
pelan-pelan merangkak pergi
cintaku tetap

jeda

ada jeda yang sangat panjang selepas kepergianmu
semacam ruang kosong yang luas tercipta dalam dadaku
berapa kali kucoba mengisinya dengan yang lain,
sekian kali aku gagal
aku belum temukan penggantimu
tentu aku menunggu
karena kutahu cintaku abadi

kenangan

kenangan adalah
layang-layang putus
entah jatuh di mana

entah siapa yang menemukannya

Jumat, 02 Agustus 2013

Hidup lebih baik jika ada cinta

Pernah aku berpikir bahwa aku lebih baik hidup tanpa cinta -tanpa mencintai seseorang.
Hidup tanpa cinta sepertinya lebih bebas. Bebas melakukan apa saja tanpa ada yang melarang. Ya, begitulah pikiran-pikaran liarku tentang cinta. Hingga suatu sore menjelang malam, hujan turun. Hujan begitu derasnya meluruhkan pikiranku. Hujan mengingatkanku tentangmu. Tentang meja dan dua bangku di sisinya yang kita duduki kala itu.
Dari balik  jendela kamarku, aku memandang keluar. Garis-garis hujan menghiasi pandangan. Bagian luar kaca jendelaku basah oleh titik-titik hujan yang terbawa angin. Tidak ada satu orang pun kulihat melintas di luar. Hari sudah gelap.
***
Sore itu, di sebuah kantin, kita berteduh. Hujan sangat deras. Angin bertiup kencang. Seringkali angin membawa  butiran-butiran hujan menyapu wajah kita dan beberapa orang yang juga berada di kantin itu.  Mulanya kita hanya duduk sebentar di situ sambil istirahat setelah sejak siang kita belajar.  Dan hujan pun turun sebelum kita pulang. Barangkali hujan sore itu seperti hujan pada zaman nabi Nuh. Sangat deras. Air menggenang di mana-mana. Kecokelatan. Saat itu, setengah hatiku ingin hujan segera reda. Setengahnya lagi aku ingin bersamamu lebih lama dan berharap hujan masih bertahan. Tapi hujan tidak berpihak padaku. Hujan mengabaikan suara hatiku.
***
Di lain waktu, kita berdua pernah ke toko buku. Kita lewati rak-rak raksasa berisi ratusan buku. Membaca beberapa buku. Saling menujukkan kalimat-kalimat indah yang kita dapati dari buku. Aku mengenang momen itu. Saat kita pulang, ternyata di luar hujan. Deras. Lagi-lagi hujan. Kita memilih berteduh di beranda. Duduk sambil menunggu hujan reda.
***
Dari balik jendela kamarku aku memandang keluar. Garis -garis hujan menghiasi pandangan. Hujan menurunkan kenangan-kenangan lain tentangmu. Hujan yang turun malam ini, bagiku bukan hujan biasa. Memang hidup lebih baik jika ada cinta.

Hujan malam itu reda di larut malam. Dan aku, larut dalam lamunanku.

Kamis, 01 Agustus 2013

Tiga Tahun Kemudian

Aku bersyukur pernah mengenalmu. Aku tak pernah menyesali kebersamaan kita. Setelah mengenalmu duniaku berubah. Awalnya, itulah yang kutakutkan bila aku jatuh cinta, duniaku berubah. Hal-hal penting bagiku menjadi tidak penting setelah ada kamu di hidupku. Aku mencintaimu, kau tahu itu.
Masih ingatkah kau hari kita janjian bertemu? Kita janjian di sebuah tempat yang kau pilihkan. Sebuah warung makan di pinggir jalan yang hanya buka malam hari. Aku yang duluan datang. Tidak lama kau juga datang. Kau yang memesan makanan karena aku tidak ahli dalam memilih menu yang memanjakan lidah. Aku adalah pemakan segalanya, kataku padamu, dan kau tertawa mendengarnya. Memang aku tak pernah pilih-pilih makanan. Asal terhidang langsung santap.
Malam itu, sementara pelayan menyiapkan makanan pesanan kita, kita bercerita. Aku tidak pandai dalam memulai percakapan. Untung ada kamu. Kamu memang sangat pandai mencairkan suasana. Tingkahmu yang lincah dan banyak bicara sangat berbeda denganku yang biasanya tenang dan tidak banyak bicara. Itulah yang kusukai darimu. Selain karena kau memang cantik. Duniaku begitu datar, duniamu ramai bagai pasar. Sebelumnya, aku selalu memperhatikanmu dari kejauhan, di mana ada kamu di situ suasananya pasti berisik. Kau mampu menciptakan suasana ramai.
Aku mendengarkan kau bercerita tentang perkuliahanmu. Kau selalu dipilih oleh teman-temanmu menjadi ketua kelompok bila ada tugas kelompok dari dosen. Sering mereka membuatmu kesal karena hanya beberapa temanmu saja yang serius mengerjakan tugas padahal itu tugas kelompok. Malah kau sering mengerjakan sendirian. Apalagi jika itu susah. Aku semakin tertarik dengan kepribadianmu. Pintar, punya banyak teman, ketua kelompok lagi. Aku tidak pernah jadi ketua kelompok saat kuliah. Aku dengarkan saja ceritamu. Aku tidak punya bahan untuk bercerita. Kuperhatikan baik-baik wajahmu. Semakin lama kuperhatikan, semakin aku menyadari betapa cantiknya wajahmu. Lebih cantik sewaktu pertama kulihat. Aku terkesima. Hingga aku kaget saat kau lambaikan tangan di depan wajahku. Tidak...aku tidak memikirkan yang aneh-aneh, kataku, dan kita tertawa. Pelayan datang menghidangkan makanan. Selamat menikmati, katamu ceria.

***
Tiga tahun sudah berlalu sejak kami tidak lagi bertemu, tidak lagi berbalas pesan. Aku melewati jalan yang pernah kami lalui. Sendirian. Saat melintasi warung makan itu, saat itu sedang tutup karena hari masih siang, sekelebat kenangan muncul dalam kepalaku. Dari kejauhan aku seolah-olah bisa melihat bayangan kami berdua sedang duduk bertatapan di meja itu. Waktu melambat. Sebuah bayangan nyata. Tahun-tahun berlalu seharusnya banyak yang berubah, namun ada juga yang memang tetap. Seperti meja yang pernah kami tempati. Seperti perasaanku saat ini.
Dia berubah, karena itu dia pergi. Menghilang. Aku tak bisa menghubunginya. Dia ganti no.hp. Kutanyakan kabar melalui teman-temannya, hasilnya nihil. Dunia seperti kekurangan udara, dadaku sesak saat itu. Pelan-pelan aku belajar melupakannya.
Suatu siang di ruang kerja, aku sedang istirahat. Handphone-ku berdering. Sebuah notifikasi, followerku bertambah. Dia. Namanya. Aku kaget bagaimana dia bisa menemukan akun twitterku, yang alamatnya tidak sesuai dengan nama depanku. Apa selama ini dia berusaha menghubungiku? Mungkin saja, tapi aku tidak yakin. 

***
Hai bang.. :) apa kabar?

Sebuah pesan darimu di kotak direct messageku. Bunyi pesanmu tidak asing bagiku, seperti tiga tahun lalu.  Kau ke mana saja selama ini, bisikku dalam hati. Tidak langsung kubalas, aku sedang bekerja saat itu.
...
Hai.. Kabarku baik. Dirimu?
Baik juga.hehe Bang minta no.hp dong.
Boleh. Nomorku tidak ganti. 081xxx.

Demikian kita saling membalas pesan via twitter. Singkat.

Beberapa hari kemudian, kau mengirimku pesan lewat sms. Bunyinya masih sama. Saling menanyakan kabar. Aku lupa kapan terakhir kita sms-an, bunyi smsku ke sekian. Bulan februari tahun 2010, balasmu. Tiga tahun lalu. Kutanyakan kabarmu, ternyata sedang tidak baik. Masalah hati. Tapi, aku tak menanyakan lebih lanjut. Cukup kuberikan semangat lewat sms saja. Kupikir kau pasti bisa melewati masa-masa sulit selepas pisah dengan kekasihmu. Sekarang, ruang dan waktu tak mengizinkanku untuk bertemu kamu. Kita sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Aku hanya ingin berterimakasih padamu telah menghubungiku kembali. Dan terimakasih untuk rasa yang pernah kau tumbuhkan di hatiku. Aku belajar menumbuhkannya sendiri sekarang sambil menunggu tanah yang tepat untuk kutanam.


Saat menuliskan ini aku mengingatmu.